Sikap politik Ernest Hemingway -- pemenang hadiah Nobel 1954 sastra -- terhadap revolusi Kuba diperdebatkan. Sikapnya yang jelas dan tegas pada perang saudara di Spanyol nampaknya berubah di Kuba. Ketika diwawancarai di bandar udara Havana ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya, terpenggal oleh kerusuhan. The Sunday Times Magazine menuturkan lewat Norberto Fuentes dan Roberto Herrera Sotolongo, bagaimana sampai sekarang pernyatannya itu tinggal sebagai misteri. Apakah Hemingway antek Amerika, atau pro Fidel Castro? ADA bulan April 1928, sebuah perahu Inggris bernama Orita meluncur dari La Rochelle ke Key West. Seorang petualang muda dengan tulang besar tercatat di daftar penumpang. Itulah kali pertama ia mengunjungi Havana, Kuba. Kota dan negeri yang di kemudian hari meleburkannya dengan desah laut. Napas yang kelak di tahun 1953 mengantarkannya menjadi tokoh dunia karena menulis sebuah novel berjudul Lelaki Tua dan Laut. "Ia hanya merasakan tali mengendur, dan ia pun mulai menariknya hati-hati dengan tangan kanan. Seperti biasanya tali itu menjadi tegang, tetapi kalau hampir mencapai titik putus, ia mengendur lagi dan mulai tertarik masuk perahu. Pundak dan kepala lelaki itu menerobos di bawah tali dan sekarang ia mulai menariknya dengan tenang. Diayun-ayunkannya dua belah tangannya dan ..." Kutipan dari Lelaki Tua dan Laut itu Pustaka Jayam terjemahan Sapardi Djoko Damono -- kini menjadi karya klasik. Ernest Miller Hemingway adalah sebagian sejarah sastra dunia. Bertahun-tahun di Kuba, ia lebur dalam setiap gerak alam, setiap buncah ombak dan dalam setiap kecipak ikan. Ia melahirkan dan mengembangkan warna baru sastra modern, dan karenanya dihadiahi Nobel, penghargaan paling bergengsi di dunia untuk bidang sastra. Tapi sikap politik Hemingway terhadap revolusi Kuba sempat sengit diperdebatkan. Ernest Miller Hemingway, ketika berada di atas kapal Orita yang menuju ke Havana, masih berumur 29 tahun. Ia pernah menjadi koresponden sebuah koran Eropa, sopir ambulans pada Perang Dunia 1, dan telah menerbitkan novel pertama dengan cukup sukses. Tapi masih jauh dari reputasi yang kemudian disundulnya. Waktu itu ia masih seorang petualang sejati. Tak punya tempat tinggal tetap, di mana pun di bumi ini. Di samping Hemingway, berdiri Pauline Pfeiffer. Istri kedua yang baru 11 bulan dinikahinya. Seorang wanita cantik, terkemuka, tokoh masyarakat, kemanakan seorang raja kosmetika Amerika. Tak ada yang tak dimiliki oleh perempuan itu. Kecuali laut yang amat membosankannya. Karena ia sedang hamil. Ia ingin cepat-cepat merapat ke Key West. Lalu bisa menetap, sementara suaminya dapat menyelesaikan novel kedua, A Farewell to Arms. Pasangan ini tak tertarik oleh Kota Karibia, kecuali dua hari istirahat, sejenak bebas dari terpaan angin liar. Kecantikan Havana waktu itu sudah tersohor dahsyat. Demikian pula Gerardo Machado, sang diktator yang tengah berada di puncak kegilaannya. Ia bak Firaun. Harga gula -- andalan Kuba -- sedang membubung dengan manisnya. Para milyuner AS berdatangan menanam modal. Tak heranlah pembangunan fisik terlihat di mana-mana. Dari jendela penginapan Hemingway di Parcue Central, jalan raya Malencon, nampak berpupur rapih, siap menyambut masa depan. Tiga lajur jalan baru serta istana para milyuner bermunculan di barat kota lama. Pemuda Hemingway sebenarnya sudah mencium kemaksiatan sampai ke tingkat gila-gilaan. Havana telah lahir sebagai rumah bordil mewah bagi Amerika Serikat. Semua itu dilepit di balik kedok sekolah dansa yang lugu, yang mereka sebut Akademi Dansa. Di sana gadis-gadis ceria -- separuh binal -- dapat menyisihkan setiap sen dari lima sen tarif dansa. Lalu di tempat orkestra terhormat Teatro Nacional, arena kayu untuk berdansa yang terbuka buat umum berlangsung perlombaan tahunan. Di situlah Machado menyemir Amerika Serikat habis-habisan, di antaranya dengan mendikte juri agar selalu memenangkan duta besar AS -- Harry F. Guggenheim -- sebagai juara dansa. Sebagai wartawan, Hemingway biasanya selalu memakai kota yang dikunjunginya, juga orang-orang yang telah dijumpainya, untuk memperkaya artikel. Tetapi waktu itu ia sedang mengistirahatkan diri dari kerja jurnalistik, spesial mencurahkan hati buat menulis novel. Hanya 48 jam di Havana, dalam perkenalan pertama itu, tak berarti banyak bagi kerja Hemingway. Baru enam tahun kemudian, lahir artikelnya yang menjamah Kuba. Setidaknya-tidaknya kemudian, ia menulis setengah lusin naskah tentang kehidupannya di Kuba. Namun, dari dokumen-dokumen itu, tak satu pun yang berguna buat melacak kehidupan pribadinya. Kecuali satu hal: hasratnya yang menggebu untuk memancing di laut lepas. "Memancing seperti itu," tulis pengarang yang doyan olahraga tinju itu pada 1956, "kemudian membawa kami kembali ke Kuba." Benarkah ini alasan utama Hemingway untuk memadu cinta dengan Kuba? Sampai-sampai kemudian ia bercokol di sana bertahun-tahun. Betulkah tak adakah alasan lain yang lebih berarti -- dan lebih beragam -- dari sekadar bersenang-senang mancing? Cinta Hemingway pada Kuba jelas bukan cinta pandang pertama. Tikamannya perlahan, prosesnya rumit, secuil-secuil keintiman bertebaran pada berbagai karyanya yang matang. Dari waktu ke waktu, Hemingway berulangkali pergi ke dan dari Kuba. Sahabat karibnya, Joe Russel -- pemilik Sloppy Joe's di Key West yang rupanya menggunakan pemancingan buat tabir usahanya yang lebih produktif -- selalu menemaninya. "Ia sekali waktu membawa kargo minuman keras terbesar yang pernah ada, dari Kuba (ke Key West)," tulis Hemingway. Minuman keras gelap, tentu. Sebab, saat itu Amerika Serikat masih memusuhi alkohol. Namun, tamasya yang setengah menyelundupkan itu memungkinkan Hemingway berhubungan dengan orang-orang laut yang kemudian menjadi sobatnya sampai akhir hayat. Merekalah kelak yang memperkenalkannya paaa dunia berbeda, lahan yang kelak memperkaya penulisannya. Dalam artikel yang terbit bulan Juli 1949, Hemingway menulis tentang sahabat-sahabat Kubanya. Terasa betul betapa akrabnya ia dengan suasana Havana. Mereka, kata Hemingway, adalah: "penjual kupon lotere yang kaukenal bertahun-tahun para polisi yang kau beri ikan dan tidak melupakanmu dengan balas jasanya tukang perahu yang kehilangan pendapatannya setelah berdiri berimpitan denganmu di arena taruhan jai-alai fronton juga kawan-kawan dalam mobil sepanjang jalan raya dan pelabuhan yang berlambaian dengan kamu tanpa kau lihat betul wajahnya." Hari-hari di Kuba itulah membawa Floridita ke pangkuan Hemingway. Floridita bukan seorang wanita, tapi sebuah bar-restoran seafood. Berdiri sejak abad lalu, kedai ini masih bertahan hingga kini dengan hiasan emas dan gorden yang tetap sama. Di sana dapat diteguk koktail istimewa kombinasi rum, es batu, dan juice jeruk -- yang kemudian menjadi tersohor ke seluruh dunia berkat Hemingway. Tapi, seperti yang kemudian ditulisnya, perhatian utama Hemingway pada tempat itu bukan pada makanan dan minuman. Hasrat utamanya adalah untuk bersua dengan masyarakatnya. "Di sini bermukim banyak orang dari semua negara dan dari tempat mana saja yang pernah kau tinggali," tulisnya. "Ada kapal-kapal angkatan laut, kapal pesiar, orang-orang bea cukai dan imigrasi, penjudi, orang-orang kedutaan, penulis yang mencari inspirasi, penulis mapan dan tak mapan, senator di kota, dokter dan ahli bedah yang datang buat konperensi singa, menjangan, rusa, orang-orang suci, anggota Legiun Amerika, kesatria-kesatria Columbus pemenang lomba kecantikan, pribadi yang mendapat kesulitan kecil dan menjadi catatan para penjaga pintu, orang yang dibunuh minggu depan, mereka yang akan dibunuh tahun depan FBI, bekas FBI, terkadang manajer bankmu dengan dua orang lain, belum lagi teman-teman Kubamu." Dekat Floridita ada Hotel Ambos Mundos, di sanalah kamar tidur Hemingway kalau kebetulan menginap di darat. Ia menjadikan hotel itu sanggar kerjanya sebagai penulis, sekembalinya dari medan perang saudara Spanyol. Pilihan Hemingway selalu kamar yang sama: pojok timur laut lantai lima. Mengapa ia memilih tempat itu? "Kamar sudut timur laut Ambos Mundos di Havana melahap pemandangan di utara, pada katedral tua, pintu masuk pelabuhan dan laut juga menyergap ke timur pada semenanjung Casablanca, atap-atap perumahan yang berjajar di antara dan sepanjang pelabuhan," jawab Hemingway. Memang mengherankan mengapa Hemingway mengabaikan Palacio de los Capitanes Generales -- bangunan paling indah yang mudah terlihat dari jendelanya dan kini tetap salah satu yang tercantik di Havana. Beberapa tahun kemudian, dalam satu wawancaranya yang bersejarah, Hemingway hanya bilang, "Soalnya, Hotel Ambos Mundos tempat baik buat menulis." Pujian manis itu bukan isapan jempol. Dengan luas 16 meter persegi, dihuni dua dipan yang sepenuhnya dari kayu, dua meja malam serta sebuah meja dan kursi, kamar itu terasa muram. Kamar itu setidaknya-tidaknya telah menjadi tempat yang baik buat Hemingway untuk mengembangkan imajinasinya. Sekarang Ambos Mundos milik pemerintah -- dikelola Kementerian Pendidikan Tinggi -- dihuni oleh guru-guru. Namun, kamar pojok timur laut di lantai lima tetap dikunci, dibiarkan apa adanya. Dua jilid Don Quixote, edisi lama dalam bahasa Spanyol, masih tergeletak di meja. Tak ada wanita yang tahan pada kesepian di kamar pojok itu. Bahkan, istrinya, Pauline yang jelita, meninggalkan Hemingway pada saat-saat paling sulit. Penulis yang dibungkus berewok itu senantiasa sendirian. Baru kemudian Martha Gellhorn, istri Hemingway berikutnya, merintis jalan keluar. Martha berhasil menemukan sebuah rumah yang nyaman buat suaminya untuk menulis, dan sekaligus membuat dirinya sendiri bahagia. Martha pula yang menemukan tempat cantik di pedesaan, Finca Vigia, lewat iklan koran. Tempat itu tak berapa jauh dari Havana. Sewanya 100 dolar AS per bulan. Kemudian hari Hemingway membeli Finca Vigia seharga 18,5 ribu dolar AS. Hemingway bermukim di Kuba selama 23 tahun. Mengapa begitu lama? Lewat sebuah artikel yang diterbitkan tahun 1949, Hemingway sendiri menjawabnya. Tapi tidak ada alasan pasti yang dikemukakannya. Ia hanya menyebut soal kesegaran, embusan angin pagi pada hari-hari panas. Ia bicara soal menernakkan ayam aduan, tentang kadal yang hidup di vines anggur, 18 jenis mangga yang tumbuh di pekarangan, sport club yang di seberang jalan tempat semua orang meraup banyak uang pada lomba menembak merpati. Kemudian tentang Arus Teluk, 45 menit dari rumahnya, di sanalah ia menemukan tempat memancing ikan yang paling berlimpah-ruah. Dari sekian banyak alasan, Hemingway menyisipkan pula pernyataan: "Kau tinggal di Kuba sebab kau dapat menyumpal dering telepon dengan kertas jika kamu enggan menjawabnya, di sana kamu dapat bekerja di kedinginan dinihari seperti yang kau lakukan di mana pun di dunia." Di akhir kalimat itu, seenaknya saja Hemingway menambahkan: "Tetapi itu, mah, rahasia dapur gue." Komentar klise, sebab hampir setiap orang tahu, alasan pemilihan tempat menulis bagi banyak pengarang adalah bagian dari misteri berkarya mereka. Havana -- Finca Vigia khususnya -- terbilang satu-satunya sarang tetap Hemingway sepanjang masa hidupnya. Di sana dia melewatkan separuh waktu produktifnya sebagai penulis, dan menghasilkan karya-karya utamanya: Pada Siapa Bel Berdentang, Menyeberang Sungai dan Menuju Hutan, Sebuah Pesta Berpindah, Lelaki Tua dan Laut, dan Pulau di Aliran. Di sana ia juga menulis banyak artikel buat pers. Musim Panas Berbahaya, misalnya, Hemingway adalah seorang pemuja dan pemburu alam. Ia menulis novel tentang udara, tanah, dan laut dengan cara yang tak lazim waktu itu. Seperti Hemingway, yang menyusun kata demi kata hingga mencapai kecemerlangannya, maka sang diktator Gerardo Machado pun menyusun bata demi bata kemegahan negerinya hingga puncak. Korupsi politik dan moral rezim ini diramaikan para pengamat sudah setingkat kerusakan Babylonia dulu. Sikap Kuba yang menyembah AS pada waktu itu sudah amat memalukan. Seluruh angkutan harian dari Florida ke Havana dijejali segala macam barang hasil produksi AS -- termasuk segala makanan kaleng yang ikan segarnya berasal dari laut Kuba sendiri. Keadaan yang di luar batas ini akhirnya diganjal oleh pengganti Machado dengan cara berdarah: revolusi. Di tahun-tahun pergolakan itu, Hemingway tak lebih dari seorang penonton yang pasif. Agaknya, ia mencoba menghindar dari sebutan antek, di tengah pembalikan sikap budaya itu. Sikap politik Hemingway, yang dulu terekspresikan begitu jelas dan amat tegas pada perang saudara di Spanyol, menjadi teka-teki pada revolusi Kuba. Memang tak ada yang sempat mengumpulkan bukti sikap kontroversial Hemingway. Banyak orang hanya menimbun prasangka, ke mana sebenarnya ia memihak. Baru setahun setelah revolusi, setelah AS jelas memperlihatkan sikapnya, seorang wartawan Argentina, Rodolfo Walsh, berhasil meminta Hemingway buka mulut. Walsh mencegat Hemingway di bandar udara Havana, dan mewawancarainya di tengah ingar-bingar jejalan massa yang meneriakkan slogan-slogan revolusioner. Dalam wawancara itu -- terpendek sepanjang karier yang diingat Walsh, serta tak diragukan lagi bahwa itu pernyataan terakhir Hemingway yang paling penting -- Hemingway berteriak dalam bahasa Spanyol yang sempurna. "Kita bakal menang. Kita orang-orang Kuba bakal menang." Lalu disambung dengan bahasa Inggris, "Kau tahu, aku bukan yankeee ..." Tetapi ia tak sempat melanjutkan kalimat itu, sebab kerusuhan terjadi di seputarnya. Bertahun-tahun ia membiarkan kalimat itu terpenggal -- kalimat yang bisa dinterpretasikan berbeda oleh kedua pihak. Revolusi Kuba, bagaimanapun, tak bisa diikutsertakan dalam polemik sengit tentang sikap politik Hemingway ini. Sejak awal, sang penguasa baru Fidel Castro sendiri sangat menghormati Hemingway. Castro-lah yang mengundang janda Hemingway, Mary Welsh, dua kali berkunjung ke Havana sepeninggal suaminya. Mereka hrdua -- Castro dan Mary -- juga menyetujui Finca Vigia dibiarkan apa adanya, sebagai museum. Kehidupan Hemingway waktu itu kini masih tersisa di Finca Vigia. Setiap pengunjung bisa merasakan bagaimana penulis besar itu ngeluyur dari kamar ke kamar dengan sepatunya. Kecuali beberapa barang terpenting, sejumlah lukisan hasil karya para arffs kontemporer telah dibawa jandanya. Pada kunjungan Mary terakhir, tahun 1977, Fidel Castro menyatakan bahwa Ernest Hemingway adalah penulis favoritnya. Kenyataannya, Castro memang pembaca setia Hemingway. Pada setiap kunjungannya ke daerah, ia selalu membawa setumpuk berkas di mobilnya. Acapkali, di antara tumpukan kertas kerja itu, dijumpai dua volume karya pilihan Hemingway bersampul merah. Singkat kata, sulit untuk meneruskan kalimat Hemingway yang terpenggal di bandar udara Havana dulu. Dunia selalu dihadapkan pada dua "Hemingway". Keduanya berbeda dan sering bertabrakan satu sama lain. Yang satu: separuh bintang film dan separuh petualang. Yang lain: Hemingway yang perenung dan menyepi. Dialah yang masuk Hotel Ritz, Paris, dengan barisan pasukan kemerdekaan yang memberikan dukungan riuh pada matador di arena adu banteng Spanyol yang dipotret bersama para bintang film paling wah, petinju paling berani, penembak paling menyeramkan. Dia seorang pemburu yang membunuh singa, lalu bison, dan akhirnya badak di padang Kenya yang selalu beruntung selamat dalam dua kali kecelakaan pesawat terbang. Tetapi, di sisi lain, ia juga Hemingway yang menyembunyikan diri di rumah yang dikelilingi pepohonan lebat yang kamarnya dipenuhi karya seni dari berbagai daerah petualangannya. Dan yang pada akhirnya menutup dirinya sebagai sebuah puisi hitam, di ujung lop senjatanya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini