DUNIA tak mengenal remaja gendut itu, sampai ia mencoba
melakukan sesuatu yang 'besar', 30 Maret 1981. Dengan melepaskan
enam peluru berturut-turut, ia nyaris menempatkan diri dalam
barisan para pembunuh Presiden Amerika Serikat. Sang presiden,
kali ini Ronald Reagan, memang tak sampai tewas. Tapi dunia toh
kaget.
Orang kembali mempersoalkan 'Impian Amerika', yang sosoknya
makin tak jelas. John Hinckley, calon pembunuh presiden itu,
bagaimanapun adalah anak sebuah bangsa dengan sejarah yang tua
dan kaya. "Ia percaya pada Impian Amerika itu," kata Aaron
Latham, dalam tulisannya di majalah Rolling Stone, Agustus 1982.
"Tapi di dalam pikirannya, inpian ini telah berganti sosok
dengan sesuatu yang sangat fantastis."
Latham, pengarang Urban Cowboy dan terakhir menulis tentang
Warren Beatty, mencoba menyusun 'anatomi' John Hinckley dari
serangkaian wawancara dan pengamatan. Ia melihat kasus ini
sebagai "sisi hitam Impian Amerika," yang kadang memang tak
terjangkau penglihatan. Ia cenderung melihat Hinckley sebagai
sebuah kepribadian gombal, di tengah lingkungan yang tak kurang
pula gombalnya.
Hampir seluruh hidup anak ini dikepung fantasi dan angan-angan.
"Ia punya teman-teman wanita yang hanya ada dalam angan-angan.
Ambisinya tak lebih dari fantasi. Bahkan kejahatannya,
percobaannya membunuh sang presiden, lebih banyak bersifat
angan-angan."
Ayahnya, John Hinckley Sr, percaya pada Impian Amerika model
Horatio Alger. Itulah sebuah negeri, tempat orang bekerja ult
untuk merambah jalan menuju puncak. Tapi anaknya lebih tergoda
pada Impian Amerika model bintang rock, yang dalam sekali Rebrak
bisa langsung melejit dan menggemparkan masyarakat. "Pemuda
berwajah bayi ini," kata Aaron Latham, "yang sarapan pagi di
kedai Mc Donald sebelum memberondong sang kepala negara, ingin
mencapai kemasyhuran secepat fast food ala Amerika."
Ia juga percaya pada sebuah versi lain Impian Amerika--the Rich
Daddy American Dream--tempat anak-anak bergayut sentosa pada
kocek orang tua mereka yang tebal. Dalam versi ini setiap anak
punya solusi yang sederhana: apa pun yang terjadi, uang ayah
akan menyelamatkan aku dari segala kesulitan.
Tapi Aaron Latham tak semata-mata menuding John Hinckley. "Kita
semua memendam Impian Amerika yang tak jauh berbeda dengan versi
Hinckley," katanya. "Dari waktu ke waktu kita membuai diri dalam
fantasi kemasyhuran, membenamkan kepribadian ke dalam citra yang
dijejalkan oleh industri layar putih. Kita memiliki John
Hinckley dalam diri kita masing-masing. Ia berada di bawah
kesadaran ambisi kita."
ARON mengakui, "kita tak tahu pasti apa yang membuat Hinckley
demikian sakit." Tapi seorang psikiater mempelajari anak ini
selama berada dalam tahanan. Dan ia membuat hipotesa yang nyaris
sangat fantasis.
Ia tak mengemukakan teori ini ketika diminta tampil di
pengadilan. "Teori itu lebih cocok digambarkan di gedung
bioskop, ketimbang di ruang pengadian," tulis Aaron. "Tapi
kami mendiskusikannya di kantor sang psikiater, di Harvard
Medical School."
"Kasus ini nyaris sebuah science-fiction," kata Dr. David
Michael Bear kepada Aaron. Dan ia mulai membuat garis besar
sebuah skenario ilmiah, dengan bintang utama John Hinckley.
"Skenario itu mengingatkan aku akan cerita-cerita
science-fiction," tulis Aaron, "terutama tentang anak-anak yang
dilahirkan lain."
Di layar putih, anak-anak seperti itu biasanya digambarkan
dengan sepasang mata yang menyala, otak yang istimewa, dan
tingkah laku yang mengerikan. Di dalam kehidupan nyata, yang
bisa juga tak kalah fantastisnya, John Hinckley bisa menjadi
salah seorang anak seperti itu. Ia hanya tak memiliki sepasang
mata yang menyala: Sinar matanya sangat lemah.
Apa yang membuat otak Hinckley berbeda merupakan hal yang tak
kalah fantastisnya. Beberapa dokter di Harvard sekarang percaya
pada teori Dr. Norman Gershwin, tentang kemungkinan berkembang
atau merosotnya jumlah pemimpi dalam pertumbuhan bangsa manusia.
Bila ketegangan merendah, jumlah pemimpi yang lahir makin
sedikit, karena imajinasi tidak begitu diperlukan. Tapi bila
ketegangan memuncak, ada hormon tertentu--di antaranya
testosterone--yang dilepas tubuh seorang wanita hamil. Hormon
ini membantu 'terciptanya' otak-otak special, yang mampu
bermimpi lebih dalam, mampu menemukan sesuatu, tetapi juga yang
kadang-kadang lemah dan tidak sempurna.
"Ketika John di kandungan ibunya tiga bulan," kata Dr. Bear,
"rumah keluarga itu terbakar." John lahir sebagai anak kidal,
dengan otak yang kurang beres. Hormon testosterone yang beredar
dalam tubuh ibunya, tatkala mengalami ketegangan, bisa saja
mendorong Hinckley menjadi seorang jenius. Tapi bisa juga ia
menjadi schizophrenic. Seperti yang lebih banyak dicenderungkan.
John sendiri pernah menulis puisi berjudul Ia Yang Dilahirkan
Sebagai Jenius. Dalam puisi itu, antara lain, ia menyebut
dirinya "lahir tak bercela."
Teori 'ketegangan' ini makin banyak dipertanyakan. Di Inggris
pernah dilakukan pengamatan terhadap anakanak yang dikandung
atau dilahirkan di tengah Perang Dunia II. Anak-anak itu
ternyata kemudian merupakan generasi yang luar biasa. Salah
seorang di antara mereka adalah John Lennon, tokoh idola John
Hinckley.
JOHN Hinckley ingin menjadi John Lennon ia biasa menyendiri di
kamar, belajar memainkan gitar, untuk menjadi Lennon. Tapi pada
dasarnya bocah ini pemalu. la bahkan tak berani bermain gitar di
depan para saudaranya, atau ayah ibunya sendiri.
Ia memang tak perlu cemas disuruh bergitar di depan kawan dan
sahabat-sebab ia tak punya seorang kawan pun. Anak yang kesepian
ini, yang tak pernah berani bergaya di depan siapa pun, ternyata
menyimpan mimpi untuk bergaya di depan dunia. Dalam benaknya,
mungkin hanya dua jalan yang membuka kesempatan menuju
kemasyhuran. Menjadi bintang rock, atau melakukan pembunuhan
penting.
"Minat John Hinckley terhadap The Beatles merupakan isyarat dini
keinginannya yang luar biasa untuk menjadi termasyhur, tanpa
perlu banyak berusaha," kata Dr. Park Dietz psikiater yang turut
memberi kesaksian dalam pengusutan anak muda itu. Ya, "The Easy
American Dream Fantasy, " tulis Aaron Latham.
Dikipas oleh angan-angannya, anak pendiam yang ingin menjadi
bintang Rock ini memulai petualangannya menuju kemasyhuran,
April 1976. Kepada kedua orang tuanya di Evergreen, Colorado, ia
menulis sepucuk surat yang memberitakan kegagalannya di Texas
Tech University. Ia juga menerangkan akan meninggalkan Lubbock,
tanpa menyebutkan tujuan dan rencananya lebih jauh.
"Enam minggu kamitak mendengar sesuatu mengenai John," kata
ibunya, Jo Ann Hinckley, memberi kesaksian di depan pengadilan.
"Kami tak mengerti di mana dia berada. Kami sangat cemas, dan
tak bisa memastikan hidup matinya." Berita pertama datang
melalui kartu Hari Ibu yang dilayangkan John Hinckley ke rumah
orang tuanya. "Kartu itu tidak mencentumkan alamat pengirim."
Hinckley sementara itu mengikuti angan-angannya dengan
melangkahkan kaki ke Hollywood. Bukankah sasaran pembunuhannya
adalah tokoh yang juga mengembangkan kemasyhurannya di
Hollywood, beberapa generasi terdahulu? Tapi ia tidak menempuh
jalan yang lazim.
"Tindakan ke Hollywood ini adalah untuk mencari penerbit musik,"
kata William T. Carpenter, psikiater yang turut memberikan
kesaksian di pengadilan. Tapi sampai di kota impian itu,
Hinckley segera kehilangan nyali. Ia merasa tertekan, merasa tak
berguna dalam hidup ini. Pada saat itulah ia menonton film Taxi
Driver.
Ia melihat film itu pertama kali di Egyptian Theatre. Kepada Dr.
Bear, Hinckley pernah bertutur, "saya merasa seperti Travis
dalam film tersebut. Seorang yang kesepian, tak berbahagia, tak
punya kekasih. Aku menoleh ke sekitarku, oh, betapa segalanya
mengerikan."
Tak kurangdari 15 kali John Hinckley menonton Taxi Driver. Ia
berusaha memiliki skenario film tersebut. Ia membeli rekaman
musik film tersebut, dan memutarnya tak kenal jemu. Dalam
keadaan seperti itu ia biasa bertarya kepada dirinya sendiri:
"Apakah aku Travis?"
Sejak menonton Taxi Driver, Jhon Hinckley menssuaikan segala
tingkah laku dan kebiasaannya dengan Travis Bickle. Tak
terkecuali dalam memilih minuman, pakaian bahkan kegemaran Film
itu merasuk ke dalam kehidupan pribadinya. Ia merasa lengkap
menjadi Travis.
Dalam film itu Travis bertemu Iris. Lonte yang bekerja di bagian
paling buruk Kota New York, kendati dalam usia sangat belia.
Travis bersahabat dengan wanita ini. Dan peranan Iris dimainkan
oleh Jodie Foster. Ia tampak bagai seorang gadis kecil. Iris dan
Jodie Foster seperti luluh jadi satu dalam film tersebut.
"Hinckley tidak mengidentifikasikan kekerasan, melainkan
patologi," kata Paul Schrader, penulis Taxi Driver. " Kita dapat
saja berhenti menyajikan kriminalitas secara realistis,"
katanya. "Namun para psikopat tetap saja hadir di antara kita,
bahkan tanpa seni sama sekali. Kita tetap punya Raskolnikov,
tanpa memiliki Crime and Punishment. Dan para psikopat menemukan
identifikasinya dalam berbagai wadah lain. Umpamanya buku komik,
bahkan iklan pakaian renang."
Aaron bertanya kepada Schrader, "apakah kita semua bukan anggota
generasi angan-angan?" Penulis itu terdiam sejenak. "Well,
fantasi telah menjadi bisnis yang lebih besar dari yang pernah
kita bayangkan," katanya. "Fantasi telah menjadi urusan
keluarga. Dulu anda mendengar cerita-cerita khayal dari mulut ke
mulut, di tengah keluarga. Kini cerita khayal itu dipompakan
oleh konglomerat yang tak punya paras, yaitu tv."
Pada 10 Juni 1976, John menyurati orang tuanya. Ia sedang
mengalami kesulitan, dan membutuhkan bantuan. Seperti dituturkan
kemudian oleh ibunya, "John kecurian. Ia tak punya apa-apa.
Hidup di loteng-loteng dan tidur di bangku taman. Tak punya uang
dan pakaian, tak punya tempat tinggal. Kami sangat bingung."
Pada saat seperti itu, si pemimpi ternyata kembali berpaling
mengharapkan bantuan ayahnya, pedagang minyak yang kaya.
Dan sang ayah memang segera bertindak. Ia segera mengatur
pengiriman uang, dan melayangkan sepucuk surat untuk membesarkan
hati John.
Betulkah ia dirampok? "Mungkin cuma sekedar ka tulis Aaron
Latham, "sebagai usaha mendramatisasikan hidupnya dan
mendapatkan uang dari orang tuanya." Soalnya, perampokan itu tak
ada dalam catatan polisi. Bahkan menurut Aaron, John melanjutkan
dramatisasi itu dengan menampilkan seorang teman wanita dalam
hidupnya.
"John menceritakan kepada kami seorang teman wanita bernama
Lynn," kata Hinckley Sr. Mereka merencanakan melancong ke
Malibu. "Kami sungguh merasa senang."
Dr. Carpenter mendukung kesimpulan Aaron. "Ia 'menciptakan' Lynn
untuk alasan tambahan memperoleh bantuan keuangan dari orang
tuanya," ujar psikiater tersebut. "Wanita ini sangat mirip
dengan salah satu peran utama Taxi Driver."
Psikiater lain, Dr. Bear, bertutur, "setelah menonton film itu,
John mulai menulis surat kepada orang tuanya tentang seorang
wanita bernama Lynn Collins." Dalam suratnya, John mengatakan,
"dia seorang wanita yang baik, rambutnya pirang. Dia penulis."
Kepada Dr. Bear, John kemudian mengaku, gagasan untuk
'menampilkan' teman wanita itu muncul langsung dari Travis
Bickle. Travis memang tokoh yang tidak sukses menghadapi wanita.
Toh sekali waktu ia menulis ke rumah: "Saya dan Betsy baik-baik
saja."
Fantasi itu tumbuh subur. Seperti diceritakan Dr. Carpenter,
John menghabiskan waktunya membuat buku harian tentang Lynn. Ia
merencanakan pelbagai kegiatan. 'Wanita' itu makin merasuk ke
dalam hidupnya. Di luar itu hampir tak ada yang dikerjakan John.
Ia pergi ke bioskop, dan membuat film di dunia khayalnya.
"Fantasi berkembang pada saat senggang," kata Dr. Bear.
"Ketegangan yang 'normal' dapat menghentikan fantasi. Tapi
ketegangan yang ekstrim justru menyuburkan fantasi dari jenis
yang lain." Selesai saat sibuk, konon, angan-angan mendapat
peluang baik untuk menggoda pikiran.
"Sejumlah manusia hidup dalam fantasi," kata Dr. Bear. Terutama
orang yang tak punya kesibukan, yang kecewa, yang menghabiskan
waktu dengan berdialog dengan diri sendiri. Dan inilah yang
terjadi pada John Hinckley.
Orang-orang seperti ini hidup dalam dunia yang mereka ciptakan
sendiri. Mereka mengangan-angankan sukses. Sebagian menjadi
schizophrenic, sebagian lagi betul-betul tak tersembuhkan.
Fantasi mereka selalu luar biasa, misalnya menulis sebuah lagu
yang menggemparkan.
Dalam keadaan sibuk, fantasi menguap. Tapi ia segera kembali
bersama ketegangan, yang bervariasi dari tingkat normal sampai
ekstrim. Fantasi yang muncul dari ketegangan ini justru
mencoba mencari jalan keluar dari persoalan yang menjadi asal
muasal ketegangan itu sendiri, seperti daur yang tak kunjung
sudah.
Dr. Bear bahkan berpikir lebih jauh. Ia melihat aspek fantasi
sama saja terhadap kebudayaan, seperti halnya terhadap individu.
Bila suatu kebudayaan, atau masyarakat, sedang dibuai sangsi,
muncullah dorongan untuk fantasi yang tak bermanfaat. Wujudnya
bisa dilihat dalam film-film science-fiction, model pakaian,
komik, mungkin juga kadang-kadang, pembunuhan.
"Tatkala kebudayaan mengalami tekanan," kata Dr. Bear, "fantasi
berkembang pesat." Fantasi yang muncul dari ketakutan, dari
perang. Lihatlah betapa banyaknya penemuan yang muncul di tengah
ketegangan. "Perang Dunia II menyumbangkan sejumlah fantasi yang
berakhir pada penemuan," kata Dr. Bear. "Misalnya Proyek
Manhattan"--yang merancang bom atom.
ARON Latham bertanya kepada psikiater ini, apakah kita sekarang
justru tidak sedang hidup di tengah zaman fantasi. "Betul,"
sahut Dr. Bear. "Saya kira di antara kita sekarang hidup
sejumlah pemimpi. Secara kultural kita sekaligus sedang berada
dalam periode ketegangan rendah dan ketegangan tinggi."
Bagaimana keterangannya?
"Dibandingkan dengan Perang Dunia II, ketegangan yang kita
rasakan sekarang tidak seberapa," kata Dr. Bcar. "Bolehlah
dinamakan ketegangan rendah. Tidak ada orang yang sedang
menembaki kita." Sebaliknya, kemungkinan persenjataan sekarang
ini bisa saja membuat kita berkeping-keping menjadi debu besok
pagi, tanpa basa-basi. Suatu kondisi yang sangat menyuburkan
fantasi."
Kembali kepada John Hinckley, tiba-tiba saja keadaan tampaknya
berubah buruk. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres pada
penglihatannya, seseorang mencoba merampoknya di jalanan, ia tak
mengalami kemajuan dalam usaha menjual lagu-lagunya, dan yang
paling buruk, ia putus dengan 'kekasih'nya, Lynn. "Pada waktu
itu ia menyatakan ingin pulang," tutur ibunya, kemudian.
Perjalanan pertama Hinckley ke Hollywood merupakan paradigma
sejumlah perjalanannya yang lain ke sejumlah tempat. Ia mencoba
mengikuti fantasinya dengan penuh harapan, tapi gagal mewujudkan
fantasi itu menjadi kenyataan. Ia merasa tertekan, dan terpaksa
mundur.
Peristiwa seperti itu terjadi berulang-ulang. Ia
terumbang-ambing, tak bisa maju meraih Impian Amerika menurut
versinya: meraih kemasyhuran dalam sekejap mata. Ia terpaksa
berpaling kepada orang tuanya yang kaya.
Ia selalu balik ke rumah, paling tidak mencoba untuk pulang. Ia
tak pernah berniat meninggalkan rumah dalam arti yang
sesungguhnya, tak pernah bisa melepaskan diri dari
ketergantungan, tak pernah menjadi dewasa.
Dalam pertumbuhannya, John Hinckley terlambat bisa berjalan. Ia
juga terlambat bisa menyetir mobil, dan tidak bisa melepaskan
diri dari ketiak orang tua sampai berusia hampir 26 tahun.
Pada suatu saat orang tuanya menerima telepon. "Dia menghubungi
kami dari lapangan terbang Denver," kata Jo Ann, "minta
dijemput." Ia memang agak lama meninggalkan rumah, tapi pergi
tak terlalu jauh. Ia mendapat pekerjaan di Taylor Supper Club,
di daerah pinggiran Denver, dan tinggal di sebuah motel.
"Motel yang sangat tua dan kecil," kata Hinckley Sr., menambahi
penuturan istrinya. "Kamarnya sempit, di lantai tak ada karpet.
Lebih tepat dinamkan sederetan kamar, ketimbang rumah
penginapan yang layak." Hanya lima bulan Hinckley bekerja di
Taylor Supper Club, sejak September 1976 sampai Februari 1977.
Jeda sejenak, Hinckley kembali membuat perjalanan ke Hollywood,
"berusaha menjual musik." Tiga minggu ia di sana, menurut
pengakuannya kepada Dr. Carpenter. Dan selama masa itu sangat
tertekan, bahkan digoda oleh pikiran-pikiran untuk bunuh diri.
Ia mendapatkan dirinya melakukan banyak hal yang sama seperti
yang diperlihatkan tokoh peran dalam Taxi Driver. Ia ke sana ke
mari sendirian, menonton film-film gombal, menghabiskan waktu
dalam kesepian.
Menurut ayahnya, Hinckley sangat membenci perjalanan kali ini.
"Segalanya seperti tak beres. Lalu ia memutuskan pulang dan
kembali ke Texas."
Tapi ia terlalu gelisah untuk betah tinggal lama di Texas. Dia
kembali mengembara. "la mencoba sekali lagi menjual
lagu-lagunya," kata Dr. Carpenter. Kali ini ia pergi ke
Nashville. Melihat-lihat keadaan di kota itu, dan menemukan
keputus-asaan total. Ia memutuskan segera berangkat.
Ia kembali ke Lubbock, dan mendaftarkan diri di Texas Tech
University. Dari jurusan ekonomi, ia pindah ke jurusan sastra
dan jurnalistik.
Tapi ayahnya menerangkan, "pada awal 1978 ia mulai merasa
diserang pelbagai penakit." Penyakit itu seperti mengganas di
sekujur tubuhnya. Ia merasa sakit di telinga, kerongkongan,
lengan, dan mata.
Menjelang semester musim gugur, 1978, John Hinckley kembaii
meninggalkan bangku kuliah. Tinggal di sebuah apartemen,
sendirian, seperti biasanya.
Dalam kesepian itu ia mengisi perutnya dengan fast food, makan
dan tidur tanpa kesibukan tertentu, sehingga tampangnya bagaikan
belatung yang buncit di kolong paling bawah 'Impian Amerika'.
Ketika ia pulang ke rumah untuk berhari Natal, ibu-bapanya
terkesima. "Berat badannya luar biasa," kata ibunya mengenang.
Tahun baru 1979 datang, dengan sesuatu yang unik. John bercerita
bahwa Lynn Collins--kekasih imajiner itu -- akan "datang
berkunjung." Seperti dikatakan Dr. Carpenter, setelah putus,
kini 'kekasih' itu kembali memasuki hidup John. Orang ini sangat
bingung. Ia tak lagi bisa membedakan realitas dengan gagasan."
DAN kesimpulan dokter ini diperkuat oleh penuturan Jo Ann
Hinckley. "Ia mulai bersiap-siap menyambut kunjungan Lynn,"
kalagang ibu. "Ia berusaha mengurangi berat badannya." Ia
berpuasa, bahkan sampai jatuh sakit.
Tapi John Hinckley, tentu saja, tak bisa menyentuh seorang
kekasih imajiner. Ia kembali ke Texas dalam keadaan kecewa. Ia
menghibur dirinya dengan berbagai bacaan mengenai kebencian.
Seperti kesaksian Dr. Carpenter, "ia membaca literatur Nazi,
literatur ideologis kanan, bahkan ekstrim kanan."
Adalah hal yang sungguh ironis bahwa Hinckley berfantasi tentang
dunia Nazi, tempat yang justru lebih banyak membunuh fantasi itu
sendiri. "Salah satu hal paling buruk dari pemerintahan
otoriter," kata Dr. Bear, ialah bahwa mereka mengeringkan
fantasi. Cengan demikian mereka menggali liang kuburnya sendiri.
Sedang di pihak lain, daya berfantasi masyarakat tetap tinggi."
Dr. Bear kemudian menunjuk Uni Soviet, yang "banyak mengekang
fantasi. Padahal di sini, di Amerika, kita bebas berfantasi.
Beberapa fantasi mencapai penemuan tertentu, seperti misalnya
Thomas Edison mengubah impian menjadi kenyataan."
Dengan mengembangkan fantasi, memang kerugian bisa menimpa orang
yang tidak memiliki otak yang sempurna. "Fantasi menolong yang
kuat, tapi menyakiti yang lemah," kata Dr. Bear. John Hinckley
bisa disebut contoh yang buruk dari sesuatu yang baik di
Amerika.
Menurut Dr. Carpenter, "ia juga mengisi waktunya dengan membaca
buku-buku tentang pembunuhan yang patut diberitakan. Di
antaranya terdapat buku berjudul RFK (Robert F. Kennedy) Must
Die. Buku lain mengenai Marina dan Lee Oswald, orang yang
dituduh menembak Presiden Kennedy.
Ia kemudian sampai pada keputusan untuk membentuk sebuah
organisasi nasional bernama Front Amerika.
Tujuan organisasi ini ialah "mengembalikan negeri kenilainya
yang hakiki, dan mengungkapkan kenyataan betapa kelompok
minoritas telah menghancurkan hak-hak kaum Protestan kulit
putih."
Berjam-jam ia bekerja mempersiapkan organisasi ini, menyusun
surat tentang jadwal kegiatan, membuat buletin dan
mengirimkannya kepada anggota. Ia sendiri menyebut dirinya
Direktur Nasional, John Hinckley. Padahal sesungguhnya, yang
dinamakan 'anggota' itu sama sekali omong kosong. John Hinckley
tetap sebatang kara.
Ketika ia menyurati ayah-bundanya dari Lubbock perihal Front
Amerika ini, orang tua itu sungguh cemas. Mereka khawatir
putranya bersahabat dengan orang-orang yang mengerikan, dan di
bawah pengaruh mereka bisa saja jatuh ke dalam kesulitan yang
sulit dibayangkan.
Dr. Carpenter menambahkan keterangan, "ia juga membeli sepucuk
pistol kaliber 38, Agustus 1979. Mulamula ia memainkan pistol
ini di dalam kamar, sendirian, misalnya dengan mengarahkannya ke
layar tv." Dalam Taxi Driver, Travis juga pernah mengarahkan
pistolnya ke pesawat tv.
Paul Schrader, kreator Taxi Driver memang pembenci televisi. Itu
sebabnya ia menyuruh tokoh protagonisnya dalam film ini membidik
layar pesawat itu. "Ada fantasi yang produktif," kata Schrader
kepada Aaron Latham. "Tapi ada juga fantasi yang membuat anda
terasing dari realitas perasaan." Dan ia menuding fantasi model
terakhir ini 75% digalakkan oleh 'siaran niaga' tv, dan 30% oleh
pertunjukan tv itu sendiri. "Pesawat itu membuat anda menjadi
dwi-dimensional," katanya.
Menurut penuturan ibunya, "1979 adalah satu-satunya tahun yang
tidak digunakan John merayakan Hari Natal di rumah." Mereka
mendapat kabar, sang anak sedang menuju New York bersama
'pacar'nya, Lym1 Collins. Ia konon sudah menyelesaikan penulisan
sebuah novel, dan mencoba mencari penerbit di New York.
"Sudah tentu semua cerita itu tak benar," kata Dr. Carpenter. Ia
hanya tak mau pulang dan bersembunyi di Lubbock, sendirian dan
dengan eerasaan tertekan luar biasa.
Cerita yang diberikan psikiater lain, Dr. Thomas C. Goldman,
lebih mengerikan. "Selama periode itu," katanya, "John bermain
rulet Rusia." Ia mempunyai revolver dengan lima kamar peluru.
Salah satu diberi isi. Setiap kali ia menarik picu pada kamar
peluru tak berisi, ia mengatakan, "hari ini adalah hari
keberuntunganku."
Tahun baru 1980 disongsong John Hinckley dengan membeli sepucuk
senapan. Ia kemudian berpotret dengan senjata-senjata api itu.
Dalam sebuah pose ia mengacungkan pistol kejidatnya sendiri.
Tindakan itu sama sekali tidak orisinal. Bukankah tokoh Travis
dalam Taxi Driver melakukan hal yang sama? Dalam adegan terakhir
film itu, Travis mengacungkan pistol ke kepalanya, kemudian
click: "Tiba saatnya menembak diri sendiri."
Menurut ibunya, sejak saat itu pula John makin jauh terperosok,
dari hari ke hari. "Setiap saat kami mendengar sesuatu tentang
dia, selalu muncul keluhan fisik yang baru." Ia tak pernah beres
di sekolah. Dan setiap ia mencoba mengikuti pelajaran, ia segera
merasa payah, lalu keluar. "Kami sangat khawatir mengenai
dirinya," kata Jo Ann Hinckley.
Ketika akhirnya ia pulang, suatu hari, gendutnya sungguh luar
biasa. Ia sangat merasa tertekan dan tersisihkan. Ia tampak
sakit. Beratnya 225 pound 65 pound lebih dari berat normalnya.
Setelah beberapa minggu di rumah, si buyung lasak itu pergi ke
Dallas, ke rumah kakaknya yang tingal di kota itu. Tak lama, ia
kemudian balik ke Lubbock.
Musim semi 1980 John Hinckley mulai bersyair-syair. Puisinya
rata-rata bernada duka. Seperti yang dikatakannya kepada paa
dokter yang menanganinya, ia ingin menjadi "penyair psikopat."
Seperti kemudian dikatakan Dr. Goldman, "anak ini memutuskan
untuk menjadi penulis. Tapi sungguh tragis, ia melakukan hal itu
seorang diri. Ia hampir tak berhubungan dengan siapa pun.
SEPERTI halnya dulu ia tak sanggup bermain gitar di depan siapa
pun, kini ia tak mau memperlihatkan puisinya kepada seorang
juga. Meski demikian, ia berniat menjadi penulis termasyhur.
Pada musim semi 1980, ia menyairkan hidupnya yang sepi, dan
tanpa wanita:
Gadis-gadis menunggu untuk dipilih.
Tapi hati ini telah membeku
Akulah kerabat Frankenstein, mengembara mengemis kasih
Mengutuki nasib yang tak menentu.
Sekitar Mei tahun itu, menurut Dr. Carpenter, John Hinckley
membaca sebuah artikel mengenai Jodie Foster dalam majalah
People. "Setelah itu ia lebih terpukau kepada bintang Taxi
Driver ini." Artikel tersebut antara lain mengungkapkan rencana
Jodie meneruskan pelajaran ke Yale.
Sementara sang bintang mempersiapkan tahun pertamanya di Yale,
John Hinckley mendaftarkan diri ke nbali ke Texas Tech . Musim
panas tahun itu sang "penyair psikopat" mulai menulis puisi
tentang bintang layar putih yang dicintainya: "Ya, dialah
keindahan yang lain/yang terlupakan dalam hidupku."
Sementara itu, menurut ingatan Jo Ann, "dia mulai dengan
keluhan-keluhan baru, ketegangan, rasa lemah, dan pitam. Ia
merasa sesuatu yang tidak beres pada kakinya." John menemui
seorang dokter di Lubbock, Dr. Rosen. Ia mendapat tablet
Serentil dan Valium. "Ia penelan pil yang luar biasa," kata Dr.
Bear. "Sama seperti tokoh idolanya dari layar putih, Travis
Bickle."
Pada akhir semester itu John semakin parah. Kedua orang tuanya
sepakat mengajak anak itu pulang. Hinckley Sr. meminta bantuan
Durrel Benjamin, psikolog perusahaannya, untuk turut menangani
John.
Benjamin kemudian menerangkan, "anak ini tidak matang."
Dibutuhkan waktu yang panjang dan terencana, untuk membuat John
Hinckley normal seperti manusia lainnya. John ketika itu
mendengar sekolah penulis yang dibuka di Yale. Kedua orang
tuanya berusaha agar John bisa masuk di sekolah tersebut.
Untuk mencoba mengikatkan John kepada disiplin, dia diminta
menandatangani semacam perjanjian bersama orang tuanya.
Perjanjian itu mengatur penerimaan dan pengeluaran uang bantuan,
dan janji John untuk mengatur kegiatannya secara produktif.
Disebutkan pula dalam perjanjian, ini adalah kesempatan terakhir
untuk John.
Sehari setelah menandatangani 'kontrak', John pergi ke New
Haven. ia tampak tak begitu terpengaruh pada perjanjian
'terakhir' kita, Yang terbayang dalam benaknya hanya satu-Jodie
Foster.
Perjanjian ke New Haven, menurut Dr. Carpenter, "tak ada
hubungannya dengan usaha masuk sekolah penulis." John juga tak
akan memenuhi-syarat untuk diterima. Ia ke New Haven mengikuti
Jodie Foster, menurut jalan pikirannya sendiri.
Agustus tahun itu rangkaian film tv yang dibintangi Jodie. Ia
merasakan semacam 'himbauan' untuk bertindak setelah menyaksikan
film tersebut. Ia merasa sudah tiba saatnya untuk bersatu dengan
sang pujaan hati.
John berusaha menjumpai Jodie foster, bagaikan seorang yang
mencari kesembuhan berusaha menjumpai Ahli Sihir dari Oz. Di
pihak lain, Hinckley merindukan Jodie dalam sosok seorang ibu
yang hilang. Dalam sebuah puisinya ia memohon, "Jodie, jagalah
aku."
Ketika akhirnya ia tiba di New Haven, ia memang berusaha
berkenalan dengan Jodie. Tapi keberaniannya tetap sangat
terbatas. Ia membuka perkenalan itu dengan menyelipkan beberapa
puisinya di bawah pintu sang bintang film. Namun, Dr. Goldman
percaya, "inilah pertama kalinya ia mencoba memperlihatkan karya
tulisnya kepada seseorang."
DR. Carpenter menambahkan, "dalam perjalanan kali ini John
Hinckey berhasil dua kali berbicara melalui telepon dengan
Jodie Foster." Tapi ia tak terhibur oleh kenyataan itu. Ia
terlalu terpesona. Juga terlalu pahit, ketika barangkali tnyata
Jodie sempat bertanya, "Mengapa anda menelepon saya?" John
malahan menganggap hubungan telepon ini suatu kegagalan total.
Ia mengungkapkan kepahitan hatinya itu melalui sebuah puisi yang
menggigit.
Ingin memasuki perasaan John Hinckley, Aaron Latham mencoba
menelepon Jodie Foster. "Di seberang sana terdengar suara yang
akrab dan pasti," tulisnya. Aaron menceritakan kepada bintang
itu bahwa ia sedang mempersiapkan suatu tulisan mengenai
Hinckley.
"Nanti sajalah hal itu kita bicarakan," sahut Jodie. "Dan kita
memutuskan bahwa saya tidak akan berbicara mengenai dia." Belum
kehilangan harapan, Aaron berusaha menahan Jodie sedikit lebih
lama di pesawat telepon. Ia menerangkan akan menulis Hinckley
sebagai bagian dari generasi fantasi. Jodie tak bergeming.
"Demikianlah konsensus yang berlaku," katanya.
Setelah seminggu pergi dari rumah --batas waktu terpanjang yang
diizinkan kontrak yang ditekennya--Hinckley balik ke rumah.
Ibunya sangat terkejut melihat anak itu, "dan sangat bingung."
John mengatakan tak senang di Yale.
Ayahnya kebetulan tak di rumah, sedang ke luar kota. "Aku takut
ayahnya menjumpai anak ini di rumah, pada saat ia seharusnya
berada di Yale," kata Jo Ann. Ayahnya pasti marah. "Maka
kukatakan kepada John ia tak bisa tinggal di rumah. Ia kuantar
ke sebuah motel di Denver, dan melewatkan malamnya di sana. Pada
pagi berikutnya aku mengantarkan dia ke lapangan terbang. Ia
mengatakan akan menyelesaikan beberapa urusan di Lubbock."
Tampaknya 'pengembaraan' akan dimulai lagi.
Dr. Carpenter menerangkan, "ia memang kemba!i ke Lubbock. Ia
membei dua pucuk pistol kaliber 22." Kini anak itu memiliki
tiga pucuk senjata api--dan rasa puas karena memiliki senjata
yang sama jumlahnya dengan yang dimiliki Travis Bickle. Ia
merasa betul-betul mirip Travis, dan memutuskan untuk 'memburu'
Presiden Carter.
Pada 27 September 1980 ia meninggalkan Lubbock menuju Washington
DC. Dari ibukota negara itu, keesokan harinya, Hinckley
berangkat ke Columbus, Ohio. Dua hari kemudian ia berangkat ke
Dayton. Ia mengetahui Carter di.sana dan akan tampil dalam
rangka kampanye. Ia membawa senjata apinya.
Pada hari yang tepat, ia berhasil berada di sekitar Presiden
Carter. Tapi ia tak berhasil membulatkan niat untuk menembak
sang presiden. Ia menganggap kenyataan ini suatu kegagalan.
Menembak presiden ternyata sama sulitnya dengan menemui bintang
film !
Dengan hati patah ia meninggalkan Dayton, kembali ke New Haven,
ke Jodie Foster. Kemudian ke New York,berkeliaran mencari
pelacur berusia belasan, yang bisa diibaratkan dengan Jodie
Foster.
Ia kemudian membuat perjalanan ke Lincoln, Nebraska, dengan
harapan membuka kontak dengan seseorang yang dilukiskannya
sebagai "pemimpin ideologis partai Nazi." Ia tiba di Lincoln,
dan tak tahu harus berbuat apa. Sehari ia terbingung-bingung di
situ, tanpa berhubungan dengan siapa pun.
Setelah itu ia terbang ke Nashville, berusaha lagi memburu
Presiden Carter, yang singgah di kota itu untuk berkampanye.
Ketika akan meninggalkan Nashville ia smpat ditahan. Senjatanya
tercium oleh detektor logam yang dipasang dalam rangka
pengamanan. Tapi tak ada yang istimewa. Setelah melalui beberapa
prosedur, anak muda itu dipersilakan melanjutkan perjalanan.
Hari itu juga John Hinckley tiba di New Haven. Di kota ini ia
berniat menculik dan melarikan Jodie Foster. la akan meringkus
bintang yang memabukkan itu, memborgolnya, dan membawanya pergi.
Tapi angan-angan itu hampir.tak punya kekuatan. Polisi di
Nashville tidak hanya menyita senjata api Hinckley, melainkan
juga borgolnya. Bagaikan serdadu yang telah dilucuti, anak muda
itu mengambil kamar di Colony Inn, New Haven. Hari berikutnya ia
membayar rekening US$ 46, dan berangkat.
Ia pindah ke Hotel Duncan, hanya untuk beberapa jam. Akhirnya ia
baru merasa mendapatkan ketenteraman di Sheraton Park Plaza
Hotel, masih di kota yang sama. Ia melewatkan malamnya di hotel
ini, dengan ongkos US$ 39.
Hari berikutnya ia ke Dallas, "untuk mempersenjatai diri." Ia
membeli dua pucuk pistol kaliber 22.
Dalam keadaan bersenjata, John Hinckley agak membusungkan dada
kembali ke New Haven. Ia balik ke Sheraton Park Plaza Hotel. Dua
malam ia tinggal di hotel itu, dengan ongkos US$ 78.
Kemudian ia terbang ke Washington, dan mendaftarkan diri di
Quality Inn Downtown. Hanya dua malam ia di situ. Ongkosnya US$
56,80. Ia kemudian kembali ke rumah orang tuanya.
"Saya masih ingat ketika kami menjemputnya di lapangan terbang,"
kata Hinckley Sr. mengenang. "Ia tampak begitu tertekan,
bingung, seperti orang tak punya pegangan. Ketika itu hari masih
siang."
Ketika berada di dalam mobil, anak itu seperti melakukan semacam
pengakuan untuk kedua orang tuanya. "Saya telah mempelajari satu
hal secara meyakinkan," katanya terbata-bata. "Saya tak bisa
mengendalikan uang." Mendengar pengakuan yang terdengar tulus
ini, "rasanya masih ada harapan," pikir Hinckley Sr. di dalam
hati.
Tapi sampai di rumah, keadaan tampaknya bertambah buruk. Anak
itu seperti dikejar bayangan, dalam keputusasaan total.
"Keadaannya menakutkan saya," tutur Jo Ann. "la tampaknya sangat
buruk."
MALAM itu ketiga anak beranak mencoba membuka perbincangan di
ruang duduk rumah mereka yang lapang. John Hinckley mulai
mengisahkan pengembaraannya ke berbagai kota. "Aku mulai tak
tahan," kata Hinckley Sr., "dan memisahkan diri, naik ke ruangan
atas."
Beberapa saat kemudian Jo Ann datang menyusul suaminya. "Kita
harus mencari psikiater," katanya dengan nada cemas, "untuk
menolong anak itu."
Tapi mereka belum juga bertindak. "Aku mulai khawatir anak itu
menghabisi hidupnya," kata Jo Ann. Pada suatu hari Jo Ann
mendapatkan anaknya dalam keadaan parah. John grogi, dan
diliputi ketakutan luar biasa. Ia mengaku minum pil Serentil
terlalu banyak. Kedua orang tuanya bersepakat untuk membawa John
menemui Dr. John Hopper, seorang psikiater di Evergreen. Dokter
itu meminta John menuliskan riwayat hidupnya secara singkat, dan
anak itu melakukannya.
Di dalam riwayat hidup singkat itu ia seperti berterus terang
melukiskan pengalamannya beberapa bulan terakhir. "Pikiranku tak
menentu," tulisnya. "Hubungan yang pernah kuimpikan, raib entah
ke mana. Kesadaranku terhadap segala-galanya, kini lengkap
adanya. Aku kembali ke Colorado."
Dokter Hopper kemudian menemui suami-istri Hinckley. "Ada
pendekatan yang berbeda yang dilakukan masingmasing orang tua
itu terhadap John Hinckley Jr.," katanya kemudian. "Sang ayah
lebih tegas, otoriter, dan menekan. Ny. Hinckley bersifat
pemaaf, dan melindungi."
Untuk membantu John mendapatkan suasana santai, Dr. Hopper
mencobakan terapi biofeedhack. Ia diberi earphone, mirip yang
dikenakannya untuk keperluan latihan menembaki silhuet. Sebuah
elektroda dipasang di dahinya. Tapi sementara sang dokter
menyangka pasiennya santai, John justru sedang berangan-angan
tentang pembunuhan, dan Jodie Foster.
Menjelang akhir 1980 John Hinckley kembali berangkat ke
Washington. Calon pembunuh ini bermalam hampir dua minggu di
Hotel Presidential. Ia mulai berpikir untuk 'memburu' presiden
terpilih yang baru: Ronald Reagan. Selama di Washington,
Hinckley meluangkan waktu berpotret di depan Teater Ford, tempat
Abraham Lincoln terbunuh.
Menurut kesaksian Dr. Carpenter, "ia berada di Washington
tatkala John Lennon di pistol Mark Chapman." Peristiwa itu
merupakan pukulan yang sangat dahsyat baginya. Ia datang ke New
York untuk menunjukkan perhatian atas musibah tersebut.
Ibunya seperti membenarkan keterangan tersebut. "John memang
menelepon kami dari New York," katanya. Anak itu mengadu: "Saya
baru saja menghadiri pemakaman John Lennon. Saya tak akan
tinggal lebih lama di Kota New York ini. Bolehkah saya pulang?"
Padahal, sesungguhnya, John tidak menelepon dari New York,
melainkan dari New Haven. Ia singgah di kota itu, dan sedang
bersiap-siap meneruskan perjalanan. Kebetulan pula sudah saatnya
pulang kandang untuk merayakan Hari Natal di rumah.
Seperti biasanya, ia minta dijemput di lapangan terbang. "Kami
hampir tak berbicara di dalam mobil," kata Hinckley Sr.,
mengenang. Anak itu sebelumnya sudah mengatakan, "Jangan
membicarakan sesuatu mengenai John Lennon, ayah. Aku sedang
dalam keadaan sangat berkabung." Sepanjang perjalanan dari
lapangan terbang ke rumah mereka, sekitar 35 mil, tak ada lagi
percakapan.
Ibunya semakin khawatir. "Berkali-kali kami sudah melihat John
dengan tampang yang menakutkan," katanya. "Tapi kali ini ia
betul-betul mengerikan." Semangat sukacita menyambut Natal sama
sekali tak terasa ketika mereka tiba di rumah.
Biasanya, bila tiba saat menggantungkan berbagai hadiah di Pohon
Natal, John Hinckley selalu diminta memainkan peranan
Sinterklas. Tapi kali ini ia betul-betul pasif. Ia tak sudi
mengambil bagian apa pun.
Dr. Bear mengakui suasana perkabungan John Hinckley. Bahkan
psikiater itu mencatat keterangan ayah John, bahwa sang anak tak
akan sampai begitu sedih bila ayah kandungnya sendiri yang
berpulang.
Setelah masa liburan, John kembali menjumpai Dr. Hopper. Dokter
ini sendiri menanyakan orang tua Hinckley, apa yang mereka
harapkan dari sang anak. "Kami ingin anak ini bisa berdiri
sendiri," jawab Hinckley Sr. "Mengapa kalian tak mencoba
berbicara dengannya, dan mencoba menyusun sebuah rencana?" kata
Dr. Hopper.
Maka Hinckley Sr. mencoba sekali lagi. Mereka menyuruh John
berusaha mencari pekerjaan, sampai akhir Februa ri 1981. Ia juga
diberi batas waktu sampai akhir Maret 1981, untuk meninggalkan
rumah--tidak peduli ia sudah dapat pekerjaan atau belum. Orang
tuanya akan membantu keuangannya sampai akhir Maret 1981.
Sementara itu, sebuah berita baik diterima keluarga ini. Saudara
perempuan John, Diane, melahirkan seorang bayi perempuan. Jo
Ann, yang kini menjadi nenek, bergegas ke Texas untuk menimang
sang cucu.
"Aku mengantarkannya.ke lapangan terbang, kemudian terus masuk
kantor," kata Hinckley Sr. Ketika ayah ini pulang, John Hinckley
sudah tak ada di rumah. Ia meninggalkan sepucuk surat di tangga.
"Tak ada gunanya lagi tinggal di rumah ini," demikian bunyi
surat itu. "Aku memutuskan untuk berangkat." Hari itu adalah 9
Februari 1981. John terbang ke selatan, tentu saja ke New Haven.
Keterangan Dr. Goldman mengenai periode ini agak mendirikan bulu
roma. "Anak itu berpikir untuk mendatangi Jodie Foster di
sekolah, dan meyiram kelas itu dengan peluru." Tapi, syukurlah,
niat itu tak kesampaian. Sehari suntuk ia hanya bermalas-malas
di Colony Inn, kemudian membayar sewa US$ 49.
Pagi hari berikutnya, John terbang ke Washington. Dua malam ia
menginap di Capitol Hill Quality Inn, dengan ongkos US$ 50. "Ia
berangan-angan menembaki Kongres," tutur Dr. Goldman. Ia
membayangkan dirinya sebagai penembak Kennedy. Ia melancong ke
Gedung Putih dan yakin di sana tak ada detektor logam.
Pikirannya tergoda untuk melakukan penembakan di sana.
Tapi akhirnya ia kembali ke New York, dan menginap dua malam di
Sheraton Center Hotel. Ongkosnya US$ 71,12. Lalu uangnya habis.
Ia melewatkan beberapa malam dengan tidur di jalanan.
Menurut Dr. Bear, "pada 14 Februari 1981, John Hinckley
dipengaruhi gagasan yang gila." Ia merencanakan pergi ke Dakota,
ke tempat sesungguhnya adegan penembakan John Lennon. Ia
merencanakan mencari pistol kaliber 38--persis seperti yang
digunakan pembunuh Lennon--kemudian dengan senjata itu
meletupkan kepalanya sendiri.
Namun, lagi-lagi anak itu gagal. Ia tak punya cukup keberanian,
bahkan untuk melaksanakan angan-angannya. Ia seperti putus asa.
Ia tak dapat menembak dirinya sendiri. Ia juga tak yakin apakah
ia mampu menembak seorang presiden.
Ia tak berhasil menemui Jodie Foster. Ia tak berhasil melakukan
apa pun ia begitu tertekan, hingga menulis, "belatung-belatung
yang penuh dendam siap melahap total.
Pada 19 Februari John pulang ke rumah Orang tuanya agak
terhibur ketika anak itu mengatakan telah mendapat pekerjaan di
sebuah surat kabar lokal. "Tapi cerita itu dusta," kata Dr.
Dietz. Terbukti kemulian Jo Ann tidak terdaftar di kantor
manapun.
"Kami ke luar kota beberapa hari, karena suami saya perlu
menyelesaikan beberapa urusan kantar," kata Jo Ann. Ketika
mereka pulang John sudah tak ada. Seperti biasanya, ia tak lupa
meninggalkan surat. "Ibu dan Ayah," demikian ia menulis,
"Anakmu yang hilang kembali mengembara, untuk menghalau
sejumlah iblis dan roh jahat." Tanggalnya adalah 1 Maret, batas
waktu yang diberikan pada John Hinckley untuk meninggalkan rumah
dan mulai belajar berdikari.
JOHN Hinckley langsung menuju New Haven. Ia tinggal semalam di
Sheraton Park Plaza, dengan ongkos US$ 40. Kelak John bercerita
kepada Dr. Bear tentan perjalanan terkahirnya ke New Haven,
"saya merencanakan bertemu Jodie Foster. Saya akan menembaknya,
kemudian menembak diri saya sendiri. Semacam kombinasi
pembunuhan dan bunuh diri. Agak bergaya Romeo dan Juliet . . ."
Mendengar keterangan Dr. Bear, Aaron Latham mengingat sebuah bab
dalam buku kegemaran John Hinckley, The Fan. Setelah mengulangi
membaca bab itu, "saya yakin John sangat terpengaruh sehingga
mencoba menyusun rencana pembunuhan dan bunuh diri tersebut,"
kata Aaron.
Dalam buku tersebut tertulis: "Seakan kita selama-lamanya. Kau
akan mati sebagaimana engkau telah hidup, dalam kebesaran dan
kecemerlangan bintang-gemintang, dan aku akan mati di bawah
bayangan kecemerlangan itu . . . "
"Tak sesuatu, dan tak seorang pun akan bisa memisahkan kita
lagi. Inilah asmara yang juga telah mengikat Romeo dan Juliet.
Seperti mereka, kita akan tinggal hidup di dalam sanubari umat
manusia sepanjang zaman . . . "
Hinckley membawa buku ini dalam pengembaraannya. Polisi
menemukan buku ini di hotelnya, segera setelah anak muda itu
memberondong Reagan.
"Saya ditelepon seorang teman yang mendengar berita itu dari
televisi," kata Bob Randall, pengarang The Fon. "Saya segera
diliputi perasaan ngeri, perasaan tercemar. Saya sungguh kecewa
bahwa karya yang saya tulis dengan susah payah pada suatu waktu
dikaitkan dengan percobaan pembunuhan."
Dalam keterangannya lebih lanjut, Randall cenderung melihat
sebuah Amerika yang sedang berada di zaman "impian buruk". Ia
mengenangkan masa lampaunya, tatkala "begitu banyak fantasi
indah, dan orang-orang yang diliputi cinta."
Sekarang tampaknya keadaan sudah berubah. "Kita kehilangan
banyak pemimpin. Dunia pertunjukan kita sangat sedikit
menjanjikan harapan. Lihatlah televisi. Bahkan komedi kita
melarat dan penuh kesalahmegertian.
"Kita melihat demikian banyak impian buruk. Film-film horror
justru meraih sukses berlebihan. Televisi menyajikan adegan
kekerasan."
Randall berjanji dalam karya-karyanya yang akan datang akan
memerangi gejala ini. Tapi ia juga mengingatkan pada kekerasan
yang terasah, "kekerasan yang sehat," seperti pada karya-karya
Hitchcock.
Kepada Dr. Goldman, John Hinckley mengaku, ia mencari Jodie
Foster ke kampus Yale. Ia melihat bintang itu, dan membuntutinya
dari jarak sekitar belasan kaki. Di kantungnya tersimpan sepucuk
senjata yang telah diisi peluru.
LAGI-LAGI John tak punya cukup keberanian untuk bertindak. Ia
kemudian menulis sepucuk surat, dan menyelipkannyadi bawah pintu
sanggadis. "Jodie Foster, kekasih, demikian bunyi surat itu.
"Tunggulah, aku segera akan menyelamatkanmu. Mari bekerja sama.
J.W.H."
"Dalam film Taxi Driver, Travis Bickle memang mengirimi Iris
sebuah surat penyelamatan," kata Jodie kemudian. Setelah melepas
surat yang ditujukan kepada "Jodie Foster, superstar" itu,
Hinckley secepatnya berangkat meninggalkan kota. Ia pergi ke New
York, menginap tiga malam di Sheraton Center, 2 sampai 4 Maret.
Uangnya habis, dan ia mulai luntang-lantung di jalanan. Ketika
ia kelaparan dan kedinginan, ia kembali berpaling pada ketiak
orang tua.
"Pada 6 Maret, sekitar subuh, ia membangunkan kami," tutur Jo
Ann. "Ia menelepon dari New York. Ia begitu kacaunya, sehingga
kami tak mengerti apa yang ingin dikatakannya. Yang kami
tangkap: dia lapar, dan tak tidur-tidur."
Jo Ann mengaku, "tak pernah terdengar suaranya begitu buruk."
Hinckley Sr. sampai menganjurkan anaknya menggantungkan telepon,
dan menghubungi mereka kembali kalau sudah merasa agak tenang.
Setengah jam kemudian Hinckley kembali menelepon. Suaranya
terdengar lebih tenang. Ia mengatakan sudah sekitar tiga hari
tidak makan dan tidak punya tempat untuk bermalam. Ia tak punya
uang, dan tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia bertanya,
bolehkah saya pulang?"
Kedua orang tua bingung. Menurut advis Dr. Hopper, lebih baik
mereka jangan segera mengizinkan John pulang. Mereka perlu
berbicara lebih dulu dengan dokter tersebut. Karena itu Hinckley
Sr. menjawab, "John, cobalah telepon aku ke kantor siang nanti."
Mereka tahu anak itu tak suka menghubungi kantor ayahnya.
Ketika mereka berhasil menghubungi Dr. Hopper, psikiater itu
mefnperlihatkan sikap tegas. "Beri dia US$ 100, dan
ucapkangoodbye," kata sangdokter."Kami tak mampu melakukan hal
itu," tutur Jo Ann.
Kemudian Dr. Hopper menyarankan agar anak itu dibiarkan saja
selama 48 jam. Orang tuanya 'menawar' menjadi 24 jam. Sepanjang
hari itu John terus-menerus menelepon ibunya.
Tatkala besoknya, pagi-pagi sekali, John kembali menelepon,
setelah semalaman berkeliaran di jalanan Kota New York, ia
mendapatkan jawaban yang diinginkannya. "Pulanglah," kata orang
tuanya.
Sesuai instruksi Dr. Hopper, Hinckley Sr. menyarankan John
mencari ongkos pulang. "Pergilah ke kantor Bala Keselamatan,
atau ke gereja, atau ke kantor polisi, atau ke mana saja yang
kau anggap bisa meminjamkan uang," kata sang ayah.
Sekitar sejam kemudian John melaporkan, dia tak berhasil
mendapat satu sen pun. Hinckley Sr. segera menghubungi rekannya
di Manhattan, dan segala-galanya langsung beres.
"Saya tak bisa menjemputnya," kata Jo Ann. "Sepanjang hari saya
meratap. Saya tak setuju rencana Dr. Hopper untuk memutuskan
hubungan John dengan kami. Saya berusaha membujuk suami saya
menentang rencana itu.
"Aku menjumpainya di lapangan terbang, Sabtu malam, 7 Maret
1981," tutur John Hinckley Sr. "sekitar pukul sembilan atau
setengah sepuluh." Keadaannya sangat buruk. Ia tak bercukur
beberapa hari. Ia tampak sulit berjalan, seperti menyeret
kakinya.
SANG ayah membawa anaknya ke salah satu ruangan tunggu yang
sedang kosong. Ia menyatakan kekecewaahnya kepada sang anak. Ia
menyesali John karena merusak rencana yang pernah mereka atur
bersama.
Hinckley tak membawa anak itu pulang ke rumah. John dibekali
beberapa ratus dollar, kemudian dibawa ke mobil tuanya yang
memang tersimpan di lapangan terbang itu. Mobil itu ternyata
masih bagus dan gampang distarter. Sang ayah menyuruh anaknya
pergi ke YMCA. Dan John tampak tak mau. "Baik," kata Hinckley
Sr. "Lakukanlah apa yang kau anggap baik.."
"Saya yakin itu kesalahan terbesar yang saya buat dalam hidup
ini," kata Hinckley Sr. kmudian, mengenang. "Akulah penyebab
tragedi John. Kami memaksanya pergi tatkala ia sama sekali tak
tahu harus berbuat apa. Semoga Tuhan memaafkan kami." Hinckley
Sr. menangis mengingat peristiwa itu.
John merginap di Golden Hours Motel, di Lakewood. Sekitar
seminggu ia mengurung diri dalam kamar motel itu, dengan tirai
dan gorden jendela diturunkan. Ia mulai menjual barangbarangnya.
Mula-mula mesin tik, rekaman-rekaman, bahkan album Beatles yang
sangat di sayanginya.
Tapi ia tak menjual senjatanya. Ketika suatu hari ia ditahan
polisi karena melanggar rambu lalu lintas, ia mulai takut. Ia
memutuskan untuk pergi. Ongkosnya selama di motel itu US$ 11O.
Ia pindah ke Motel 6, masih di Lakewood, dan mencatatkan namanya
sebagai J. Travis. Hanya dua malam.
John kemudian menelepon ayahnya, dan bercerita akan pergi ke
California. "Aku kecewa sekali mendengar cerita pengembaraan ini
berulang kembali," tutur sang ayah. Hinckley Sr. bertanya,
apakah John bisa sampai ke California dengan mobil tuanya. Sang
anak menjawab, "jual saja mobil itu, dan berikan aku uangnya."
Hinckley Sr. menolak usul ini. John kemudian berhubungan dengan
ibunya.
"Ya, pada hari berikutnya aku mengantarkan John ke lapangan
terbang," kata Jo Ann. Tanggalnya mungkin 25 Maret. Berlawanan
dengan 'skenario' yang diatur Dr. Hopper, Jo Ann memberi anak
itu uang US$ 100. "Uangku sendiri. Aku tak bisa melepasnya dalam
keadaan bokek ."
Sepanjang perjalanan ke lapangan terbang ibu dan anak itu lebih
banyak diam. John tampak sangat bu ruk. Menakutkan. "Aku
khawatir anak itu bunuh diri," kata Jo Ann.
Acara perpisahan juga kering sekali. Well, Mom," kata John,
"saya ingin berterima kasih untuk semua yang anda lakukan." Dan
sang ibu menyahut, "kau senantiasa kami nantikan." Sambil
menahan airmata Jo Ann kelak bercerita, "saya berusaha membuat
suara sedatar mungkin, supaya John tak bisa membaca pikiran
saya."
Mereka kemudian berpisah. "Saya segera pulang," kata Jo Ann,
"dan itulah saat terakhir pertemuan kami."
John ke Hollywood, tapi tak sampai sehari semalam tinggal di
kota itu. Ia melancong ke pantai, menumpang bis. Ia membeli
tiket ke New Haven, tapi kemudian memutuskan singgah di
Washington. Tidurnya tak ketentuan.
Tiba di Washington siang hari, ia ke Park Central Hotel, sekitar
satu setengah blok dari Gedung Putih. Ia tinggal di kamar nomor
312. Menutup pintunya pada pukul 20.30, tapi tak bisa tidur.
Dia bangun sekitar pukul tujuh atau delapan esok harinya. Ia
menonton televisi, mungkin acara Today Show, atau Good Morning A
merica, sampai sekitar pukul sembilan. Kemudian ia ke warung
McDonald di seberang jalan. Ia sarapan sambil berdebat dengan
dirinya sendiri, tetap tinggal di Washington dan mencoba tidur,
atau pergi ke New Haven--untuk bunuh diri.
Saat itu duitnya tinggal US$ 150. Sekitar pukul 11.30 ia kembali
ke hotel, dan membeli selembar koran Washington Star di sebuah
mesin penjaja.
Surat kabar itu memuat acara harian Presiden Ronald Reagan. John
segera tersentak. Inilah saatnya. Kesempatan untuk melakukan
tindakan luar biasa.
Ia mandi. Ia terlibat dalam pertimbangan yang dalam: apa yang
harus dilakukan? Ia seperti dihadapkan pada tiga pilihan: pergi
ke New Haven dan menembak Jodie Foster, bunuh diri, atau
membunuh presiden. Ketiganya tak bisa dilakukan sekaligus. Ia
terumbang-ambing.
Ia kemudian minum Valium. Empat butir tablet, 20 miligram. Bila
ia meminum pil itu sekitar tengah hari, obat tersebut mulai
bekerja dalam darahnya sekitar pukul 13.45, atau pukul 14.00.
Pada pukul 12.45, ia duduk dan menulis surat:
"Jodie sayang, mungkin aku akan terbunuh dalam usahaku menembak
Reagan. Karena itu aku perlu menulis untukmu. Seperti kau
ketahui sekarang aku sangat mencintaimu. Aku berbahagia oleh
kenyataan, bahwa pada akhirnya kau mengetahui namaku dan
mengetahui perasaanku terhadapmu.
"Jodie, aku bisa saja dalam sekejap mata membatalkan niat
menembak Reagan ini, asal aku yakin dapat merebut hatimu, dan
hidup berdampingan denganmu sepanjang sisa usiaku. Aku harus
mengakui, satu-satunya alasan percobaan ini adalah karena aku
tak dapat menunda lebih lama lagi mengungkapkan perasaan hatiku
kepadamu.
"Aku harus melakukan sesuatu, agar engkau mengerti betapa aku
melakukan semua hal ini untukmu. Dengan mengorbankan
kemerdekaanku, bahkan mungkin juga hidupku sendiri, aku berharap
engkau mengubah pendapatmu mengenai diriku.
"Surat ini ditulis hanya sejam sebelum aku berangkat ke Hotel
Hilton. Jodie, aku mohon, bacalah sanubarimu sendiri, dan
berilah aku kesempatan, melalui tindakan bersejarah ini,
menerima penghargaan dan cintamu."
Selesai menulis surat, John memasukkan sebuah lencana John
Lennon ke kantung kiri baju panasnya. Ke kantung kanan
dimasukkannya pistol kaliber 22. Ia pun melangkah meninggalkan
kamar.
"Ketika ia tiba di hotel itu, ia melihat Presiden Reagan
melambai massa," tutur Dr. Bear. John mempunyai perasaan:
"Presiden itu melihat langsung ke arahku. Inilah saatnya."
Kemudian Presiden Reagan masuk ke hotel. John menilai segalanya
berjalan terlalu cepat. Ia berpacu dengan waktu.
Tak lama kemudian Presiden Rea gan keluar dari hotel. John
berada dipress area, sekitar 20 kaki dari sang kepala negara. Ia
terkejut akan kenyataan ini. Bahkan berpikir, "mengapa anggota
kawal Presiden tak ada di sini? "
John masih sempat terkenang, dalam film Taxi Driver tokoh Travis
Bickle merencanakan membunuh seorang calon presiden. Tapi ia
ketahuan pasukan keamanan. Rencana itu batal.
Hinckley mengharapkan seseorang datang dan menghalanginya. Ia
mengharapkan adegannya akan sama seperti dalam Taxi
Driver--petugas-petugas keamanan menghentikannya.
"Pikiran John selalu bercabang," kata Dr. Bear. Membunuh atau
tidak. "Kita mengetahui pendirian politiknya. Ia pernah
mengatakan, 'Reagan adalah presiden terbesar abad ini'. Pada
saat yang gawat itu kekaguman pada Reagan bertempur dengan
hasrat melakukan tindakan besar."
Ketika melihat Reagan muncul begitu cepat, ia tercengang. Ia
belum siap. Ia bahkan tak tahu harus berbuat apa. Ia heran. Tapi
justru pada saat itu ia mengeluarkan senjatanya.
Sekali menghunus pistol, tak ada lagi kesempatan surut. Mereka
telah melihat pistol itu. Tak ada pilihan lain. "Aku melangkah
maju, dan menembak," tuturnya kemudian.
Setelah keenam pelurunya menghambur, "aku lega," kata John
kemudian. "Semuanya telah berlalu." Johrl Hinckley Jr. menembak
Presiden Amerika Serikat sehari sebelum ayahnya merencanakan
menghentikan bantuan keuangan untuk anak itu.
"Aku di kantor hari itu," kata John Hinckley Sr. "Aku sedang
mewawancarai seseorang yang mencari pekerjaan. Tiba-tiba akuntan
kepala kami memasuki ruangan. Mukanya pucat. Diahanya berucap,
'Jack, agaknya anda harus mendengar sesuatu'.
"Aku segera tahu ada yang tidak beres. Aku ikut ke ruangannya,
radio masih menyiarkan berita itu. Dan aku mendengar nama John
disebut."
"Pada 30 Maret aku menerima telepon," kata Jo Ann. "Di seberang
sana berbicara seorang reporter Washington Post. Dia bertanya,
'apakah anda menyetel pesawat televisi anda?' Jawab saya, 'ya'.
Dia bertanya lagi: 'Tahukah anda bahwa putra anda, John
Hinckley, diidentifikasikan sebagai penembak presiden itu?' Pada
mulanya aku menganggap berita ini semacam fantasi yang dibuat
untuk keperluan televisi. Kemudian ternyata, semuanya
sungguhan."
Kita sudah tahu sisa cerita ini. "Tapi film belum selesai," ujar
salah seorang psikiater yang menangani John Hinckey. Adegan kini
pindah ke Rumah Sakit Jiwa St. Elizabeth, tempat John dirawat.
Anak itu mulai menghubungi pengacara-pengacaranya, yang
disebutnya "sahabat" satu-satunya.
Ia menghubungi Washington Post. Ia juga berusaha menghubungi
Jodie Foster. "Akhirnya anak itu memang berhasil mengecap
sebagian impiannya," kata Aaron Latharn. Ia menyaksikan namanya
memenuhi jaingan komunikasi media massa di seluruh dunia.
Masih bisa dipertanyakan keadilan putusan hukum yang dijatuhkan
ke atas pundaknya. Mungkin saja pada suatu hari, kerak, John
Hinckley Sr. menerima telepon: "Ayah, aku baru saja menembak
Jodie Foster. Bolehkah aku pulang?" Dan 'Impian Amerika' makin
kehilangan sosok
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini