KETIKA Tatsuro Goto dari Mitsui membungkukkan badannya di depan
Presiden Soeharto seraya menawarkan bayang-bayang investasi 1
milyar dollar AS selama Pelita II, tidak syak lagi itulah
pertanda Jepang ingin memainkan peranan yang lebih besar di
Indonesia. Tanda-tanda ke arah itu agaknya sudah dimulai ketika
di forum IGGI bulan Mei lalu, Jepang berhasil tampil sebagai
sang juara mencatat angka komitmen bantuan sebesar 180 juta
dollar. Sedang Amerika, sebagaimana sudah diduga, akhirnya
melspaskan supremasinya menduduki anak tangga kedua sebesar 150
juta dollar. Demikian pula suhu investasinya secara total sudah
berada di atas segenap modal Amerika. Meskipun luapan modal
Jepang masih tertuju pada sektor industri barang-barang konsumsi
-- atau yang juga disebut industri substitusi impor -- ini
berarti bahwa tidak seperti Amerika, pola investasi Jepang masih
kurang berani bertaruh pada bidang-bidang pertambangan yang
berjangka panjang.
Mudah diduga bahwa arus pasang modal Jepang selama Pelita II
akan tetap berkiblat pada bidang-bidang usaha yang cepat
menghasilkan. Tentu saja kesediaan Jepang unntuk mengguyur I
milyar dollar tidak usah menimbulkan rasa panik. Tapi sebaliknya
perlu dipetik manfaatnya. Namun masalahnya adalah: kisah asmara
Jepang-Indonesia masih miring setelah. Maksudnya, semangat dan
ambisi Jepang melebihi daya tampung pengusaha dan - sampai
batas-batas tertentu -- pemerintah Indonesia. Pisa kita lihat
dalam struktur kongsi (join-penture) di mana satu-dua pengusaha
Indonesia "dikeroyok" oleh sekelompok perusahaan Jepang sembari
masing-masing mensuplai modal, mesin, tehnologi serta managemen
mereka yang paling top. Di lain fihak, ada terdengar keluhan
dari fihak Jepang maupun Indonesia bahwa penusaha di sini belum
dapat mengimbangi "semangat poligami" pengusaha Jepang. Baik
dari segi jumlah, apalagi kemampuan.
Dalam potret situasi invasi modal Jepang sudah menimbulkan
berbagai distorsi sosial, TEMPO yang sudah tiga kali menurunkan
laporan utama tentang Jepang, merasa perlu menampilkan untuk
keempat kalinya. George Adicondro, yang selama berbulan-bulan
rajin mengintip lobi Jepang sembari mengikuti beberapa seminar
menyangkut peranan negeri itu, telah ditugasi menulis Laporan
Utama, yang juga telah melakukan pelbagai wawancara bersama
Yunus Kasim. Dalam memonya kepada Fikri Jufri yang memeriksa
kembali naskah akhir, Adicondro merasa was-was apakah hasrat
Jepang yang amat besar akan mampu dicernakan oleh pemerintah
Indonesia tanpa kebijaksanaan perindustrian yang bisa lebih
mengarahkan modal asing. Sampai sekarang carainvestasi yang
dikenal agaknya baru sampai dua bentuk besar: yang langsung dan
kongsi. Meskipun di luar kedua ekstrim itu masih banyak variasi
lain yang bisa disodorkan, seperti pernah dikemukakan Prof
Saburo Okita dan kawan-kawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini