Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Minum Deterjen & Air Sampah

Air minum di Jakarta makin tercemar karena endapan sampah dan deterjen, kini pam sedang mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut.

30 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIR baku untuk minum di Jakarta makin tercemar karena endapan sampah dan deterjen rumah tangga. Tapi ternyata juga sumber air PAM DKI yang ada di wilayah Bogor sudah dalam keadaan kritis. Keadaan ini lebih gawat lagi bila musim kemarau. Sumber air minum Jakarta berasal dari Ciburial dan Ciliwung, keduanya berhulu di wilayah Bogor. Debit air Ciburial semakin kecil karena semakin banyak penduduk yang menambang pasir. Air sungai ini dialirkan melalui pipa dan ditampung di Cibubur untuk warga sekitarnya dan Depok. Sumber air PAM utama berasal dari Ciliwung yang ditampung dan dijernihkan di Pejompongan I & II. Sebelum memasuki penjernihan, air sungai ini melewati hampir separuh wilayah Jakarta. Dari situlah pencemaran dimulai, terutama pada bulan-bulan musim kemarau. Wakil Gubernur DKI Bidang Pembangunan, Ir. Piek Mulyadi, memang tampak belum begitu khawatir ketika mengungkapkan masalah pencemaran air PAM itu. "Dari segi kesehatan masih dapat ditolerir," kata Piek minggu lalu waktu melantik Ir. Abdul Razak menjadi Pejabat Sementara Wakil Direktur PAM DKI. Tapi yang pasti pada siphon (tabung) di instalasi air minum Pejompongan (I & II) tumpukan busa deterjen telah mencapai puncak tabung. Secara pasti tak diketahui sejak kapan busa deterjen bercampur endapan air berwarna merah itu terbentuk. Tapi pada 1973 pihak PAM DKI telah mengirimkan contohnya kepada Dept. Teknik Penyehatan ITB dan Sucofindo untuk diteliti. Waktu itu analisa ITB memperkirakan penyebabnya hasil buangan industri. Mungkin industri batik karena terdapat bahan yang menyerupai malam (beeswax) dan dapat terbakar. Sedang hasil Sucofindo memberi gambaran kondisi Banjir Kanal (Ciliwung) --sumber air baku--yang memburuk pada musim kemarau. Karena dalam contoh yang diteliti terdapat zat mineral (terutama besi), zat organik dan bakteri dalam jumlah besar. Penelitian dilanjutkan 1976 karena busa pada siphon semakin banyak. Lalu disepakati survei mengenai syndet (Synthetic deterget) dilakukan oleh Laboratorium Teknik Penyehatan Ditjen Cipta Karya (PU) dengan PAM DKI Jaya. Hasilnya: kadar syndet yang tinggi terdapat di Jalan Inspeksi, antara waduk Setiabudi dengan waduk Melati, yaitu 6 ppm (parts per million) hingga 7 ppm. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa syndet yang ada di Banjir Kanal (Ciliwung) berasal dari hasil buangan rumahtanggai Got-got rumahtangga berkumpul menjadi satu, lalu masuk ke Ciliwung dan terus ke kedua waduk tadi. "Jadi bukan syndet buangan pabrik atau industri," kata Ir. Heri Prasodjo, Direktur PAM DKI Jaya. Kebutuhan air baku di musim kemarau bukan hanya mengharap dari Ciliwung, tapi juga dari Citarum. Bersama dengan Dinas Pekerjaan Umum, PAM berlangganan dari Perum Jatiluhur. Dengan membayar RF 23 juta maka PAM. Dan DPU mendapat air 94 juta m3 setahun. Tanpa ditolong aliran Citarum, dengan cara mengalir Ikan sebagian airnya ke Ciliwung di musim kemarau Jakarta bisa kalang kabut. Sebab di musim kemarau permukaan air di Banjir Kanal turun hingga air tak bisa masuk ke instalasi penjernihan. Meski sudah dibntu oleh Citarum kadar syndet PAM KI tetap ada. "Kecuali bila musim hujan, kadar syndetnya bisa turun," kata Ir. Heri. Proses penjernihan air minum di instalasi Pejompongan tak bisa menghilangkan kadar syndet. "Mencegah 100 % memang tak bisa, " kata Heri. Paling hanya memberi karbon aktif yang bisa menyerap warna keruh dan menghilangkan bau. Impeknya terhadap kesehatan? Ir. Heri belum tahu persis. Kadar syndet yang 6 ppm hingga 7 ppm memang tinggi. Di Amerika Serikat ada ketentuan kadar syndet dalam air minum tidak boleh melebihi standar 0,5 ppm. Ir. Martsanto Ds, Kepala Urusan Tata Pengairan--Dinas Perkejaan Umum DKI Jaya, tak mau dituding sebagai pihak yang bersalah karena adanya pencemaran itu. Waduk bukan tempat saluran air buangan rumah tangga atau kotak sampah, tapi "untuk mencegah banjir." Di waduk Setiabudi dan Melati ada pompa air untuk membuang air limbahan ke Ciliwung. Setiap hari kedua pompa ini harus berjalan 1/4 jam. Sebab bila tak dijalankan, pompa akan cepat rusak. Padahal pompa itu mahal. "Harganya 10 kali harga mobil sedan Mercy," kata Martsanto. Langkah untuk mengatasi semua itu memang sudah dipikirkan instansinyaMartsanto. Misalkan, air buangan rumahtangga akan dialirkan melalui pipa dan dibuang ke bawah pintu air di Karet. "Pemikiran ini belum menghilangkan masalah pencemaran. Hanya mengurangi pengotoran yang dianggap terlampau berat," kata Martsanto. Kemungkinan lain lagi adalah dengan menyadap air dari Cibubur (yang belum tercemar) dengan pipa besar sampai di Pejompongan. Tapi gagasan ini akan menelan biaya terlalu besar. Yang akan jadi kenyataan rupanya gagasan memproses air syndet agar berkurang kadar ppmnya. Caranya? Aerasi. Memasukkan sejumlah oksigen ke dalam air kotor tersebut. Hal ini akan diwujudkan tahun depan, meskipun hasilnya belum tentu memadai. Sebab eterjen keras yang mencemari air hasil buangan rumahtangga susah diuraikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus