DENGAN perawakannya yang gempal, Muhamad Muhtar mengenakan
celana pendek dan bersandal jepit saja masuk kantor Pengadilan
Negeri Bandung awal bulan lalu. Tak ada yang memperhatikannya,
karena pria 46 tahun berwajah murung itu memang tidak terlibat
perkara apa-apa. Dia muncul ke sana untuk menemui Hakim Tomi
Sumarna, S.H., yang diakuinya kawan semasa SMP dulu.
Yang dicari tak ketemu, lalu sambil duduk di ruang tunggu,
Muhtar membuka obrolan dengan para wartawan yang biasa dinas di
sana. "Saya minta ditembak mati dengan sebuah putusan
pengadilan," ujarnya. Para wartawan yang mengerumuninya jadi
bengong. Pasti ada yang tidak beres. Betul juga. Muhtar buka
riwayat. "Dua puluh tahun lebih anu saya tak bisa berdiri,"
katanya sambil memainkan jari telunjuknya. Puluhan dokter dan
dukun pernah didatanginya. Tak satu pun yang berhasil menolong
perabot Muhtar.
"Saya bukan minta hukuman mati," ujarnya "itu hanya untuk orang
yang melanggar hukum." Sedang, yang diingininya adalah: ditembak
mati. "Hak untuk hidup dilindungi undang-undang. Hak untuk mati
pun dilindungi undang-undang," katanya dengan suara memelas.
Muhtar tak memperinci undang-undang mana yang katanya menjamin
hak untuk mati itu. Belum ada, kok. Sebab Konperensi Hukum
Sedunia di Manila, 1977, pun belum berhasil merumuskan pengakuan
akan 'hak untuk mati' itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini