AIR baku untuk minum di Jakarta makin tercemar karena endapan
sampah dan deterjen rumah tangga. Tapi ternyata juga sumber air
PAM DKI yang ada di wilayah Bogor sudah dalam keadaan kritis.
Keadaan ini lebih gawat lagi bila musim kemarau.
Sumber air minum Jakarta berasal dari Ciburial dan Ciliwung,
keduanya berhulu di wilayah Bogor. Debit air Ciburial semakin
kecil karena semakin banyak penduduk yang menambang pasir. Air
sungai ini dialirkan melalui pipa dan ditampung di Cibubur untuk
warga sekitarnya dan Depok.
Sumber air PAM utama berasal dari Ciliwung yang ditampung dan
dijernihkan di Pejompongan I & II. Sebelum memasuki penjernihan,
air sungai ini melewati hampir separuh wilayah Jakarta. Dari
situlah pencemaran dimulai, terutama pada bulan-bulan musim
kemarau.
Wakil Gubernur DKI Bidang Pembangunan, Ir. Piek Mulyadi, memang
tampak belum begitu khawatir ketika mengungkapkan masalah
pencemaran air PAM itu. "Dari segi kesehatan masih dapat
ditolerir," kata Piek minggu lalu waktu melantik Ir. Abdul Razak
menjadi Pejabat Sementara Wakil Direktur PAM DKI.
Tapi yang pasti pada siphon (tabung) di instalasi air minum
Pejompongan (I & II) tumpukan busa deterjen telah mencapai
puncak tabung. Secara pasti tak diketahui sejak kapan busa
deterjen bercampur endapan air berwarna merah itu terbentuk.
Tapi pada 1973 pihak PAM DKI telah mengirimkan contohnya kepada
Dept. Teknik Penyehatan ITB dan Sucofindo untuk diteliti.
Waktu itu analisa ITB memperkirakan penyebabnya hasil buangan
industri. Mungkin industri batik karena terdapat bahan yang
menyerupai malam (beeswax) dan dapat terbakar. Sedang hasil
Sucofindo memberi gambaran kondisi Banjir Kanal (Ciliwung)
--sumber air baku--yang memburuk pada musim kemarau. Karena
dalam contoh yang diteliti terdapat zat mineral (terutama besi),
zat organik dan bakteri dalam jumlah besar.
Penelitian dilanjutkan 1976 karena busa pada siphon semakin
banyak. Lalu disepakati survei mengenai syndet (Synthetic
deterget) dilakukan oleh Laboratorium Teknik Penyehatan Ditjen
Cipta Karya (PU) dengan PAM DKI Jaya. Hasilnya: kadar syndet
yang tinggi terdapat di Jalan Inspeksi, antara waduk Setiabudi
dengan waduk Melati, yaitu 6 ppm (parts per million) hingga 7
ppm.
Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa syndet yang ada
di Banjir Kanal (Ciliwung) berasal dari hasil buangan
rumahtanggai Got-got rumahtangga berkumpul menjadi satu, lalu
masuk ke Ciliwung dan terus ke kedua waduk tadi. "Jadi bukan
syndet buangan pabrik atau industri," kata Ir. Heri Prasodjo,
Direktur PAM DKI Jaya.
Kebutuhan air baku di musim kemarau bukan hanya mengharap dari
Ciliwung, tapi juga dari Citarum. Bersama dengan Dinas Pekerjaan
Umum, PAM berlangganan dari Perum Jatiluhur. Dengan membayar RF
23 juta maka PAM. Dan DPU mendapat air 94 juta m3 setahun.
Tanpa ditolong aliran Citarum, dengan cara mengalir Ikan
sebagian airnya ke Ciliwung di musim kemarau Jakarta bisa
kalang kabut. Sebab di musim kemarau permukaan air di Banjir
Kanal turun hingga air tak bisa masuk ke instalasi penjernihan.
Meski sudah dibntu oleh Citarum kadar syndet PAM KI tetap ada.
"Kecuali bila musim hujan, kadar syndetnya bisa turun," kata Ir.
Heri.
Proses penjernihan air minum di instalasi Pejompongan tak bisa
menghilangkan kadar syndet. "Mencegah 100 % memang tak bisa, "
kata Heri. Paling hanya memberi karbon aktif yang bisa
menyerap warna keruh dan menghilangkan bau. Impeknya terhadap
kesehatan? Ir. Heri belum tahu persis.
Kadar syndet yang 6 ppm hingga 7 ppm memang tinggi. Di Amerika
Serikat ada ketentuan kadar syndet dalam air minum tidak boleh
melebihi standar 0,5 ppm.
Ir. Martsanto Ds, Kepala Urusan Tata Pengairan--Dinas Perkejaan
Umum DKI Jaya, tak mau dituding sebagai pihak yang bersalah
karena adanya pencemaran itu. Waduk bukan tempat saluran air
buangan rumah tangga atau kotak sampah, tapi "untuk mencegah
banjir."
Di waduk Setiabudi dan Melati ada pompa air untuk membuang air
limbahan ke Ciliwung. Setiap hari kedua pompa ini harus berjalan
1/4 jam. Sebab bila tak dijalankan, pompa akan cepat rusak.
Padahal pompa itu mahal. "Harganya 10 kali harga mobil sedan
Mercy," kata Martsanto.
Langkah untuk mengatasi semua itu memang sudah dipikirkan
instansinyaMartsanto. Misalkan, air buangan rumahtangga akan
dialirkan melalui pipa dan dibuang ke bawah pintu air di Karet.
"Pemikiran ini belum menghilangkan masalah pencemaran. Hanya
mengurangi pengotoran yang dianggap terlampau berat," kata
Martsanto. Kemungkinan lain lagi adalah dengan menyadap air dari
Cibubur (yang belum tercemar) dengan pipa besar sampai di
Pejompongan. Tapi gagasan ini akan menelan biaya terlalu besar.
Yang akan jadi kenyataan rupanya gagasan memproses air syndet
agar berkurang kadar ppmnya. Caranya? Aerasi. Memasukkan
sejumlah oksigen ke dalam air kotor tersebut. Hal ini akan
diwujudkan tahun depan, meskipun hasilnya belum tentu memadai.
Sebab eterjen keras yang mencemari air hasil buangan
rumahtangga susah diuraikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini