Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mimpi-mimpi buruk di zaman ini...

Tulisan aaron latham dalam majalah rolling stone, tentang john hinckley, calon pembunuh presiden ronald reagan, yang menggandrungi jodil foster. (sel)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA tak mengenal remaja gendut itu, sampai ia mencoba melakukan sesuatu yang 'besar', 30 Maret 1981. Dengan melepaskan enam peluru berturut-turut, ia nyaris menempatkan diri dalam barisan para pembunuh Presiden Amerika Serikat. Sang presiden, kali ini Ronald Reagan, memang tak sampai tewas. Tapi dunia toh kaget. Orang kembali mempersoalkan 'Impian Amerika', yang sosoknya makin tak jelas. John Hinckley, calon pembunuh presiden itu, bagaimanapun adalah anak sebuah bangsa dengan sejarah yang tua dan kaya. "Ia percaya pada Impian Amerika itu," kata Aaron Latham, dalam tulisannya di majalah Rolling Stone, Agustus 1982. "Tapi di dalam pikirannya, inpian ini telah berganti sosok dengan sesuatu yang sangat fantastis." Latham, pengarang Urban Cowboy dan terakhir menulis tentang Warren Beatty, mencoba menyusun 'anatomi' John Hinckley dari serangkaian wawancara dan pengamatan. Ia melihat kasus ini sebagai "sisi hitam Impian Amerika," yang kadang memang tak terjangkau penglihatan. Ia cenderung melihat Hinckley sebagai sebuah kepribadian gombal, di tengah lingkungan yang tak kurang pula gombalnya. Hampir seluruh hidup anak ini dikepung fantasi dan angan-angan. "Ia punya teman-teman wanita yang hanya ada dalam angan-angan. Ambisinya tak lebih dari fantasi. Bahkan kejahatannya, percobaannya membunuh sang presiden, lebih banyak bersifat angan-angan." Ayahnya, John Hinckley Sr, percaya pada Impian Amerika model Horatio Alger. Itulah sebuah negeri, tempat orang bekerja ult untuk merambah jalan menuju puncak. Tapi anaknya lebih tergoda pada Impian Amerika model bintang rock, yang dalam sekali Rebrak bisa langsung melejit dan menggemparkan masyarakat. "Pemuda berwajah bayi ini," kata Aaron Latham, "yang sarapan pagi di kedai Mc Donald sebelum memberondong sang kepala negara, ingin mencapai kemasyhuran secepat fast food ala Amerika." Ia juga percaya pada sebuah versi lain Impian Amerika--the Rich Daddy American Dream--tempat anak-anak bergayut sentosa pada kocek orang tua mereka yang tebal. Dalam versi ini setiap anak punya solusi yang sederhana: apa pun yang terjadi, uang ayah akan menyelamatkan aku dari segala kesulitan. Tapi Aaron Latham tak semata-mata menuding John Hinckley. "Kita semua memendam Impian Amerika yang tak jauh berbeda dengan versi Hinckley," katanya. "Dari waktu ke waktu kita membuai diri dalam fantasi kemasyhuran, membenamkan kepribadian ke dalam citra yang dijejalkan oleh industri layar putih. Kita memiliki John Hinckley dalam diri kita masing-masing. Ia berada di bawah kesadaran ambisi kita." ARON mengakui, "kita tak tahu pasti apa yang membuat Hinckley demikian sakit." Tapi seorang psikiater mempelajari anak ini selama berada dalam tahanan. Dan ia membuat hipotesa yang nyaris sangat fantasis. Ia tak mengemukakan teori ini ketika diminta tampil di pengadilan. "Teori itu lebih cocok digambarkan di gedung bioskop, ketimbang di ruang pengadian," tulis Aaron. "Tapi kami mendiskusikannya di kantor sang psikiater, di Harvard Medical School." "Kasus ini nyaris sebuah science-fiction," kata Dr. David Michael Bear kepada Aaron. Dan ia mulai membuat garis besar sebuah skenario ilmiah, dengan bintang utama John Hinckley. "Skenario itu mengingatkan aku akan cerita-cerita science-fiction," tulis Aaron, "terutama tentang anak-anak yang dilahirkan lain." Di layar putih, anak-anak seperti itu biasanya digambarkan dengan sepasang mata yang menyala, otak yang istimewa, dan tingkah laku yang mengerikan. Di dalam kehidupan nyata, yang bisa juga tak kalah fantastisnya, John Hinckley bisa menjadi salah seorang anak seperti itu. Ia hanya tak memiliki sepasang mata yang menyala: Sinar matanya sangat lemah. Apa yang membuat otak Hinckley berbeda merupakan hal yang tak kalah fantastisnya. Beberapa dokter di Harvard sekarang percaya pada teori Dr. Norman Gershwin, tentang kemungkinan berkembang atau merosotnya jumlah pemimpi dalam pertumbuhan bangsa manusia. Bila ketegangan merendah, jumlah pemimpi yang lahir makin sedikit, karena imajinasi tidak begitu diperlukan. Tapi bila ketegangan memuncak, ada hormon tertentu--di antaranya testosterone--yang dilepas tubuh seorang wanita hamil. Hormon ini membantu 'terciptanya' otak-otak special, yang mampu bermimpi lebih dalam, mampu menemukan sesuatu, tetapi juga yang kadang-kadang lemah dan tidak sempurna. "Ketika John di kandungan ibunya tiga bulan," kata Dr. Bear, "rumah keluarga itu terbakar." John lahir sebagai anak kidal, dengan otak yang kurang beres. Hormon testosterone yang beredar dalam tubuh ibunya, tatkala mengalami ketegangan, bisa saja mendorong Hinckley menjadi seorang jenius. Tapi bisa juga ia menjadi schizophrenic. Seperti yang lebih banyak dicenderungkan. John sendiri pernah menulis puisi berjudul Ia Yang Dilahirkan Sebagai Jenius. Dalam puisi itu, antara lain, ia menyebut dirinya "lahir tak bercela." Teori 'ketegangan' ini makin banyak dipertanyakan. Di Inggris pernah dilakukan pengamatan terhadap anakanak yang dikandung atau dilahirkan di tengah Perang Dunia II. Anak-anak itu ternyata kemudian merupakan generasi yang luar biasa. Salah seorang di antara mereka adalah John Lennon, tokoh idola John Hinckley. JOHN Hinckley ingin menjadi John Lennon ia biasa menyendiri di kamar, belajar memainkan gitar, untuk menjadi Lennon. Tapi pada dasarnya bocah ini pemalu. la bahkan tak berani bermain gitar di depan para saudaranya, atau ayah ibunya sendiri. Ia memang tak perlu cemas disuruh bergitar di depan kawan dan sahabat-sebab ia tak punya seorang kawan pun. Anak yang kesepian ini, yang tak pernah berani bergaya di depan siapa pun, ternyata menyimpan mimpi untuk bergaya di depan dunia. Dalam benaknya, mungkin hanya dua jalan yang membuka kesempatan menuju kemasyhuran. Menjadi bintang rock, atau melakukan pembunuhan penting. "Minat John Hinckley terhadap The Beatles merupakan isyarat dini keinginannya yang luar biasa untuk menjadi termasyhur, tanpa perlu banyak berusaha," kata Dr. Park Dietz psikiater yang turut memberi kesaksian dalam pengusutan anak muda itu. Ya, "The Easy American Dream Fantasy, " tulis Aaron Latham. Dikipas oleh angan-angannya, anak pendiam yang ingin menjadi bintang Rock ini memulai petualangannya menuju kemasyhuran, April 1976. Kepada kedua orang tuanya di Evergreen, Colorado, ia menulis sepucuk surat yang memberitakan kegagalannya di Texas Tech University. Ia juga menerangkan akan meninggalkan Lubbock, tanpa menyebutkan tujuan dan rencananya lebih jauh. "Enam minggu kamitak mendengar sesuatu mengenai John," kata ibunya, Jo Ann Hinckley, memberi kesaksian di depan pengadilan. "Kami tak mengerti di mana dia berada. Kami sangat cemas, dan tak bisa memastikan hidup matinya." Berita pertama datang melalui kartu Hari Ibu yang dilayangkan John Hinckley ke rumah orang tuanya. "Kartu itu tidak mencentumkan alamat pengirim." Hinckley sementara itu mengikuti angan-angannya dengan melangkahkan kaki ke Hollywood. Bukankah sasaran pembunuhannya adalah tokoh yang juga mengembangkan kemasyhurannya di Hollywood, beberapa generasi terdahulu? Tapi ia tidak menempuh jalan yang lazim. "Tindakan ke Hollywood ini adalah untuk mencari penerbit musik," kata William T. Carpenter, psikiater yang turut memberikan kesaksian di pengadilan. Tapi sampai di kota impian itu, Hinckley segera kehilangan nyali. Ia merasa tertekan, merasa tak berguna dalam hidup ini. Pada saat itulah ia menonton film Taxi Driver. Ia melihat film itu pertama kali di Egyptian Theatre. Kepada Dr. Bear, Hinckley pernah bertutur, "saya merasa seperti Travis dalam film tersebut. Seorang yang kesepian, tak berbahagia, tak punya kekasih. Aku menoleh ke sekitarku, oh, betapa segalanya mengerikan." Tak kurangdari 15 kali John Hinckley menonton Taxi Driver. Ia berusaha memiliki skenario film tersebut. Ia membeli rekaman musik film tersebut, dan memutarnya tak kenal jemu. Dalam keadaan seperti itu ia biasa bertarya kepada dirinya sendiri: "Apakah aku Travis?" Sejak menonton Taxi Driver, Jhon Hinckley menssuaikan segala tingkah laku dan kebiasaannya dengan Travis Bickle. Tak terkecuali dalam memilih minuman, pakaian bahkan kegemaran Film itu merasuk ke dalam kehidupan pribadinya. Ia merasa lengkap menjadi Travis. Dalam film itu Travis bertemu Iris. Lonte yang bekerja di bagian paling buruk Kota New York, kendati dalam usia sangat belia. Travis bersahabat dengan wanita ini. Dan peranan Iris dimainkan oleh Jodie Foster. Ia tampak bagai seorang gadis kecil. Iris dan Jodie Foster seperti luluh jadi satu dalam film tersebut. "Hinckley tidak mengidentifikasikan kekerasan, melainkan patologi," kata Paul Schrader, penulis Taxi Driver. " Kita dapat saja berhenti menyajikan kriminalitas secara realistis," katanya. "Namun para psikopat tetap saja hadir di antara kita, bahkan tanpa seni sama sekali. Kita tetap punya Raskolnikov, tanpa memiliki Crime and Punishment. Dan para psikopat menemukan identifikasinya dalam berbagai wadah lain. Umpamanya buku komik, bahkan iklan pakaian renang." Aaron bertanya kepada Schrader, "apakah kita semua bukan anggota generasi angan-angan?" Penulis itu terdiam sejenak. "Well, fantasi telah menjadi bisnis yang lebih besar dari yang pernah kita bayangkan," katanya. "Fantasi telah menjadi urusan keluarga. Dulu anda mendengar cerita-cerita khayal dari mulut ke mulut, di tengah keluarga. Kini cerita khayal itu dipompakan oleh konglomerat yang tak punya paras, yaitu tv." Pada 10 Juni 1976, John menyurati orang tuanya. Ia sedang mengalami kesulitan, dan membutuhkan bantuan. Seperti dituturkan kemudian oleh ibunya, "John kecurian. Ia tak punya apa-apa. Hidup di loteng-loteng dan tidur di bangku taman. Tak punya uang dan pakaian, tak punya tempat tinggal. Kami sangat bingung." Pada saat seperti itu, si pemimpi ternyata kembali berpaling mengharapkan bantuan ayahnya, pedagang minyak yang kaya. Dan sang ayah memang segera bertindak. Ia segera mengatur pengiriman uang, dan melayangkan sepucuk surat untuk membesarkan hati John. Betulkah ia dirampok? "Mungkin cuma sekedar ka tulis Aaron Latham, "sebagai usaha mendramatisasikan hidupnya dan mendapatkan uang dari orang tuanya." Soalnya, perampokan itu tak ada dalam catatan polisi. Bahkan menurut Aaron, John melanjutkan dramatisasi itu dengan menampilkan seorang teman wanita dalam hidupnya. "John menceritakan kepada kami seorang teman wanita bernama Lynn," kata Hinckley Sr. Mereka merencanakan melancong ke Malibu. "Kami sungguh merasa senang." Dr. Carpenter mendukung kesimpulan Aaron. "Ia 'menciptakan' Lynn untuk alasan tambahan memperoleh bantuan keuangan dari orang tuanya," ujar psikiater tersebut. "Wanita ini sangat mirip dengan salah satu peran utama Taxi Driver." Psikiater lain, Dr. Bear, bertutur, "setelah menonton film itu, John mulai menulis surat kepada orang tuanya tentang seorang wanita bernama Lynn Collins." Dalam suratnya, John mengatakan, "dia seorang wanita yang baik, rambutnya pirang. Dia penulis." Kepada Dr. Bear, John kemudian mengaku, gagasan untuk 'menampilkan' teman wanita itu muncul langsung dari Travis Bickle. Travis memang tokoh yang tidak sukses menghadapi wanita. Toh sekali waktu ia menulis ke rumah: "Saya dan Betsy baik-baik saja." Fantasi itu tumbuh subur. Seperti diceritakan Dr. Carpenter, John menghabiskan waktunya membuat buku harian tentang Lynn. Ia merencanakan pelbagai kegiatan. 'Wanita' itu makin merasuk ke dalam hidupnya. Di luar itu hampir tak ada yang dikerjakan John. Ia pergi ke bioskop, dan membuat film di dunia khayalnya. "Fantasi berkembang pada saat senggang," kata Dr. Bear. "Ketegangan yang 'normal' dapat menghentikan fantasi. Tapi ketegangan yang ekstrim justru menyuburkan fantasi dari jenis yang lain." Selesai saat sibuk, konon, angan-angan mendapat peluang baik untuk menggoda pikiran. "Sejumlah manusia hidup dalam fantasi," kata Dr. Bear. Terutama orang yang tak punya kesibukan, yang kecewa, yang menghabiskan waktu dengan berdialog dengan diri sendiri. Dan inilah yang terjadi pada John Hinckley. Orang-orang seperti ini hidup dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri. Mereka mengangan-angankan sukses. Sebagian menjadi schizophrenic, sebagian lagi betul-betul tak tersembuhkan. Fantasi mereka selalu luar biasa, misalnya menulis sebuah lagu yang menggemparkan. Dalam keadaan sibuk, fantasi menguap. Tapi ia segera kembali bersama ketegangan, yang bervariasi dari tingkat normal sampai ekstrim. Fantasi yang muncul dari ketegangan ini justru mencoba mencari jalan keluar dari persoalan yang menjadi asal muasal ketegangan itu sendiri, seperti daur yang tak kunjung sudah. Dr. Bear bahkan berpikir lebih jauh. Ia melihat aspek fantasi sama saja terhadap kebudayaan, seperti halnya terhadap individu. Bila suatu kebudayaan, atau masyarakat, sedang dibuai sangsi, muncullah dorongan untuk fantasi yang tak bermanfaat. Wujudnya bisa dilihat dalam film-film science-fiction, model pakaian, komik, mungkin juga kadang-kadang, pembunuhan. "Tatkala kebudayaan mengalami tekanan," kata Dr. Bear, "fantasi berkembang pesat." Fantasi yang muncul dari ketakutan, dari perang. Lihatlah betapa banyaknya penemuan yang muncul di tengah ketegangan. "Perang Dunia II menyumbangkan sejumlah fantasi yang berakhir pada penemuan," kata Dr. Bear. "Misalnya Proyek Manhattan"--yang merancang bom atom. ARON Latham bertanya kepada psikiater ini, apakah kita sekarang justru tidak sedang hidup di tengah zaman fantasi. "Betul," sahut Dr. Bear. "Saya kira di antara kita sekarang hidup sejumlah pemimpi. Secara kultural kita sekaligus sedang berada dalam periode ketegangan rendah dan ketegangan tinggi." Bagaimana keterangannya? "Dibandingkan dengan Perang Dunia II, ketegangan yang kita rasakan sekarang tidak seberapa," kata Dr. Bcar. "Bolehlah dinamakan ketegangan rendah. Tidak ada orang yang sedang menembaki kita." Sebaliknya, kemungkinan persenjataan sekarang ini bisa saja membuat kita berkeping-keping menjadi debu besok pagi, tanpa basa-basi. Suatu kondisi yang sangat menyuburkan fantasi." Kembali kepada John Hinckley, tiba-tiba saja keadaan tampaknya berubah buruk. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres pada penglihatannya, seseorang mencoba merampoknya di jalanan, ia tak mengalami kemajuan dalam usaha menjual lagu-lagunya, dan yang paling buruk, ia putus dengan 'kekasih'nya, Lynn. "Pada waktu itu ia menyatakan ingin pulang," tutur ibunya, kemudian. Perjalanan pertama Hinckley ke Hollywood merupakan paradigma sejumlah perjalanannya yang lain ke sejumlah tempat. Ia mencoba mengikuti fantasinya dengan penuh harapan, tapi gagal mewujudkan fantasi itu menjadi kenyataan. Ia merasa tertekan, dan terpaksa mundur. Peristiwa seperti itu terjadi berulang-ulang. Ia terumbang-ambing, tak bisa maju meraih Impian Amerika menurut versinya: meraih kemasyhuran dalam sekejap mata. Ia terpaksa berpaling kepada orang tuanya yang kaya. Ia selalu balik ke rumah, paling tidak mencoba untuk pulang. Ia tak pernah berniat meninggalkan rumah dalam arti yang sesungguhnya, tak pernah bisa melepaskan diri dari ketergantungan, tak pernah menjadi dewasa. Dalam pertumbuhannya, John Hinckley terlambat bisa berjalan. Ia juga terlambat bisa menyetir mobil, dan tidak bisa melepaskan diri dari ketiak orang tua sampai berusia hampir 26 tahun. Pada suatu saat orang tuanya menerima telepon. "Dia menghubungi kami dari lapangan terbang Denver," kata Jo Ann, "minta dijemput." Ia memang agak lama meninggalkan rumah, tapi pergi tak terlalu jauh. Ia mendapat pekerjaan di Taylor Supper Club, di daerah pinggiran Denver, dan tinggal di sebuah motel. "Motel yang sangat tua dan kecil," kata Hinckley Sr., menambahi penuturan istrinya. "Kamarnya sempit, di lantai tak ada karpet. Lebih tepat dinamkan sederetan kamar, ketimbang rumah penginapan yang layak." Hanya lima bulan Hinckley bekerja di Taylor Supper Club, sejak September 1976 sampai Februari 1977. Jeda sejenak, Hinckley kembali membuat perjalanan ke Hollywood, "berusaha menjual musik." Tiga minggu ia di sana, menurut pengakuannya kepada Dr. Carpenter. Dan selama masa itu sangat tertekan, bahkan digoda oleh pikiran-pikiran untuk bunuh diri. Ia mendapatkan dirinya melakukan banyak hal yang sama seperti yang diperlihatkan tokoh peran dalam Taxi Driver. Ia ke sana ke mari sendirian, menonton film-film gombal, menghabiskan waktu dalam kesepian. Menurut ayahnya, Hinckley sangat membenci perjalanan kali ini. "Segalanya seperti tak beres. Lalu ia memutuskan pulang dan kembali ke Texas." Tapi ia terlalu gelisah untuk betah tinggal lama di Texas. Dia kembali mengembara. "la mencoba sekali lagi menjual lagu-lagunya," kata Dr. Carpenter. Kali ini ia pergi ke Nashville. Melihat-lihat keadaan di kota itu, dan menemukan keputus-asaan total. Ia memutuskan segera berangkat. Ia kembali ke Lubbock, dan mendaftarkan diri di Texas Tech University. Dari jurusan ekonomi, ia pindah ke jurusan sastra dan jurnalistik. Tapi ayahnya menerangkan, "pada awal 1978 ia mulai merasa diserang pelbagai penakit." Penyakit itu seperti mengganas di sekujur tubuhnya. Ia merasa sakit di telinga, kerongkongan, lengan, dan mata. Menjelang semester musim gugur, 1978, John Hinckley kembaii meninggalkan bangku kuliah. Tinggal di sebuah apartemen, sendirian, seperti biasanya. Dalam kesepian itu ia mengisi perutnya dengan fast food, makan dan tidur tanpa kesibukan tertentu, sehingga tampangnya bagaikan belatung yang buncit di kolong paling bawah 'Impian Amerika'. Ketika ia pulang ke rumah untuk berhari Natal, ibu-bapanya terkesima. "Berat badannya luar biasa," kata ibunya mengenang. Tahun baru 1979 datang, dengan sesuatu yang unik. John bercerita bahwa Lynn Collins--kekasih imajiner itu -- akan "datang berkunjung." Seperti dikatakan Dr. Carpenter, setelah putus, kini 'kekasih' itu kembali memasuki hidup John. Orang ini sangat bingung. Ia tak lagi bisa membedakan realitas dengan gagasan." DAN kesimpulan dokter ini diperkuat oleh penuturan Jo Ann Hinckley. "Ia mulai bersiap-siap menyambut kunjungan Lynn," kalagang ibu. "Ia berusaha mengurangi berat badannya." Ia berpuasa, bahkan sampai jatuh sakit. Tapi John Hinckley, tentu saja, tak bisa menyentuh seorang kekasih imajiner. Ia kembali ke Texas dalam keadaan kecewa. Ia menghibur dirinya dengan berbagai bacaan mengenai kebencian. Seperti kesaksian Dr. Carpenter, "ia membaca literatur Nazi, literatur ideologis kanan, bahkan ekstrim kanan." Adalah hal yang sungguh ironis bahwa Hinckley berfantasi tentang dunia Nazi, tempat yang justru lebih banyak membunuh fantasi itu sendiri. "Salah satu hal paling buruk dari pemerintahan otoriter," kata Dr. Bear, ialah bahwa mereka mengeringkan fantasi. Cengan demikian mereka menggali liang kuburnya sendiri. Sedang di pihak lain, daya berfantasi masyarakat tetap tinggi." Dr. Bear kemudian menunjuk Uni Soviet, yang "banyak mengekang fantasi. Padahal di sini, di Amerika, kita bebas berfantasi. Beberapa fantasi mencapai penemuan tertentu, seperti misalnya Thomas Edison mengubah impian menjadi kenyataan." Dengan mengembangkan fantasi, memang kerugian bisa menimpa orang yang tidak memiliki otak yang sempurna. "Fantasi menolong yang kuat, tapi menyakiti yang lemah," kata Dr. Bear. John Hinckley bisa disebut contoh yang buruk dari sesuatu yang baik di Amerika. Menurut Dr. Carpenter, "ia juga mengisi waktunya dengan membaca buku-buku tentang pembunuhan yang patut diberitakan. Di antaranya terdapat buku berjudul RFK (Robert F. Kennedy) Must Die. Buku lain mengenai Marina dan Lee Oswald, orang yang dituduh menembak Presiden Kennedy. Ia kemudian sampai pada keputusan untuk membentuk sebuah organisasi nasional bernama Front Amerika. Tujuan organisasi ini ialah "mengembalikan negeri kenilainya yang hakiki, dan mengungkapkan kenyataan betapa kelompok minoritas telah menghancurkan hak-hak kaum Protestan kulit putih." Berjam-jam ia bekerja mempersiapkan organisasi ini, menyusun surat tentang jadwal kegiatan, membuat buletin dan mengirimkannya kepada anggota. Ia sendiri menyebut dirinya Direktur Nasional, John Hinckley. Padahal sesungguhnya, yang dinamakan 'anggota' itu sama sekali omong kosong. John Hinckley tetap sebatang kara. Ketika ia menyurati ayah-bundanya dari Lubbock perihal Front Amerika ini, orang tua itu sungguh cemas. Mereka khawatir putranya bersahabat dengan orang-orang yang mengerikan, dan di bawah pengaruh mereka bisa saja jatuh ke dalam kesulitan yang sulit dibayangkan. Dr. Carpenter menambahkan keterangan, "ia juga membeli sepucuk pistol kaliber 38, Agustus 1979. Mulamula ia memainkan pistol ini di dalam kamar, sendirian, misalnya dengan mengarahkannya ke layar tv." Dalam Taxi Driver, Travis juga pernah mengarahkan pistolnya ke pesawat tv. Paul Schrader, kreator Taxi Driver memang pembenci televisi. Itu sebabnya ia menyuruh tokoh protagonisnya dalam film ini membidik layar pesawat itu. "Ada fantasi yang produktif," kata Schrader kepada Aaron Latham. "Tapi ada juga fantasi yang membuat anda terasing dari realitas perasaan." Dan ia menuding fantasi model terakhir ini 75% digalakkan oleh 'siaran niaga' tv, dan 30% oleh pertunjukan tv itu sendiri. "Pesawat itu membuat anda menjadi dwi-dimensional," katanya. Menurut penuturan ibunya, "1979 adalah satu-satunya tahun yang tidak digunakan John merayakan Hari Natal di rumah." Mereka mendapat kabar, sang anak sedang menuju New York bersama 'pacar'nya, Lym1 Collins. Ia konon sudah menyelesaikan penulisan sebuah novel, dan mencoba mencari penerbit di New York. "Sudah tentu semua cerita itu tak benar," kata Dr. Carpenter. Ia hanya tak mau pulang dan bersembunyi di Lubbock, sendirian dan dengan eerasaan tertekan luar biasa. Cerita yang diberikan psikiater lain, Dr. Thomas C. Goldman, lebih mengerikan. "Selama periode itu," katanya, "John bermain rulet Rusia." Ia mempunyai revolver dengan lima kamar peluru. Salah satu diberi isi. Setiap kali ia menarik picu pada kamar peluru tak berisi, ia mengatakan, "hari ini adalah hari keberuntunganku." Tahun baru 1980 disongsong John Hinckley dengan membeli sepucuk senapan. Ia kemudian berpotret dengan senjata-senjata api itu. Dalam sebuah pose ia mengacungkan pistol kejidatnya sendiri. Tindakan itu sama sekali tidak orisinal. Bukankah tokoh Travis dalam Taxi Driver melakukan hal yang sama? Dalam adegan terakhir film itu, Travis mengacungkan pistol ke kepalanya, kemudian click: "Tiba saatnya menembak diri sendiri." Menurut ibunya, sejak saat itu pula John makin jauh terperosok, dari hari ke hari. "Setiap saat kami mendengar sesuatu tentang dia, selalu muncul keluhan fisik yang baru." Ia tak pernah beres di sekolah. Dan setiap ia mencoba mengikuti pelajaran, ia segera merasa payah, lalu keluar. "Kami sangat khawatir mengenai dirinya," kata Jo Ann Hinckley. Ketika akhirnya ia pulang, suatu hari, gendutnya sungguh luar biasa. Ia sangat merasa tertekan dan tersisihkan. Ia tampak sakit. Beratnya 225 pound 65 pound lebih dari berat normalnya. Setelah beberapa minggu di rumah, si buyung lasak itu pergi ke Dallas, ke rumah kakaknya yang tingal di kota itu. Tak lama, ia kemudian balik ke Lubbock. Musim semi 1980 John Hinckley mulai bersyair-syair. Puisinya rata-rata bernada duka. Seperti yang dikatakannya kepada paa dokter yang menanganinya, ia ingin menjadi "penyair psikopat." Seperti kemudian dikatakan Dr. Goldman, "anak ini memutuskan untuk menjadi penulis. Tapi sungguh tragis, ia melakukan hal itu seorang diri. Ia hampir tak berhubungan dengan siapa pun. SEPERTI halnya dulu ia tak sanggup bermain gitar di depan siapa pun, kini ia tak mau memperlihatkan puisinya kepada seorang juga. Meski demikian, ia berniat menjadi penulis termasyhur. Pada musim semi 1980, ia menyairkan hidupnya yang sepi, dan tanpa wanita: Gadis-gadis menunggu untuk dipilih. Tapi hati ini telah membeku Akulah kerabat Frankenstein, mengembara mengemis kasih Mengutuki nasib yang tak menentu. Sekitar Mei tahun itu, menurut Dr. Carpenter, John Hinckley membaca sebuah artikel mengenai Jodie Foster dalam majalah People. "Setelah itu ia lebih terpukau kepada bintang Taxi Driver ini." Artikel tersebut antara lain mengungkapkan rencana Jodie meneruskan pelajaran ke Yale. Sementara sang bintang mempersiapkan tahun pertamanya di Yale, John Hinckley mendaftarkan diri ke nbali ke Texas Tech . Musim panas tahun itu sang "penyair psikopat" mulai menulis puisi tentang bintang layar putih yang dicintainya: "Ya, dialah keindahan yang lain/yang terlupakan dalam hidupku." Sementara itu, menurut ingatan Jo Ann, "dia mulai dengan keluhan-keluhan baru, ketegangan, rasa lemah, dan pitam. Ia merasa sesuatu yang tidak beres pada kakinya." John menemui seorang dokter di Lubbock, Dr. Rosen. Ia mendapat tablet Serentil dan Valium. "Ia penelan pil yang luar biasa," kata Dr. Bear. "Sama seperti tokoh idolanya dari layar putih, Travis Bickle." Pada akhir semester itu John semakin parah. Kedua orang tuanya sepakat mengajak anak itu pulang. Hinckley Sr. meminta bantuan Durrel Benjamin, psikolog perusahaannya, untuk turut menangani John. Benjamin kemudian menerangkan, "anak ini tidak matang." Dibutuhkan waktu yang panjang dan terencana, untuk membuat John Hinckley normal seperti manusia lainnya. John ketika itu mendengar sekolah penulis yang dibuka di Yale. Kedua orang tuanya berusaha agar John bisa masuk di sekolah tersebut. Untuk mencoba mengikatkan John kepada disiplin, dia diminta menandatangani semacam perjanjian bersama orang tuanya. Perjanjian itu mengatur penerimaan dan pengeluaran uang bantuan, dan janji John untuk mengatur kegiatannya secara produktif. Disebutkan pula dalam perjanjian, ini adalah kesempatan terakhir untuk John. Sehari setelah menandatangani 'kontrak', John pergi ke New Haven. ia tampak tak begitu terpengaruh pada perjanjian 'terakhir' kita, Yang terbayang dalam benaknya hanya satu-Jodie Foster. Perjanjian ke New Haven, menurut Dr. Carpenter, "tak ada hubungannya dengan usaha masuk sekolah penulis." John juga tak akan memenuhi-syarat untuk diterima. Ia ke New Haven mengikuti Jodie Foster, menurut jalan pikirannya sendiri. Agustus tahun itu rangkaian film tv yang dibintangi Jodie. Ia merasakan semacam 'himbauan' untuk bertindak setelah menyaksikan film tersebut. Ia merasa sudah tiba saatnya untuk bersatu dengan sang pujaan hati. John berusaha menjumpai Jodie foster, bagaikan seorang yang mencari kesembuhan berusaha menjumpai Ahli Sihir dari Oz. Di pihak lain, Hinckley merindukan Jodie dalam sosok seorang ibu yang hilang. Dalam sebuah puisinya ia memohon, "Jodie, jagalah aku." Ketika akhirnya ia tiba di New Haven, ia memang berusaha berkenalan dengan Jodie. Tapi keberaniannya tetap sangat terbatas. Ia membuka perkenalan itu dengan menyelipkan beberapa puisinya di bawah pintu sang bintang film. Namun, Dr. Goldman percaya, "inilah pertama kalinya ia mencoba memperlihatkan karya tulisnya kepada seseorang." DR. Carpenter menambahkan, "dalam perjalanan kali ini John Hinckey berhasil dua kali berbicara melalui telepon dengan Jodie Foster." Tapi ia tak terhibur oleh kenyataan itu. Ia terlalu terpesona. Juga terlalu pahit, ketika barangkali tnyata Jodie sempat bertanya, "Mengapa anda menelepon saya?" John malahan menganggap hubungan telepon ini suatu kegagalan total. Ia mengungkapkan kepahitan hatinya itu melalui sebuah puisi yang menggigit. Ingin memasuki perasaan John Hinckley, Aaron Latham mencoba menelepon Jodie Foster. "Di seberang sana terdengar suara yang akrab dan pasti," tulisnya. Aaron menceritakan kepada bintang itu bahwa ia sedang mempersiapkan suatu tulisan mengenai Hinckley. "Nanti sajalah hal itu kita bicarakan," sahut Jodie. "Dan kita memutuskan bahwa saya tidak akan berbicara mengenai dia." Belum kehilangan harapan, Aaron berusaha menahan Jodie sedikit lebih lama di pesawat telepon. Ia menerangkan akan menulis Hinckley sebagai bagian dari generasi fantasi. Jodie tak bergeming. "Demikianlah konsensus yang berlaku," katanya. Setelah seminggu pergi dari rumah --batas waktu terpanjang yang diizinkan kontrak yang ditekennya--Hinckley balik ke rumah. Ibunya sangat terkejut melihat anak itu, "dan sangat bingung." John mengatakan tak senang di Yale. Ayahnya kebetulan tak di rumah, sedang ke luar kota. "Aku takut ayahnya menjumpai anak ini di rumah, pada saat ia seharusnya berada di Yale," kata Jo Ann. Ayahnya pasti marah. "Maka kukatakan kepada John ia tak bisa tinggal di rumah. Ia kuantar ke sebuah motel di Denver, dan melewatkan malamnya di sana. Pada pagi berikutnya aku mengantarkan dia ke lapangan terbang. Ia mengatakan akan menyelesaikan beberapa urusan di Lubbock." Tampaknya 'pengembaraan' akan dimulai lagi. Dr. Carpenter menerangkan, "ia memang kemba!i ke Lubbock. Ia membei dua pucuk pistol kaliber 22." Kini anak itu memiliki tiga pucuk senjata api--dan rasa puas karena memiliki senjata yang sama jumlahnya dengan yang dimiliki Travis Bickle. Ia merasa betul-betul mirip Travis, dan memutuskan untuk 'memburu' Presiden Carter. Pada 27 September 1980 ia meninggalkan Lubbock menuju Washington DC. Dari ibukota negara itu, keesokan harinya, Hinckley berangkat ke Columbus, Ohio. Dua hari kemudian ia berangkat ke Dayton. Ia mengetahui Carter di.sana dan akan tampil dalam rangka kampanye. Ia membawa senjata apinya. Pada hari yang tepat, ia berhasil berada di sekitar Presiden Carter. Tapi ia tak berhasil membulatkan niat untuk menembak sang presiden. Ia menganggap kenyataan ini suatu kegagalan. Menembak presiden ternyata sama sulitnya dengan menemui bintang film ! Dengan hati patah ia meninggalkan Dayton, kembali ke New Haven, ke Jodie Foster. Kemudian ke New York,berkeliaran mencari pelacur berusia belasan, yang bisa diibaratkan dengan Jodie Foster. Ia kemudian membuat perjalanan ke Lincoln, Nebraska, dengan harapan membuka kontak dengan seseorang yang dilukiskannya sebagai "pemimpin ideologis partai Nazi." Ia tiba di Lincoln, dan tak tahu harus berbuat apa. Sehari ia terbingung-bingung di situ, tanpa berhubungan dengan siapa pun. Setelah itu ia terbang ke Nashville, berusaha lagi memburu Presiden Carter, yang singgah di kota itu untuk berkampanye. Ketika akan meninggalkan Nashville ia smpat ditahan. Senjatanya tercium oleh detektor logam yang dipasang dalam rangka pengamanan. Tapi tak ada yang istimewa. Setelah melalui beberapa prosedur, anak muda itu dipersilakan melanjutkan perjalanan. Hari itu juga John Hinckley tiba di New Haven. Di kota ini ia berniat menculik dan melarikan Jodie Foster. la akan meringkus bintang yang memabukkan itu, memborgolnya, dan membawanya pergi. Tapi angan-angan itu hampir.tak punya kekuatan. Polisi di Nashville tidak hanya menyita senjata api Hinckley, melainkan juga borgolnya. Bagaikan serdadu yang telah dilucuti, anak muda itu mengambil kamar di Colony Inn, New Haven. Hari berikutnya ia membayar rekening US$ 46, dan berangkat. Ia pindah ke Hotel Duncan, hanya untuk beberapa jam. Akhirnya ia baru merasa mendapatkan ketenteraman di Sheraton Park Plaza Hotel, masih di kota yang sama. Ia melewatkan malamnya di hotel ini, dengan ongkos US$ 39. Hari berikutnya ia ke Dallas, "untuk mempersenjatai diri." Ia membeli dua pucuk pistol kaliber 22. Dalam keadaan bersenjata, John Hinckley agak membusungkan dada kembali ke New Haven. Ia balik ke Sheraton Park Plaza Hotel. Dua malam ia tinggal di hotel itu, dengan ongkos US$ 78. Kemudian ia terbang ke Washington, dan mendaftarkan diri di Quality Inn Downtown. Hanya dua malam ia di situ. Ongkosnya US$ 56,80. Ia kemudian kembali ke rumah orang tuanya. "Saya masih ingat ketika kami menjemputnya di lapangan terbang," kata Hinckley Sr. mengenang. "Ia tampak begitu tertekan, bingung, seperti orang tak punya pegangan. Ketika itu hari masih siang." Ketika berada di dalam mobil, anak itu seperti melakukan semacam pengakuan untuk kedua orang tuanya. "Saya telah mempelajari satu hal secara meyakinkan," katanya terbata-bata. "Saya tak bisa mengendalikan uang." Mendengar pengakuan yang terdengar tulus ini, "rasanya masih ada harapan," pikir Hinckley Sr. di dalam hati. Tapi sampai di rumah, keadaan tampaknya bertambah buruk. Anak itu seperti dikejar bayangan, dalam keputusasaan total. "Keadaannya menakutkan saya," tutur Jo Ann. "la tampaknya sangat buruk." MALAM itu ketiga anak beranak mencoba membuka perbincangan di ruang duduk rumah mereka yang lapang. John Hinckley mulai mengisahkan pengembaraannya ke berbagai kota. "Aku mulai tak tahan," kata Hinckley Sr., "dan memisahkan diri, naik ke ruangan atas." Beberapa saat kemudian Jo Ann datang menyusul suaminya. "Kita harus mencari psikiater," katanya dengan nada cemas, "untuk menolong anak itu." Tapi mereka belum juga bertindak. "Aku mulai khawatir anak itu menghabisi hidupnya," kata Jo Ann. Pada suatu hari Jo Ann mendapatkan anaknya dalam keadaan parah. John grogi, dan diliputi ketakutan luar biasa. Ia mengaku minum pil Serentil terlalu banyak. Kedua orang tuanya bersepakat untuk membawa John menemui Dr. John Hopper, seorang psikiater di Evergreen. Dokter itu meminta John menuliskan riwayat hidupnya secara singkat, dan anak itu melakukannya. Di dalam riwayat hidup singkat itu ia seperti berterus terang melukiskan pengalamannya beberapa bulan terakhir. "Pikiranku tak menentu," tulisnya. "Hubungan yang pernah kuimpikan, raib entah ke mana. Kesadaranku terhadap segala-galanya, kini lengkap adanya. Aku kembali ke Colorado." Dokter Hopper kemudian menemui suami-istri Hinckley. "Ada pendekatan yang berbeda yang dilakukan masingmasing orang tua itu terhadap John Hinckley Jr.," katanya kemudian. "Sang ayah lebih tegas, otoriter, dan menekan. Ny. Hinckley bersifat pemaaf, dan melindungi." Untuk membantu John mendapatkan suasana santai, Dr. Hopper mencobakan terapi biofeedhack. Ia diberi earphone, mirip yang dikenakannya untuk keperluan latihan menembaki silhuet. Sebuah elektroda dipasang di dahinya. Tapi sementara sang dokter menyangka pasiennya santai, John justru sedang berangan-angan tentang pembunuhan, dan Jodie Foster. Menjelang akhir 1980 John Hinckley kembali berangkat ke Washington. Calon pembunuh ini bermalam hampir dua minggu di Hotel Presidential. Ia mulai berpikir untuk 'memburu' presiden terpilih yang baru: Ronald Reagan. Selama di Washington, Hinckley meluangkan waktu berpotret di depan Teater Ford, tempat Abraham Lincoln terbunuh. Menurut kesaksian Dr. Carpenter, "ia berada di Washington tatkala John Lennon di pistol Mark Chapman." Peristiwa itu merupakan pukulan yang sangat dahsyat baginya. Ia datang ke New York untuk menunjukkan perhatian atas musibah tersebut. Ibunya seperti membenarkan keterangan tersebut. "John memang menelepon kami dari New York," katanya. Anak itu mengadu: "Saya baru saja menghadiri pemakaman John Lennon. Saya tak akan tinggal lebih lama di Kota New York ini. Bolehkah saya pulang?" Padahal, sesungguhnya, John tidak menelepon dari New York, melainkan dari New Haven. Ia singgah di kota itu, dan sedang bersiap-siap meneruskan perjalanan. Kebetulan pula sudah saatnya pulang kandang untuk merayakan Hari Natal di rumah. Seperti biasanya, ia minta dijemput di lapangan terbang. "Kami hampir tak berbicara di dalam mobil," kata Hinckley Sr., mengenang. Anak itu sebelumnya sudah mengatakan, "Jangan membicarakan sesuatu mengenai John Lennon, ayah. Aku sedang dalam keadaan sangat berkabung." Sepanjang perjalanan dari lapangan terbang ke rumah mereka, sekitar 35 mil, tak ada lagi percakapan. Ibunya semakin khawatir. "Berkali-kali kami sudah melihat John dengan tampang yang menakutkan," katanya. "Tapi kali ini ia betul-betul mengerikan." Semangat sukacita menyambut Natal sama sekali tak terasa ketika mereka tiba di rumah. Biasanya, bila tiba saat menggantungkan berbagai hadiah di Pohon Natal, John Hinckley selalu diminta memainkan peranan Sinterklas. Tapi kali ini ia betul-betul pasif. Ia tak sudi mengambil bagian apa pun. Dr. Bear mengakui suasana perkabungan John Hinckley. Bahkan psikiater itu mencatat keterangan ayah John, bahwa sang anak tak akan sampai begitu sedih bila ayah kandungnya sendiri yang berpulang. Setelah masa liburan, John kembali menjumpai Dr. Hopper. Dokter ini sendiri menanyakan orang tua Hinckley, apa yang mereka harapkan dari sang anak. "Kami ingin anak ini bisa berdiri sendiri," jawab Hinckley Sr. "Mengapa kalian tak mencoba berbicara dengannya, dan mencoba menyusun sebuah rencana?" kata Dr. Hopper. Maka Hinckley Sr. mencoba sekali lagi. Mereka menyuruh John berusaha mencari pekerjaan, sampai akhir Februa ri 1981. Ia juga diberi batas waktu sampai akhir Maret 1981, untuk meninggalkan rumah--tidak peduli ia sudah dapat pekerjaan atau belum. Orang tuanya akan membantu keuangannya sampai akhir Maret 1981. Sementara itu, sebuah berita baik diterima keluarga ini. Saudara perempuan John, Diane, melahirkan seorang bayi perempuan. Jo Ann, yang kini menjadi nenek, bergegas ke Texas untuk menimang sang cucu. "Aku mengantarkannya.ke lapangan terbang, kemudian terus masuk kantor," kata Hinckley Sr. Ketika ayah ini pulang, John Hinckley sudah tak ada di rumah. Ia meninggalkan sepucuk surat di tangga. "Tak ada gunanya lagi tinggal di rumah ini," demikian bunyi surat itu. "Aku memutuskan untuk berangkat." Hari itu adalah 9 Februari 1981. John terbang ke selatan, tentu saja ke New Haven. Keterangan Dr. Goldman mengenai periode ini agak mendirikan bulu roma. "Anak itu berpikir untuk mendatangi Jodie Foster di sekolah, dan meyiram kelas itu dengan peluru." Tapi, syukurlah, niat itu tak kesampaian. Sehari suntuk ia hanya bermalas-malas di Colony Inn, kemudian membayar sewa US$ 49. Pagi hari berikutnya, John terbang ke Washington. Dua malam ia menginap di Capitol Hill Quality Inn, dengan ongkos US$ 50. "Ia berangan-angan menembaki Kongres," tutur Dr. Goldman. Ia membayangkan dirinya sebagai penembak Kennedy. Ia melancong ke Gedung Putih dan yakin di sana tak ada detektor logam. Pikirannya tergoda untuk melakukan penembakan di sana. Tapi akhirnya ia kembali ke New York, dan menginap dua malam di Sheraton Center Hotel. Ongkosnya US$ 71,12. Lalu uangnya habis. Ia melewatkan beberapa malam dengan tidur di jalanan. Menurut Dr. Bear, "pada 14 Februari 1981, John Hinckley dipengaruhi gagasan yang gila." Ia merencanakan pergi ke Dakota, ke tempat sesungguhnya adegan penembakan John Lennon. Ia merencanakan mencari pistol kaliber 38--persis seperti yang digunakan pembunuh Lennon--kemudian dengan senjata itu meletupkan kepalanya sendiri. Namun, lagi-lagi anak itu gagal. Ia tak punya cukup keberanian, bahkan untuk melaksanakan angan-angannya. Ia seperti putus asa. Ia tak dapat menembak dirinya sendiri. Ia juga tak yakin apakah ia mampu menembak seorang presiden. Ia tak berhasil menemui Jodie Foster. Ia tak berhasil melakukan apa pun ia begitu tertekan, hingga menulis, "belatung-belatung yang penuh dendam siap melahap total. Pada 19 Februari John pulang ke rumah Orang tuanya agak terhibur ketika anak itu mengatakan telah mendapat pekerjaan di sebuah surat kabar lokal. "Tapi cerita itu dusta," kata Dr. Dietz. Terbukti kemulian Jo Ann tidak terdaftar di kantor manapun. "Kami ke luar kota beberapa hari, karena suami saya perlu menyelesaikan beberapa urusan kantar," kata Jo Ann. Ketika mereka pulang John sudah tak ada. Seperti biasanya, ia tak lupa meninggalkan surat. "Ibu dan Ayah," demikian ia menulis, "Anakmu yang hilang kembali mengembara, untuk menghalau sejumlah iblis dan roh jahat." Tanggalnya adalah 1 Maret, batas waktu yang diberikan pada John Hinckley untuk meninggalkan rumah dan mulai belajar berdikari. JOHN Hinckley langsung menuju New Haven. Ia tinggal semalam di Sheraton Park Plaza, dengan ongkos US$ 40. Kelak John bercerita kepada Dr. Bear tentan perjalanan terkahirnya ke New Haven, "saya merencanakan bertemu Jodie Foster. Saya akan menembaknya, kemudian menembak diri saya sendiri. Semacam kombinasi pembunuhan dan bunuh diri. Agak bergaya Romeo dan Juliet . . ." Mendengar keterangan Dr. Bear, Aaron Latham mengingat sebuah bab dalam buku kegemaran John Hinckley, The Fan. Setelah mengulangi membaca bab itu, "saya yakin John sangat terpengaruh sehingga mencoba menyusun rencana pembunuhan dan bunuh diri tersebut," kata Aaron. Dalam buku tersebut tertulis: "Seakan kita selama-lamanya. Kau akan mati sebagaimana engkau telah hidup, dalam kebesaran dan kecemerlangan bintang-gemintang, dan aku akan mati di bawah bayangan kecemerlangan itu . . . " "Tak sesuatu, dan tak seorang pun akan bisa memisahkan kita lagi. Inilah asmara yang juga telah mengikat Romeo dan Juliet. Seperti mereka, kita akan tinggal hidup di dalam sanubari umat manusia sepanjang zaman . . . " Hinckley membawa buku ini dalam pengembaraannya. Polisi menemukan buku ini di hotelnya, segera setelah anak muda itu memberondong Reagan. "Saya ditelepon seorang teman yang mendengar berita itu dari televisi," kata Bob Randall, pengarang The Fon. "Saya segera diliputi perasaan ngeri, perasaan tercemar. Saya sungguh kecewa bahwa karya yang saya tulis dengan susah payah pada suatu waktu dikaitkan dengan percobaan pembunuhan." Dalam keterangannya lebih lanjut, Randall cenderung melihat sebuah Amerika yang sedang berada di zaman "impian buruk". Ia mengenangkan masa lampaunya, tatkala "begitu banyak fantasi indah, dan orang-orang yang diliputi cinta." Sekarang tampaknya keadaan sudah berubah. "Kita kehilangan banyak pemimpin. Dunia pertunjukan kita sangat sedikit menjanjikan harapan. Lihatlah televisi. Bahkan komedi kita melarat dan penuh kesalahmegertian. "Kita melihat demikian banyak impian buruk. Film-film horror justru meraih sukses berlebihan. Televisi menyajikan adegan kekerasan." Randall berjanji dalam karya-karyanya yang akan datang akan memerangi gejala ini. Tapi ia juga mengingatkan pada kekerasan yang terasah, "kekerasan yang sehat," seperti pada karya-karya Hitchcock. Kepada Dr. Goldman, John Hinckley mengaku, ia mencari Jodie Foster ke kampus Yale. Ia melihat bintang itu, dan membuntutinya dari jarak sekitar belasan kaki. Di kantungnya tersimpan sepucuk senjata yang telah diisi peluru. LAGI-LAGI John tak punya cukup keberanian untuk bertindak. Ia kemudian menulis sepucuk surat, dan menyelipkannyadi bawah pintu sanggadis. "Jodie Foster, kekasih, demikian bunyi surat itu. "Tunggulah, aku segera akan menyelamatkanmu. Mari bekerja sama. J.W.H." "Dalam film Taxi Driver, Travis Bickle memang mengirimi Iris sebuah surat penyelamatan," kata Jodie kemudian. Setelah melepas surat yang ditujukan kepada "Jodie Foster, superstar" itu, Hinckley secepatnya berangkat meninggalkan kota. Ia pergi ke New York, menginap tiga malam di Sheraton Center, 2 sampai 4 Maret. Uangnya habis, dan ia mulai luntang-lantung di jalanan. Ketika ia kelaparan dan kedinginan, ia kembali berpaling pada ketiak orang tua. "Pada 6 Maret, sekitar subuh, ia membangunkan kami," tutur Jo Ann. "Ia menelepon dari New York. Ia begitu kacaunya, sehingga kami tak mengerti apa yang ingin dikatakannya. Yang kami tangkap: dia lapar, dan tak tidur-tidur." Jo Ann mengaku, "tak pernah terdengar suaranya begitu buruk." Hinckley Sr. sampai menganjurkan anaknya menggantungkan telepon, dan menghubungi mereka kembali kalau sudah merasa agak tenang. Setengah jam kemudian Hinckley kembali menelepon. Suaranya terdengar lebih tenang. Ia mengatakan sudah sekitar tiga hari tidak makan dan tidak punya tempat untuk bermalam. Ia tak punya uang, dan tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia bertanya, bolehkah saya pulang?" Kedua orang tua bingung. Menurut advis Dr. Hopper, lebih baik mereka jangan segera mengizinkan John pulang. Mereka perlu berbicara lebih dulu dengan dokter tersebut. Karena itu Hinckley Sr. menjawab, "John, cobalah telepon aku ke kantor siang nanti." Mereka tahu anak itu tak suka menghubungi kantor ayahnya. Ketika mereka berhasil menghubungi Dr. Hopper, psikiater itu mefnperlihatkan sikap tegas. "Beri dia US$ 100, dan ucapkangoodbye," kata sangdokter."Kami tak mampu melakukan hal itu," tutur Jo Ann. Kemudian Dr. Hopper menyarankan agar anak itu dibiarkan saja selama 48 jam. Orang tuanya 'menawar' menjadi 24 jam. Sepanjang hari itu John terus-menerus menelepon ibunya. Tatkala besoknya, pagi-pagi sekali, John kembali menelepon, setelah semalaman berkeliaran di jalanan Kota New York, ia mendapatkan jawaban yang diinginkannya. "Pulanglah," kata orang tuanya. Sesuai instruksi Dr. Hopper, Hinckley Sr. menyarankan John mencari ongkos pulang. "Pergilah ke kantor Bala Keselamatan, atau ke gereja, atau ke kantor polisi, atau ke mana saja yang kau anggap bisa meminjamkan uang," kata sang ayah. Sekitar sejam kemudian John melaporkan, dia tak berhasil mendapat satu sen pun. Hinckley Sr. segera menghubungi rekannya di Manhattan, dan segala-galanya langsung beres. "Saya tak bisa menjemputnya," kata Jo Ann. "Sepanjang hari saya meratap. Saya tak setuju rencana Dr. Hopper untuk memutuskan hubungan John dengan kami. Saya berusaha membujuk suami saya menentang rencana itu. "Aku menjumpainya di lapangan terbang, Sabtu malam, 7 Maret 1981," tutur John Hinckley Sr. "sekitar pukul sembilan atau setengah sepuluh." Keadaannya sangat buruk. Ia tak bercukur beberapa hari. Ia tampak sulit berjalan, seperti menyeret kakinya. SANG ayah membawa anaknya ke salah satu ruangan tunggu yang sedang kosong. Ia menyatakan kekecewaahnya kepada sang anak. Ia menyesali John karena merusak rencana yang pernah mereka atur bersama. Hinckley tak membawa anak itu pulang ke rumah. John dibekali beberapa ratus dollar, kemudian dibawa ke mobil tuanya yang memang tersimpan di lapangan terbang itu. Mobil itu ternyata masih bagus dan gampang distarter. Sang ayah menyuruh anaknya pergi ke YMCA. Dan John tampak tak mau. "Baik," kata Hinckley Sr. "Lakukanlah apa yang kau anggap baik.." "Saya yakin itu kesalahan terbesar yang saya buat dalam hidup ini," kata Hinckley Sr. kmudian, mengenang. "Akulah penyebab tragedi John. Kami memaksanya pergi tatkala ia sama sekali tak tahu harus berbuat apa. Semoga Tuhan memaafkan kami." Hinckley Sr. menangis mengingat peristiwa itu. John merginap di Golden Hours Motel, di Lakewood. Sekitar seminggu ia mengurung diri dalam kamar motel itu, dengan tirai dan gorden jendela diturunkan. Ia mulai menjual barangbarangnya. Mula-mula mesin tik, rekaman-rekaman, bahkan album Beatles yang sangat di sayanginya. Tapi ia tak menjual senjatanya. Ketika suatu hari ia ditahan polisi karena melanggar rambu lalu lintas, ia mulai takut. Ia memutuskan untuk pergi. Ongkosnya selama di motel itu US$ 11O. Ia pindah ke Motel 6, masih di Lakewood, dan mencatatkan namanya sebagai J. Travis. Hanya dua malam. John kemudian menelepon ayahnya, dan bercerita akan pergi ke California. "Aku kecewa sekali mendengar cerita pengembaraan ini berulang kembali," tutur sang ayah. Hinckley Sr. bertanya, apakah John bisa sampai ke California dengan mobil tuanya. Sang anak menjawab, "jual saja mobil itu, dan berikan aku uangnya." Hinckley Sr. menolak usul ini. John kemudian berhubungan dengan ibunya. "Ya, pada hari berikutnya aku mengantarkan John ke lapangan terbang," kata Jo Ann. Tanggalnya mungkin 25 Maret. Berlawanan dengan 'skenario' yang diatur Dr. Hopper, Jo Ann memberi anak itu uang US$ 100. "Uangku sendiri. Aku tak bisa melepasnya dalam keadaan bokek ." Sepanjang perjalanan ke lapangan terbang ibu dan anak itu lebih banyak diam. John tampak sangat bu ruk. Menakutkan. "Aku khawatir anak itu bunuh diri," kata Jo Ann. Acara perpisahan juga kering sekali. Well, Mom," kata John, "saya ingin berterima kasih untuk semua yang anda lakukan." Dan sang ibu menyahut, "kau senantiasa kami nantikan." Sambil menahan airmata Jo Ann kelak bercerita, "saya berusaha membuat suara sedatar mungkin, supaya John tak bisa membaca pikiran saya." Mereka kemudian berpisah. "Saya segera pulang," kata Jo Ann, "dan itulah saat terakhir pertemuan kami." John ke Hollywood, tapi tak sampai sehari semalam tinggal di kota itu. Ia melancong ke pantai, menumpang bis. Ia membeli tiket ke New Haven, tapi kemudian memutuskan singgah di Washington. Tidurnya tak ketentuan. Tiba di Washington siang hari, ia ke Park Central Hotel, sekitar satu setengah blok dari Gedung Putih. Ia tinggal di kamar nomor 312. Menutup pintunya pada pukul 20.30, tapi tak bisa tidur. Dia bangun sekitar pukul tujuh atau delapan esok harinya. Ia menonton televisi, mungkin acara Today Show, atau Good Morning A merica, sampai sekitar pukul sembilan. Kemudian ia ke warung McDonald di seberang jalan. Ia sarapan sambil berdebat dengan dirinya sendiri, tetap tinggal di Washington dan mencoba tidur, atau pergi ke New Haven--untuk bunuh diri. Saat itu duitnya tinggal US$ 150. Sekitar pukul 11.30 ia kembali ke hotel, dan membeli selembar koran Washington Star di sebuah mesin penjaja. Surat kabar itu memuat acara harian Presiden Ronald Reagan. John segera tersentak. Inilah saatnya. Kesempatan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ia mandi. Ia terlibat dalam pertimbangan yang dalam: apa yang harus dilakukan? Ia seperti dihadapkan pada tiga pilihan: pergi ke New Haven dan menembak Jodie Foster, bunuh diri, atau membunuh presiden. Ketiganya tak bisa dilakukan sekaligus. Ia terumbang-ambing. Ia kemudian minum Valium. Empat butir tablet, 20 miligram. Bila ia meminum pil itu sekitar tengah hari, obat tersebut mulai bekerja dalam darahnya sekitar pukul 13.45, atau pukul 14.00. Pada pukul 12.45, ia duduk dan menulis surat: "Jodie sayang, mungkin aku akan terbunuh dalam usahaku menembak Reagan. Karena itu aku perlu menulis untukmu. Seperti kau ketahui sekarang aku sangat mencintaimu. Aku berbahagia oleh kenyataan, bahwa pada akhirnya kau mengetahui namaku dan mengetahui perasaanku terhadapmu. "Jodie, aku bisa saja dalam sekejap mata membatalkan niat menembak Reagan ini, asal aku yakin dapat merebut hatimu, dan hidup berdampingan denganmu sepanjang sisa usiaku. Aku harus mengakui, satu-satunya alasan percobaan ini adalah karena aku tak dapat menunda lebih lama lagi mengungkapkan perasaan hatiku kepadamu. "Aku harus melakukan sesuatu, agar engkau mengerti betapa aku melakukan semua hal ini untukmu. Dengan mengorbankan kemerdekaanku, bahkan mungkin juga hidupku sendiri, aku berharap engkau mengubah pendapatmu mengenai diriku. "Surat ini ditulis hanya sejam sebelum aku berangkat ke Hotel Hilton. Jodie, aku mohon, bacalah sanubarimu sendiri, dan berilah aku kesempatan, melalui tindakan bersejarah ini, menerima penghargaan dan cintamu." Selesai menulis surat, John memasukkan sebuah lencana John Lennon ke kantung kiri baju panasnya. Ke kantung kanan dimasukkannya pistol kaliber 22. Ia pun melangkah meninggalkan kamar. "Ketika ia tiba di hotel itu, ia melihat Presiden Reagan melambai massa," tutur Dr. Bear. John mempunyai perasaan: "Presiden itu melihat langsung ke arahku. Inilah saatnya." Kemudian Presiden Reagan masuk ke hotel. John menilai segalanya berjalan terlalu cepat. Ia berpacu dengan waktu. Tak lama kemudian Presiden Rea gan keluar dari hotel. John berada dipress area, sekitar 20 kaki dari sang kepala negara. Ia terkejut akan kenyataan ini. Bahkan berpikir, "mengapa anggota kawal Presiden tak ada di sini? " John masih sempat terkenang, dalam film Taxi Driver tokoh Travis Bickle merencanakan membunuh seorang calon presiden. Tapi ia ketahuan pasukan keamanan. Rencana itu batal. Hinckley mengharapkan seseorang datang dan menghalanginya. Ia mengharapkan adegannya akan sama seperti dalam Taxi Driver--petugas-petugas keamanan menghentikannya. "Pikiran John selalu bercabang," kata Dr. Bear. Membunuh atau tidak. "Kita mengetahui pendirian politiknya. Ia pernah mengatakan, 'Reagan adalah presiden terbesar abad ini'. Pada saat yang gawat itu kekaguman pada Reagan bertempur dengan hasrat melakukan tindakan besar." Ketika melihat Reagan muncul begitu cepat, ia tercengang. Ia belum siap. Ia bahkan tak tahu harus berbuat apa. Ia heran. Tapi justru pada saat itu ia mengeluarkan senjatanya. Sekali menghunus pistol, tak ada lagi kesempatan surut. Mereka telah melihat pistol itu. Tak ada pilihan lain. "Aku melangkah maju, dan menembak," tuturnya kemudian. Setelah keenam pelurunya menghambur, "aku lega," kata John kemudian. "Semuanya telah berlalu." Johrl Hinckley Jr. menembak Presiden Amerika Serikat sehari sebelum ayahnya merencanakan menghentikan bantuan keuangan untuk anak itu. "Aku di kantor hari itu," kata John Hinckley Sr. "Aku sedang mewawancarai seseorang yang mencari pekerjaan. Tiba-tiba akuntan kepala kami memasuki ruangan. Mukanya pucat. Diahanya berucap, 'Jack, agaknya anda harus mendengar sesuatu'. "Aku segera tahu ada yang tidak beres. Aku ikut ke ruangannya, radio masih menyiarkan berita itu. Dan aku mendengar nama John disebut." "Pada 30 Maret aku menerima telepon," kata Jo Ann. "Di seberang sana berbicara seorang reporter Washington Post. Dia bertanya, 'apakah anda menyetel pesawat televisi anda?' Jawab saya, 'ya'. Dia bertanya lagi: 'Tahukah anda bahwa putra anda, John Hinckley, diidentifikasikan sebagai penembak presiden itu?' Pada mulanya aku menganggap berita ini semacam fantasi yang dibuat untuk keperluan televisi. Kemudian ternyata, semuanya sungguhan." Kita sudah tahu sisa cerita ini. "Tapi film belum selesai," ujar salah seorang psikiater yang menangani John Hinckey. Adegan kini pindah ke Rumah Sakit Jiwa St. Elizabeth, tempat John dirawat. Anak itu mulai menghubungi pengacara-pengacaranya, yang disebutnya "sahabat" satu-satunya. Ia menghubungi Washington Post. Ia juga berusaha menghubungi Jodie Foster. "Akhirnya anak itu memang berhasil mengecap sebagian impiannya," kata Aaron Latharn. Ia menyaksikan namanya memenuhi jaingan komunikasi media massa di seluruh dunia. Masih bisa dipertanyakan keadilan putusan hukum yang dijatuhkan ke atas pundaknya. Mungkin saja pada suatu hari, kerak, John Hinckley Sr. menerima telepon: "Ayah, aku baru saja menembak Jodie Foster. Bolehkah aku pulang?" Dan 'Impian Amerika' makin kehilangan sosok

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus