Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNAH ada survei pembaca Tempo. Beberapa kali. Pada masa Leila S. Chudori menjadi reporter di Tempo—kini dia sudah pensiun—halaman survei itu dicetak berlembar-lembar di bagian tengah majalah, menanyakan pendapat pembaca tentang kualitas berbagai rubrik yang disajikan Tempo. Setelah dihitung, hasil survei beberapa kali itu selalu sama: pembaca rubrik Seni sedikit. Begitu yang diingat Leila. Bambang Bujono, mantan redaktur pelaksana kompartemen Seni Tempo, samar-samar ingat angkanya. Hanya sekitar 3 persen pembaca Tempo yang melirik halaman resensi seni. “Menurut kriteria bisnis, dengan angka pembaca cuma 3 persen, rubrik itu patut dihilangkan,” kata Bambang Bujono ketika ditelepon pada Selasa, 2 Maret lalu. “Di rapat direksi, rubrik Seni selalu jadi bahan debat. Tapi akhirnya selalu dipertahankan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halaman sepi pembaca ini telah ada sejak pertama kali majalah Tempo terbit pada 6 Maret 1971. Artikel seni pertama Tempo mengulas pertunjukan tari di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta, oleh tiga perempuan: Farida Sjuman, Hoeriah Adam, dan Julian. Tak seperti standar tulisan jurnalistik umumnya, halaman Seni Tempo memadukan informasi peristiwa dan wawancara narasumber dengan amatan, bahkan kritik, terhadap karya seni. Dalam artikel berjudul “Trio Wanita Itu”, misalnya, tertulis: “Komposisi sudah berjalan enak dan ringan, asal saja tidak kelewat panjang. Sebab, tidak semua variasi yang dibuat Hoeriah berhasil: beberapa keteplak rebana yang sendirian terdengar cemplang, dan orang boleh mengira si penari salah hitung. Sayang disayang.” Hingga setengah abad kemudian, pakem ulasan seni seperti ini masih dipertahankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan Palsu Sang Maestro
Redaktur Pelaksana Seni & Intermezzo Tempo saat ini, Seno Joko Suyono, merumuskan formulanya kira-kira 50 : 50, yakni 50 persen berupa reportase serta wawancara dan setengah porsi lain untuk analisis atas materi karya seni. Garis pandu berikutnya adalah penulis seni Tempo tetap perlu memposisikan diri sebagai wartawan dan sebisa mungkin menghindari istilah teknis seni tertentu. “Bayangkan bahwa tulisan itu dapat dibaca oleh pembaca umum, selain masyarakat seni sendiri,” ujar Seno, yang juga telah menulis sejumlah buku.
Tak sekadar mempertahankan rubrik Seni, Tempo hari ini justru memberikan ruang makin luas untuk membahas berbagai topik kesenian. Secara bergiliran setiap pekan majalah Tempo menyajikan rubrik panjang, seperti Selingan, Layar, dan Iqra, yang sekali turun bisa memenuhi 8-12 halaman, bahkan lebih. Rubrik-rubrik itu dapat membahas secara mendalam beragam isu yang disajikan dalam format tulisan feature, dari isu tentang seni mutakhir, cerita di balik peristiwa seni besar, hingga feature seniman yang dianggap punya karya monumental. Dalam rubrik itu, Tempo antara lain pernah menulis tentang teka-teki penemuan relief di Gedung Sarinah, Jakarta; sejarah komik Indonesia; karya seniman kita di bursa seni internasional; dan sosok seniman perempuan era awal kemerdekaan, Emiria Sunassa.
Tempo juga dapat mengawinkan seni dengan investigasi. Metode silang ini melahirkan laporan penelusuran skandal dalam dunia seni kita, seperti pemalsuan lukisan, penemuan harta karun kapal karam, serta sindikat pemalsu topeng purba Majapahit. Liputan investigasi seni dapat merebut posisi laporan utama sekaligus gambar sampul Tempo, seperti pada edisi 25 Juni-1 Juli 2012 dengan judul sampul “Lukisan Palsu Sang Maestro”.
Boleh dibilang, perhatian Tempo pada dunia seni pun tak lepas dari deretan awak redaksi angkatan pertama majalah ini yang banyak diisi wartawan yang juga seniman. Goenawan Mohamad, misalnya, sudah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta sebelum menggagas Tempo. Isma Sawitri dan Bastari Asnin pun telah dikenal sebagai penyair dan penulis cerita pendek. Ada juga Putu Wijaya dan Syubah Asa, yang merupakan sastrawan dan pemain teater.
Sejak awal, halaman Seni Tempo sudah semarak, bergantian diisi dengan berita kesenian dan resensi teater, seni rupa, musik, serta sinema yang dikerjakan oleh penulis yang pas dengan bidangnya. Ulasan pun menjadi tajam dan renyah. “Karena penulisnya punya latar belakang yang sesuai, sering kali bobot tulisan seni Tempo itu lebih tinggi dari ulasan, sudah mendekati kritik seni,” tutur Bambang Bujono, yang akrab disapa Bambu.
Hidupnya rubrik ini, menurut Bambu, sejalan dengan bergairahnya acara kesenian di Jakarta pada akhir 1970 hingga awal 1980-an, yaitu masa awal berdirinya Taman Ismail Marzuki. Agenda seni yang digelar di kompleks itu, juga di sudut-sudut lain Jakarta, begitu bermutu. Seniman internasional penting, seperti pemain pantomim, Milan Sládek; koreografer balet revolusioner, Martha Graham; serta orkestra simfoni New York Philharmonic yang dipimpin dirigen Zubin Mehta, pernah tampil di Jakarta. Semua agenda seni penting itu pasti diulas oleh Tempo. Bahkan kedatangan Zubin Mehta, satu dari lima dirigen terpenting di dunia pada saat itu, diangkat sebagai sampul muka majalah ini. Karikatur konduktor berdarah Parsi itu muncul dengan ornamen not balok berwarna pelangi.
Meski rubrik Seni tak begitu menarik hati pembaca, Tempo tetap keras kepala menghadirkannya. Meminjam perkataan Goenawan Mohamad, menyediakan rubrik Seni adalah sebuah kerja misi bagi Tempo. Pertama, tulisan-tulisan seni yang diterbitkan di Tempo boleh jadi akan berguna sebagai dokumentasi sejarah perkembangan kreativitas di Indonesia. Selanjutnya, lewat rubrik ini, mudah-mudahan saja makin banyak orang mengenal beragam kesenian yang sering terpinggirkan. “Rubrik Seni adalah suatu misi yang sangat dekat dengan cita-cita Tempo, yaitu kebebasan berpikir,” ucap Goenawan Mohamad alias GM saat diwawancarai sejumlah awak redaksi Tempo, awal Februari lalu.
Sampul majalah Tempo edisi 25 Juni 1994.
Selain mengusung misi luhur itu, di bawah rezim Orde Baru, ketika pers tak bisa bebas mengkritik penguasa, halaman Seni Tempo mendapat fungsi tambahan. Isu kesenian yang lebih sering mengisi halaman dalam majalah dapat tiba-tiba “naik pangkat” menjadi gambar sampul. Ini sewaktu-waktu terjadi saat Tempo mati angin karena pemberitaan politik yang terlalu menyenggol rezim. Leila S. Chudori menyebutnya “edisi tiarap”. “Kalau Tempo membuat cover story yang bandel, misalnya sedikit saja menyebut nama keluarga Cendana, biasanya minggu depannya GM akan minta bikin edisi tiarap alias edisi lemah-lembut, seperti seni rupa atau film,” kata Leila.
Salah satu yang paling berkesan bagi Leila adalah ketika GM mendadak memintanya menulis cerita apa saja tentang film untuk menjadi isu sampul majalah. Gara-garanya, Tempo baru saja menurunkan laporan utama tentang pembelian kapal perang bekas dari Jerman Timur oleh pemerintah dengan harga yang membengkak hingga sekitar 62 kali lipat. Gambar kapal perang serta wajah Menteri Riset dan Teknologi kala itu, Bacharuddin Jusuf Habibie, muncul berdampingan di sampul muka dengan judul “Habibie dan Kapal Itu”. Soeharto muntab. Untuk sedikit meredakan suasana, dibuatlah edisi tiarap itu. Leila akhirnya mengajukan usul liputan tentang lembaga sensor film. Laporan utama itu tayang pada edisi 25 Juni 1994. Sampulnya bergambar mata dan bibir merah perempuan, berjudul “Film Seks & Sensor Kita”. Edisi ini menjadi terbitan terakhir Tempo di era Orde Baru. Pada 21 Juni 1994, Menteri Penerangan Harmoko mengumumkan pembredelan Tempo, dan sisanya adalah sejarah.
Ketika Tempo hidup lagi seusai kejatuhan Soeharto, rubrik Seni dipertahankan. Leila S. Chudori menjadi redaktur pelaksana seni pertama Tempo era baru. Di bawah Leila, tim Seni Tempo memulai tradisi tahunan pemilihan Tokoh Seni, yaitu seniman dari berbagai bidang yang menghasilkan karya paling menggebrak sepanjang tahun. Tempo mengundang berbagai ahli kesenian dan menggelar rapat beberapa kali sepanjang hari untuk memilih tokoh seni rupa, sastra, seni pertunjukan, musik, dan film. Yang disebut terakhir bahkan dikembangkan menjadi edisi tersendiri bernama Film Pilihan Tempo, yang menjadi acara penghargaan film alternatif. “Pilihan yang dikeluarkan Tempo selalu dianggap penting dan serius,” tutur Leila. ***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo