Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH rekening itu hingga kini digembok rapat kejaksaan. Sudah hampir setahun rekening-rekening itu ”menganggur” di tiga cabang Bank BNI Jakarta. Ada sekitar Rp 64 miliar di dalam enam rekening berkategori tabungan bisnis dan satu tabungan dolar plus itu. Kalau melihat jumlahnya yang ”wah”, orang bakal mengira profil pemiliknya tidak jauh dari kalangan pengusaha atau petinggi negeri.
Tapi jangan salah. Pemilik rekening itu adalah Bahasyim Assifie, bekas pegawai pajak yang menjadi terdakwa korupsi dan pencucian uang. Puluhan tahun bekerja di kantor pajak, kariernya mentok sampai Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palmerah, Jakarta Barat, setingkat eselon tiga. Sejak Mei 2008, ia diperbantukan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai inspektur kelembagaan atau jabatan setingkat eselon dua.
Atas pundi-pundi tambun itu, Jaksa Agung Basrief Arief merilis perintah supaya isinya dirampas untuk negara. Perintah itu dituangkan dalam berkas tuntutan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin dua pekan lalu. Kejaksaan punya alasan kuat. Di persidangan, jaksa menilai Bahasyim tidak dapat membuktikan asal-usul duitnya itu. ”Uang itu diperoleh tidak wajar dengan memanfaatkan jabatan,” kata Fachrizal, koordinator jaksa perkara Bahasyim.
Dari fakta persidangan, jaksa menyimpulkan isi rekening yang dikumpulkan sepanjang 2002-2010 itu menyimpang dari profil Bahasyim. Dalam kurun itu, penghasilan per bulan doktor pajak itu paling besar hanya sampai Rp 30 juta. Jaksa juga berpendapat Bahasyim tidak memiliki bisnis dengan keuntungan besar.
Pembuktian terbalik Bahasyim atas asal-usul duitnya ditepis jaksa. Bahasyim mengaku uang itu berasal dari usahanya yang dirintis sejak 1972. Ia mendulang uang dari usaha cuci-cetak foto, jual-beli mobil, usaha perikanan, jual-beli tanah, penyertaan modal, serta usaha investasi hiburan di Filipina dan Cina. Dari investasi di dua negara itu, ia mengklaim sudah memiliki Rp 34 miliar pada 2004. ”Di mana pidananya?” katanya.
Sejumlah dokumen yang disorongkan Bahasyim tak lantas membuat jaksa percaya. Jaksa menilai bukti itu cacat hukum. Soal perjanjian investasi di Filipina dan Cina, misalnya. Di mata jaksa, isinya tidak otentik dan dianggap ”pepesan kosong” karena hanya berupa pernyataan hubungan bisnis. Bukti perjanjian dinilai lemah karena tidak dilampiri neraca keuangan. Audit akuntan independen juga dikesampingkan jaksa karena tidak ada bukti penghasilan Bahasyim dari bisnis itu.
Di luar tujuh rekening itu, jaksa menyita tiga rekening Bahasyim atas nama anak bontotnya, Winda Arum Hapsari, di Bank BCA senilai Rp 168 juta. Belakangan, jaksa justru meminta uang itu dikembalikan karena tidak ada kaitannya dengan perkara. Kepada penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya, Winda mengaku semua transaksi dilakukan ayahnya. Ia tak tahu asal-usul duit yang disetor. Bahasyim sendiri mengaku uang itu hasil keringat Winda dari pekerjaan sebagai konsultan dan usaha kos-kosan.
KISAH bejibunnya duit Bahasyim berawal dari sebuah temuan di kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Awal 2008, lembaga itu menemukan satu rekening janggal di Bank BNI cabang Jakarta Pusat. Sepanjang 2003-2005, saldo di rekening atas nama Sri Purwanti itu Rp 30 miliar. Padahal sosok Sri itu hanya ibu rumah tangga. Setelah ditelisik, si nasabah ternyata istri Bahasyim.
Dari rekening itu, uang mengalir ke enam rekening lain yang tersebar di Bank BNI cabang Jakarta Pusat, Gambir, dan Senayan. Dua masih atas nama Sri, sisanya atas nama dua putrinya, Winda dan Riandini Resanti.
Ada yang aneh dari rekening orang bernama Riandini ini: statusnya mahasiswi, tapi memiliki rekening miliaran rupiah. Hingga 2008, saldo di tujuh rekening itu mencapai Rp 64 miliar. ”Uang itu hanya berputar-putar di istri dan anaknya,” kata Ketua PPATK Yunus Husein.
Karena indikasi pidananya kuat, PPATK mengirim laporan ke kepolisian, Februari 2009. Laporan itu sempat mengendap setahun. Geger perkara pegawai pajak rendahan Gayus Tambunan yang berkocek miliaran rupiah turut mencuatkan kasus Bahasyim. Dari rekening koran yang salinannya diperoleh Tempo, penyidik mengetahui lalu lintas uang ke sejumlah rekening. Sepanjang 2004-2010, nilai transaksi aliran dana yang disetor mencapai ratusan miliar rupiah.
Rekening Sri di BNI cabang Jakarta Pusat, misalnya. Selama enam tahun, jumlah setoran mencapai 304 kali dengan nilai Rp 885 miliar. Di salah satu rekening Winda, jumlah setoran sepanjang kurun itu 80 kali dengan nilai transaksi Rp 284 miliar. Sumber Tempo menyebutkan pencatatan aliran masuk diperlukan untuk membuktikan modus pencucian uang dengan cara pelapisan (layering). Caranya, uang hasil kejahatan ditransfer ke rekening lain.
Dugaan Bahasyim melakukan pencucian uang menguat setelah istri dan dua anaknya mengaku tak pernah diberi tahu soal rekening-rekening itu. Bahasyim rupanya meminjam nama mereka. Semua rekening dikelola sendiri. Pembuatan rekening dibantu Yanti Purnamasari, Customer Relationship Manager BNI. Hanya dengan penyerahan identitas istri dan anaknya, rekening-rekening itu sudah di tangan. Di pengadilan, Yanti membenarkan hal itu.
Uang dari satu rekening dipindahkan Bahasyim ke rekening lain. Dari rekening koran tergambar rekening induk adalah rekening atas nama istrinya di BNI cabang Jakarta Pusat. Uang dari rekening itu dia pindahkan ke enam rekening lain. Di rekening induk, Bahasyim menampung uang setoran dari pihak ketiga. Salah satunya dari Kartini Mulyadi—kini konsultan hukum—sebesar Rp 1 miliar.
Enam rekening lain dipakai Bahasyim untuk menampung duit dari pemindahbukuan dan bunga investasi. Di depan hakim, Gregorius Julius Sunarto, karyawan BNI di Divisi Wealth Management, membenarkan sebagian dana di tujuh rekening Bahasyim diinvestasikan untuk membeli lima polis asuransi. Artinya, dengan premi puluhan miliar, ia bisa meraup bunga ratusan juta per tahun. ”Produk investasi yang dibeli nilainya minimal Rp 2 miliar,” kata Gregorius.
Dalam tuntutannya, jaksa menganggap pengelolaan rekening seperti itu membuktikan Bahasyim melakukan pidana pencucian uang. Kendati sejak awal penyidik menduga duit itu hasil kejahatan korupsi, pemberinya tak pernah terungkap. Menurut Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho, kepolisian tidak ngotot mengungkap penyuap Bahasyim. Kepolisian dianggap hanya berpatokan pada dokumen PPATK dan bank. Di tujuh rekening itu, memang hanya ada nama Kartini Mulyadi, pihak di luar keluarga yang mentransfer uang. Tapi tuduhannya bukan suap, melainkan pemerasan.
Menurut versi polisi, sekitar Februari 2005, Bahasyim mendatangi Kartini di kantor notarisnya di bilangan Kuningan, Jakarta. Keduanya sudah saling kenal sebelumnya. Bahasyim datang untuk meminta dana Rp 1 miliar agar pajak perusahaan Kartini tidak diutak-atik. Melalui stafnya, uang itu dikirim Kartini ke rekening istri Bahasyim. Kepada penyidik, Kartini mengaku uang itu sumbangan perbaikan kantor. Bahasyim punya versi sendiri. ”Itu pinjaman, sudah dikembalikan,” katanya.
Menurut sumber Tempo di Direktorat Jenderal Pajak, Bahasyim diduga menggangsir uang dengan beberapa cara. Sejak 2002, ia sudah memegang posisi strategis, dari Kepala Kantor Pemeriksaan Pajak Jakarta VII sampai Kepala Pajak Pratama di Palmerah. Sebagai kepala kantor, ia punya akses langsung ke wajib pajak. Korbannya adalah wajib pajak badan atau perusahaan. Modusnya berupa negosiasi keberatan, pengurangan jumlah pengembalian pajak, negosiasi ketika pemeriksaan bukti permulaan, dan penentuan besaran kekurangan pajak. Bahasyim membantah tudingan itu. ”Uang saya halal,” ujarnya.
Menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Baharudin Djafar, sejak awal pihaknya serius mengusut siapa pemberi dana Bahasyim. Namun hal itu terhambat karena bungkamnya Bahasyim. Sejumlah upaya sudah dilakukan untuk mengungkap si penyuap, tapi penyidik tidak menemukan bukti pendukung. ”Kita tunggu proses pengadilan. Kalau ada temuan baru, bisa diusut,” kata Baharudin.
Anton Aprianto
Harta Sang Fotografer
Dilahirkan di Sidoarjo, Jawa Timur, 5 Juni 1952, Bahasyim Assifie memulai kariernya pada 1976 sebagai pegawai negeri di Direktorat Pajak. Mengaku pernah jadi sopir taksi dan fotografer, saat awal-awal bekerja di Direktorat Pajak ia pernah pula menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Berita Pajak, sebelum akhirnya kariernya terus meningkat, antara lain menjadi Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Koja, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Barat, dan kemudian Inspektur Bidang Kinerja Kelembagaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional sejak Mei 2008.
Sebagai pegawai negeri, kekayaan Bahasyim luar biasa.
Bahasyim menyangkal uang itu hasil korupsi. Ia menyatakan uang itu didapatnya dari hasil bisnisnya dan bisnis anak-anaknya, seperti jual-beli mobil, tanah, reksa dana, deposito berjangka, dan usaha studio foto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo