Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Amrozi Dicokok, Ba'asyir Tergeret?

Polisi meyakini, Amrozi adalah pelaku aksi pengeboman Bali. Tapi hubungannya dengan Ba'asyir dan gerakan teror internasional masih perlu dibuktikan.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEROMBONGAN polisi tersentak ketika pintu ruangan itu mendadak terbuka. "Awas, ada wartawan," kata mereka. Beberapa di antaranya bangkit dari duduknya, sementara rekannya yang lain tampak berubah warna wajahnya. Ada yang menghardik: "Ada apa kamu di sini? Pergi sana!" Di antara sekelompok polisi itu duduk seorang lelaki muda dengan wajah yang letih.

Semuanya terjadi Jumat pekan lalu. Ketika itu TEMPO menyusuri Markas Kepolisian Daerah Bali dan menemukan Amrozi, tersangka pelaku bom Bali, sedang dibombardir pertanyaan oleh polisi di sebuah kantin kosong di belakang mes polisi yang terletak di ujung markas. Mengenakan kaus warna hitam—baju yang ia pakai sejak ditangkap dua hari sebelumnya— ia tampak lunglai meski tak menunjukkan mimik takut.

Amrozi bukan tahanan biasa. Menurut polisi, dialah tokoh kunci dan salah seorang pelaku bom Bali, yang menewaskan 186 orang dan melukai lebih dari 200 orang lainnya. Polisi mengumumkan: Amrozi berstatus tersangka. Ia tersangka pelaku terorisme yang dipandang dunia sebagai peristiwa terdahsyat setelah tragedi World Trade Center di New York, Amerika Serikat, 11 September tahun lalu.

Ia adalah "bintang". Segera setelah polisi menangkapnya Rabu pekan lalu, nama pria berusia 35 tahun itu menjadi kepala berita surat-surat kabar dan menjadi bahan pembicaraan di warung-warung kopi. Wartawan memburunya dan polisi menyembunyikannya mati-matian. "Saya tak tahu dia di mana. Saya kira dia tak di sini," kata seorang perwira di Kepolisian Daerah Bali.

Sang buruan kakap sudah ditangkap. Polisi bertepuk tangan. Inilah untuk pertama kalinya aparat menciduk seseorang dalam kasus bom Bali dan langsung dikenai status tersangka. Sebelumnya, polisi seperti tak yakin dengan keterlibatan orang-orang yang dicokok. Mereka umumnya diperiksa sebentar, lalu dilepas dan diberi "status" kemungkinan tersangka (possible suspect).

Polisi sudah punya jaringnya. Brigadir Jenderal Polisi Edward Aritonang, juru bicara tim investigasi bom Bali, berdalih: Amrozi dijadikan tersangka berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002. Perpu No. 1/2002 dan Perpu No. 2/2002 adalah perangkat hukum yang dibuat pemerintah untuk mengatasi ancaman terorisme pasca-bom Bali. Dari Amrozi, polisi berharap bisa menguak jaringan pelaku pengeboman itu.

Drama penangkapan itu terjadi Selasa pekan lalu. Ketika itu polisi datang ke rumah Amrozi di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur. Ia belum lagi beranjak dari tempat tidurnya di tengah hari itu ketika pintu rumah diketuk seorang pengurus desa. "Ada rombongan mencari kamu," katanya. Di belakang pengurus desa itu berdiri lima pria berbadan kekar. Mengaku dari kepolisian dan tanpa banyak bicara, kelimanya menggelandang pria mengantuk itu masuk mobil.

Amrozi bahkan tak sempat mandi atau mengganti sarung yang dipakainya sejak malam ketika dibawa pergi. Ia juga tak sempat pamit pada Tariyem, ibunya, yang masih berada di sawah. Haji Nur Hasyim, sang ayah, cuma bisa terbengong saat polisi mencokok anaknya. Ia telah lama terbaring lumpuh akibat serangan darah tinggi.

Dari rumah tersangka, polisi menemukan sejumlah barang bukti. Di antaranya satu kantong plastik berisi bongkahan berwarna cokelat, sekantong plastik berisi kristal putih, satu tas kresek berisi serbuk putih, paspor, album foto, dan sebuah mobil Toyota Crown warna putih bernomor G 8488 B. Selain itu aparat juga menyita lima ban dan jok yang merupakan bagian dari mobil L-300, minibus yang dipakai membawa bahan peledak untuk meremukkan kawasan Legian.

Aparat serius mengintai Amrozi. Tim penyergapan dipimpin langsung oleh Brigadir Jenderal Polisi Gorries Mere, ketua bagian pengejaran tim investigasi bom Bali. Selama ini Gorries adalah Kepala Pusat Represif Badan Narkotika Nasional (BNN). Dalam tim ini Gorries dibantu oleh sejumlah perwira dari Markas Besar Polri, Tim Anti-Teror dan Bom Polda Metro Jaya, Tim Reserse Polda Bali, dan Tim Reserse Polda Jawa Timur.

Kerja tim buru sergap gabungan ini sempat menimbulkan pergesekan di Kepolisian Daerah Jawa Timur. Seorang anggota Polda Jawa Timur bercerita, sejatinya mereka sudah berencana mengejar tersangka lain berdasarkan hasil penelusuran mereka sendiri. Tapi munculnya tim "pusat" menjadikan aparat kepolisian daerah urung bergerak. "Kalau para jenderal sudah pada turun, bagaimana kami bisa bergerak?" kata sumber dari kepolisian Jawa Timur. Ia tak mau bicara siapa tersangka versi mereka itu.

Akibatnya terasa di lapangan. Pada hari ketika operasi penangkapan dilakukan, sejumlah aparat kepolisian Jawa Timur mutung. Informasi tentang penangkapan Amrozi jadi simpang-siur. Pagi hari, penangkapan itu diakui polisi pusat dan Bali. Sorenya, ia dibantah polisi Jawa Timur. Meski demikian, pergesekan ini dibantah Edward Aritonang. "Tidak benar itu. Tim investigasi selalu bergerak atas sepengetahuan kepolisian daerah setempat," katanya.

Amrozi ditangkap tanpa perlawanan. Nama Amrozi muncul setelah polisi memeriksa bangkai mobil L-300 yang serpihannya ditemukan di depan Sari Club, yang remuk dihantam bom. Mobil itu sejatinya sudah gepeng sehingga sepintas tak bisa lagi ditentukan jenisnya.

Pemeriksaan mobil memakan waktu hingga dua pekan. Setiap pecahan logam yang diduga berasal dari mobil itu dikumpulkan dan dirangkai jadi satu. "Bahkan pasir pun kami ayak untuk mendapatkan bagian-bagian dari kendaraan itu," kata Brigjen Polisi Dudon Satiaputra, Kepala Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri. Sebagian serpihannya ditemukan tersangkut di loteng-loteng bangunan tak jauh dari lokasi. Nomor rangka mobil, yang telah hilang karena digerinda pelaku, dimunculkan lagi dengan meneteskan cairan kimia—metode yang biasa disebut re-etching (lihat Mengayak Puing, Mengais Ingatan).

Nomor rangka itu akhirnya muncul: B 001230. Berdasar keterangan dari karyawan PT Mitsubishi Motor—produsen mobil L-300—diketahui bahwa mobil itu rakitan tahun 1983 dan berkapasitas 1.400 cc. Tapi Irjen Polisi I Made Mangku Pastika, ketua tim investigasi, menyebut van itu buatan tahun 1991-1993.

Dari sana polisi bergerak. Data pemilik kendaraan bermotor yang dimiliki polisi diaduk-aduk. Semula ditemukan beberapa mobil dengan nomor serupa. Tapi, menurut Pastika, polisi mendapat informasi penting setelah menemukan tanda kir yang tertutup pelat mobil di sela-sela rongsokan kendaraan itu. Dengan tanda itu diketahui bahwa itu mobil umum alias berpelat kuning. "Nomor kir itu memudahkan kami mencari," kata Pastika.

Sejarah mobil itu lalu dilacak. Dari sana diketahui Amrozi adalah pemilik terakhir kendaraan itu. Sebelumnya mobil itu dimiliki oleh Anak Agung Ketut Adi, seorang pria Bali, lalu beralih tangan ke dua rantai orang lain yang tak teridentifikasi. Mobil kemudian berpindah lagi ke Ahmad Yudi, pemilik Bengkel Lokajaya di Denpasar, lalu ke tangan Annas, seorang pria asal Tuban Jawa Timur, dan terakhir ke Amrozi. "Ia adalah pemilik keenam dari mobil itu," kata seorang sumber di kepolisian Bali.

Annas punya cerita soal pembelian mobil. Kepada polisi, ia mengaku semula Amrozi hendak membelinya dengan uang dolar dan ringgit Malaysia. Tapi Annas menolak. Akhirnya disepakati pembayaran dilakukan dengan rupiah seharga Rp 30 juta. Pemilikan mobil itu dibenarkan seorang tetangga Amrozi di Lamongan. "Seminggu sebelum peledakan bom di Kuta, Bali, mobil L-300 warna putih diparkir di halaman rumah Amrozi," kata Maftuhin, sang tetangga. Sebelum terjadi peledakan bom, Amrozi pernah pula menunjukkan segepok uang kepada seorang temannya. "Tapi uang itu hanya diperlihatkan, tidak dibagi-bagikan," katanya.

Ada keterangan lain yang memberatkan Amrozi, seperti dikatakan Silvelster Tendean, pemilik Toko Tidar Kimia di Jalan Tidar, Surabaya. Kepada polisi, Silvelster mengaku menjual bahan peledak jenis potasium klorat, aluminium powder (bronze), dan belerang dalam jumlah lebih dari satu ton kepada Amrozi. Polisi mengidentifikasi potasium klorat sebagai bahan baku bom yang digunakan untuk mengguncang Kuta.

Bahan itu memang bebas diperjualbelikan. Pembelian ini dilakukan dua kali. Yang pertama tak diingat tanggalnya oleh Silvelster, dan pembelian kedua dilakukan pada Agustus 2002. "Ketika ditanya untuk apa beli bahan kimia itu, Amrozi menjawab untuk dijual kembali di Lamongan," kata Wijono, pengacara Silvelster. Kini Silvelster juga ditangkap polisi.

Siapa Amrozi? Ia adalah anak keenam dari delapan bersaudara pasangan H. Nur Hasyim dan Tariyem. Sekolahnya hanya sampai kelas 3 di SLTP Korpri di Paciran, Lamongan. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan di kampungnya. Dalam beragama, Amrozi bukanlah golongan orang yang khusyuk. "Dia bukan penganut Islam militan," kata Ustad Zakaria, salah seorang pemimpin Pesantren Al-Islam. Pesantren ini terletak tak jauh dari tempat tinggal Amrozi. Zakaria kini dibawa ke Bali untuk dipertemukan dengan Amrozi (lihat Menelisik Jejak Amrozi).

Setelah perkawinan yang kedua gagal, ia berangkat ke Malaysia dan menjadi kuli bangunan di sana. Polisi menuding saat di negeri jiran itulah Amrozi menjalin hubungan dengan aktivis Islam radikal yang kini disebut Jamaah Islamiyah. "Dia juga telah berkeliling ke Singapura dan Thailand," kata seorang perwira polisi. Saat diinterogasi, polisi bilang bahwa Amrozi mengaku mengenal Hambali dan Imam Samudra—dua tokoh yang dituding berada di belakang bom Natal dua tahun lalu. Amrozi bahkan mengatakan pengeboman Bali dipimpin langsung oleh Imam.

Imam lahir pada 14 Januari 1970. Ia adalah anak kedelapan dari 11 bersaudara. Setelah tamat madrasah aliyah di Serang pada 1990, ia berangkat ke Malaysia. "Saya menjual perhiasan untuk membiayai keberangkatannya itu," kata Embay Badriyah, ibu Imam, kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO. Menurut Embay, pada lebaran 2000 lalu Imam sempat kembali. Tapi setelah itu ia hilang bersama istri dan ketiga anaknya. Seperti halnya Hambali, Imam juga kini jadi buron polisi.

Selain terkait dengan Imam dan Hambali, di Jawa Timur polisi menduga Amrozi punya jaringan yang kuat. "Selama 20 tahun menjadi polisi, baru kali ini saya mumet menelusuri jaringan Amrozi," kata seorang perwira di kepolisian Jawa Timur. Dalam Perpu No. 1/2002, jaringan pelaku teror memang bisa turut disalahkan. Karena itulah kini polisi sibuk menelisik.

Salah satu rantai dalam jaringan itu adalah keluarga Amrozi sendiri. Saat ini tiga orang saudara kandung Amrozi—Muhammad Ghufron (kakak), Ali Imron (adik), dan Ali Fausi (saudara tiri)—sedang diburu polisi. Selain itu polisi juga memburu Mubarok, kiai asal Pesantren Al-Islam yang pernah belajar di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo. "Kita sedang mengumpulkan bukti dan saksi untuk menangkap mereka," kata Kepala Polda Jawa Timur, Irjen Polisi Heru Susanto.

Amrozi ditangkap, beberapa saudaranya menghilang. Menurut Kepala Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Muhammad Maskun, sebelumnya Ali Imron, Ali Fausi, dan Mubarok masih berada di kampung ini. "Tapi Ghufron telah menghilang 10 hari sebelum penangkapan," kata Maskun. Ghufron dan Ali Imron adalah saudara Amrozi yang tinggal lama di Malaysia. Ali Imron baru pulang dari Malaysia tiga bulan lalu. Dia berdakwah dan mendirikan pesantren di Malaysia.

Anehnya, mereka rupanya punya persentuhan dengan Abu Bakar Ba'asyir. Menurut Maskun, Ali dan Ghufron dulu bersama Ba'asyir berangkat ke Malaysia. Pada tahun 1980-an Ustad Ba'asyir pernah datang menemui Ghufron ke desa ini. "Waktu itu Ba'asyir dan Ghufron adalah orang yang sama-sama menolak asas tunggal Pancasila. Karenanya, mereka dicari-cari aparat keamanan," kata Maskun. Ba'asyir, pemimpin Pesantren Ngruki, kini jadi tahanan polisi karena dituding terlibat dalam bom Natal dan rencana pembunuhan Presiden Megawati.

Keterangan Maskun ini dibenarkan Marsodin, 45 tahun, pekerja di Malaysia yang pernah bertetangga dengan keluarga Amrozi di Desa Tenggulun. Ia menyatakan pernah bertemu Ghufron pada 1988 di Taman Kramat, Kuala Lumpur, Malaysia. Menurut Marsodin, Ghufron baru berani pulang ke kampungnya setelah Presiden Soeharto lengser pada 1998 lalu. Mereka lalu berdakwah, tapi, "Alirannya berbeda dengan aliran masyarakat Desa Tenggulun. Mereka keras, misalnya menghalalkan darah orang non-muslim."

Apakah Ba'asyir masuk jaringan yang sama dengan Amrozi? Sulit untuk cepat-cepat mengambil kesimpulan. Kepada sebuah televisi swasta, Ba'asyir mengaku hanya dua kali mengunjungi Pesantren Al-Islam. Ia menyangkal telah mengenal Amrozi. Tapi kontak Al-Islam dengan Al-Mukmin di Ngruki terus berlanjut. Ustad Zakaria, pengasuh Al-Islam, mengakui Ba'asyir kerap diundang ke pesantrennya untuk menghadiri acara kenaikan kelas. Ia datang pada 16 Juni 2001 dan 17 Juni 2002. Dalam acara itu, Ba'asyir berceramah tentang perjuangan Islam. "Tak ada ceramah yang menyebut teroris atau kekerasan terhadap orang bukan muslim," kata Zakaria.

Hanya, menurut Pastika, Amrozi belum secara tegas menyebutkan motifnya melakukan serangan bom Legian—sehingga belum bisa dikaitkan dengan jaringan aktivis Islam radikal yang tengah ditelusuri polisi. "Ia hanya mengatakan melakukan itu karena benci pada orang Amerika," kata Pastika. Tapi, menurut seorang intel polisi, Amrozi mengakui semua aktivitasnya di Malaysia. "Semula tutup mulut, akhirnya ia mengaku melakukan latihan para-militer di Johor," kata sumber itu.

Toh ada saja pihak yang meragukan skenario polisi. Seorang perwira Badan Intelijen Strategis (Bais) yang juga beroperasi mengungkap tragedi Bali melihat bahwa polisi terlalu terburu-buru. "Mereka terlalu dikejar target dan mengikuti maunya Amerika," kata sumber itu. Ia meragukan semua keterangan polisi tentang Amrozi. "Lo, yang mengatakan itu kan polisi. Tapi kita enggak bisa mengeceknya, kan?" tuturnya.

Tudingan memang tak akan berakhir sampai polisi berhasil mengumpulkan bukti lengkap dan sahih. Penangkapan Amrozi, bagaimanapun, baru titik awal dari sebuah skenario besar yang tak mudah diungkap.

Arif Zulkifli, Edy Budiyarso, Jalil Hakim, Rofiqi Hasan (Bali), Tomi Lebang (Jakarta), Adi Mawardi, Kukuh S.W. (Surabaya), Istiqomatul Hayati (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus