SUWELA kelihatan letih dan ingin segera pulang ke Lapoa,
Sulawesi Tenggara tempat ia menjadi transmigran, setelah
mengikuti acara-acara yang padat di Jakarta. Ia sudah ada di
ibukota 13 Agustus. "Anehnya pinggang saya tak pernah sakit di
Lapoa," keluhnya "di sini saya merasa pegal-pegal." Padahal tiap
hari ia mencangkul sawahnya seluas 2 hektar.
Semula anak sulung dari 10 bersaudara ini, hidup susah di Desa
Pupuan Kab. Tabanan, Bali. Sehari-harinya bersama saudaranya
yang lain, ia mengerjakan sawah orang tuanya seluas 0,5 hektar.
Hasilnya dibagi ramai-ramai -tentu saja tidak mencukupi. Pernah
mencoba menjadi pedagang hasil bumi, tetapi gagal." Pokoknya
hidup saya setengah mati," Suwela mengenang masa lalunya.
Kesulitan hidup itu mendorongnya bertransmigrasi. Apalagi
setelah Pupuan dihajar gempa sampai dua kali, 1976 dan 1977.
Bersama 99 kepala keluara. 10 Oktober 1977, ia berangkat ke
Irapoa di Sulawesi Tenggara.
Pertama menginjakkan kaki di Lapoa, Suwela merasa kecut juga.
Tanah yang akan digarapnya penuh alang-alang. Teori yang
dibawanya dari Bali, anah seperti itu biasanya tanah kurus.
Tetapi sudah telanjur, bersama istri dan dua adiknya,
alang-alang itu dibabat. Pengairannya dikerjakan secara
gotong-royong dengan transmigran lainnya, dengan jalan
membendung rawa-rawa selebar 35 meter. Panen pertama setelah 3
bulan ternyata memang belum menggembirakan. Sekarang dari 1
hektar sawah menghasilkan 5 ton gabah kering.
Setelah panen pertama, Suwela pulang kampung. Orang Pupuan heran
melihat Suwela masih hidup. Kabar yang terbetik di Pupuan,
kapal rombongan Suwela tenggelam sebelum sampai ke Sulawesi
Tenggara. Akan tetapi setelah Suwela bercerita tentang
keadaannya sekarang, justru orang kampungnya tertarik. Sebanyak
13 orang tetangganya (44 jiwa), ikut menjadi transmigran
spontan. "Sekarang mereka sudah kaya seperti saya," ujar Suwela
bangga.
Suwela memang sudah bisa dikatakan kaya untuk ukuran
transmigran, dan penduduk desa biasa. Berpendidikan sampai SD,
Suwela, 40 tahun, memiliki 2 hektar sawah dan 1 hektar kebun
yang ditanami buah-buahan dan sayuran. Ayah dari 4 orang anak
ini, juga mempunyai peternakan, 75 ekor ayam, dan 14 ekor sapi.
Hasil padinya, 32 ton lebih setiap panen.
Apalagi dengan hadiah teve, radio sebagai pemenang transmigran
teladan. Mungkin ia orang pertama yang punya teve di Lapoa.
"Sementara saya akan belajar dulu cara menyetelnya, dan membeli
antenenya " kata Suwela. Rencananya tevenya nanti akan dibuatkan
gardu di halaman rumahnya agar penduduk bisa menonton.
Begitu juga yan dialami pemenang transmigran teladan II, D.
Abunawar Baurekso, 32 tahun. Semula orang ini hampir saja Sunuh
diri di kampungnya, Ujungmanik, Kecamatan Kawungaten, Kabupaten
Cilacap, Ja-Teng. Sebabnya tidak lain, kesulitan hidup. Setelah
tamat SMA, Abunawar sudah mencoba melamar pekerjaan di berbagai
tempat. Nasibnya tidak beruntung, akhirnya ia menjadi buruh.
Akan tetapi dengan gaji Rp 15.000 Abunawar tidak sanggup
menghidupi 1 istri dan 2 orang anaknya (sekarang 4 orang).
Awal 1976, nasibnya berubah di pemukiman transmigrasi Tajau
Pecah, Kal-Sel. Perjuangannya tidak tanggung-tanggung. Tanah dua
hektar yang diberikan kepadanya, ia garap bersama istrinya siang
malam. Hasilnya dibelikan lagi sawah tadah hujan seluas 2
hektar. Selain itu, ia juga membeli ternak--dan sekarang sudah
memiliki 100 ekor ayam dan 13 ekor sapi. "Sekarang saya bukan
lagi pohon pisang, tapi sudah menjadi pohon beringin," kata
Abunawar dengan bangga. Ia lahir dengan nama Abunawas.
(ita-citanya kini, menjadi petani pengusaha. Seperti Suwela ia
juga ingin cepat-cepat meninggalkan Jakarta dan pulang ke Tajau
Pecah.
Lain dari kedua rekannya, Zuhdi Safari, 42 tahun, ikut
bertransmigrasi ke Baturaja, Sum-Sel, karena penghasilannya
sebagai Kepala SD Negeri di Brebes Ja-Teng, tidak mencukupi.
Apalagi di antara 5 orang anaknya sudah ada yang duduk di SMP
dan SMA. Akhir 1977, Zuhdi memulai hidup baru bersama
keluarganya di Baturaja sebagai transmigran.
Dari Adam ke Adam
Menjadi transmigran ternyata bukan hal yang enteng. Tiga hari di
Baturaja ia hampir mati ditimpa pohon, ketika menebang kayu
untuk dibuat papan tempat tidur. Pernah pula hampir dikeroyok
monyet. Dan membuka tanah baru bukan hal yang mudah. Tanah
bagiannya keras bukan main, bongkahannya seperti batu. "Maklum
saja dari Nabi Adam, sampai Adam Malik belum tersentuh tangan,"
kata Zuhdi berseloroh tcntang tanah yang digarapnya.
Hasilnya setengah tahun di sana ia sudah panen jagung, menyusul
pula panen padi. Sekarang ia sudah mempunyai ternak ayam 100
ekor, 50 batang pohon cengkih dan 80 batang kelapa. Bersama
keluarganya, sekarang ia bisa pulang kdmpung ke Brebes dua kali
setahun.
Semua itu dihasilkan Zuhdi Safari dengan kerja keras. Pagi
sebelum berangkat mengajar ia juga kepala SD di pemukiman
transmigran Baturaja--ia sudah mencangkul dan mengurus ternak.
Sore dilanjutkan lagi, malahan kalau bulan purnama ia bersama
istrinya lembur di sawah.
"Habis gelap terbitlah terang," betulah agaknya para
transmigran teladan ini. Tetapi semuanya memang harus dimulai
dengan keuletan. Sebab cukup banyak pula transmigran yang gagal
dan pulang ke tempat asal. Para transmigran teladan ini, baru 3
dari sekian puluh ribu rekan mereka yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini