SEDIKITNYA ada dua hal yang paling mengesankan peserta-peserta
Munas ke-I Golongan Karya, yang berlangsung dari tanggal 4
sampai 9 September 1973 di Surabaya. Pertama jalannya Munas itu
sendiri, dan kesan berikutnya kunjungan mereka ke Pandaan
menyaksikan pagelaran lakon "pengangkatan Raden Wijaya sebagai
raja Majapahit".
Beberapa hari menjelang Musyawarah Nasional pertama Golkar ini,
kota Surabaya udah berbenah diri menerima tamu-tamu pohon
beringin. Sejumlah hotel, wisma instansi-instansi pemerintah,
mess perwira, dipugar terburuburu mengingat sempitnya waktu.
Gelora Pancasila yang dipakai tempat Munas menelan sedikitnya Rp
3,5 juta untuk dekorasi dan sedikit perbaikan pada bagian-bagian
penting. Sebanyak 89 kendaraan (5 sedan, 37 jeep, 23 bis, 19
pick-up, dan 5 truk) yang diambil dari masing-masing kabupaten
di Jawa Timur plus perusahaan-perusahaan lainnya, siap melayani
peserta sejak ia datang di stasion maupun lapangan terbang
Djuanda sampai mengantar peserta yang butuh ke tempat-tempat
hiburan. Di samping itu 287 orang berstatus panitia dengan
tanda-tanda di dada - harap maklum kalau sebagian besar karyawan
dwi fungsi - serta pistol di pinggang plus walkie talkie, tiap
saat bisa ditemui namun belum tentu dapat melayani.
Setuju. Umumnya anggota panitia itu dalam melakukan tugasnya,
diharuskan setiap saat berhubungan dengan asisten yang jumlahnya
3 orang dan berpangkat Letkol. Peserta Irja yang dimintai
kesan-kesan selama Munas, karena mengandung kritikan, terpaksa
disensor lebih dahulu oleh Asisten I Letkol (veteran) Machmoed
baru bisa dimuat dalam bulletin Munas. "Munas ini bagaikan
pertemuan intel saja", kata seorang peserta dari Sumatera kepada
TEMPO.
Namun demikian toh ada juga halhal yang mengenakkan, terutama
bagi para peserta. Misalnya saja untuk mencapai landasan Juanda
-- bagi peserta luar Jawa -- maupun stasion Gubeng dan Turi,
mereka tidak perlu mengeruk kantong masing-masing. "Semua
dibayar oleh Panitia Pusat (Organizing Committee) dengan kontrak
Merpati Nusantara Airline", kata salah seorang panitia. Saparjo
dalam salah satu keterangannya menyebutkan biaya yang
dikeluarkan sekitar Rp 15 juta. Tapi perhitungan sementara
panitia ternyata telah mencapai Rp 15 juta termasuk tiket pulang
pergi para peserta. Dan dalam sidangsidang para peserta tidak
perlu memeras otak berdebat. "Rapat-rapat berjalan dengan
semangat musyawarah yang tinggi" kata Saparjo yang dimuat dalam
press release yang dikeluarkan oleh Humas. Apa yang dimaksudkan
dengan musyawarah yang tinggi, lebih kurang tercermin dalam
ucapan seorang peserta dari Sumatera: "Selaku utusan, kami hanya
tukang aminlah". Baik sidang-sidang komisi (ada empat komisi I,
II, III, dan IV) maupun sidang pleno, para pimpinan sidang
sedikit kewalahan menahan teriakan anggota yang tanpa tedeng
aling-aling menyetujui setiap rancangan. Malah dalam rapat salah
satu komisi para peserta sudah berteriak "setuju" sebelum
pimpinan habis membaca, materi sidang.
Tak ada pilihan. Begitu pula dalam soal pemilihan Dewan Pimpinan
Pusat, yang baru. Sehari sebelum Munas menentukan siapa pemangku
pimpinan untuk 5 tahun mendatang, para peserta diajak
kongko-kongko di Teater Pandaan. Turut serta di antara peserta
itu adalah ketua DPP Amir Murtono. Malam itu dipentaskan lakon
penobat Raden Wijaya seagai raja Majapahit. Kisahnya mengenai
sebuah negeri yan makmur yang dalam sejarahnya perna diserang
tentara dari Kub Lai Kan. Untuk beberapa lamanya pasukan-pasukan
bermata sipit dalam kostum merah hitam itu, sempat menguasai
negeri. Untunglah bala bantuan tiba dari laskar-laskar dan
perkasa. Barisan Kub Lai Kan satu demi satu tumbang dan akhirnya
morat-marit. Panglimanya belum sempat dibunuh karena dengan
taktik licik dapat menghindar dari kepungan laskar bantuan tadi.
Negeripun kembali tenang dan Raden Wijaya serta permaisuri
tampil ke pentas. Menjelang ia dinobatkan salah seorang panglima
perang melaju dan meninggalkan arena upacara. Namun para ahli
kerajaan tidak memperdulikannya, sementara selempang daa mahkota
kerajaan diarak masuk pentas. Entah bagaimana hubungan lakon ini
dengan Munas Golkar, tiba-tiba hadiri berteriak "setuju" begitu
selempang dan mahkota di pasang di pundak dan kepala Raden
Wijaya. Tapi di antara hadirin rupanya ada juga yang memahami
pagelaran malam itu. Sambil menuju keruang makan, seorang
peserta Munas dalam logat Jawa berkata: "Memang tidak ada
pilihan lain selain setuju".
Licin. Apa yang terjadi memang tidak jauh berbeda dari lakon di
Pandaan. Kedudukan Liem Biang Kie alias Yusuf Wanandi SH yang
berpusat di Tanah Abang 3, yang pada masa periode lama sangat
menentukan dalam Golkar, kini mulai tersisih. Sebaliknya laskar
bantuan yang menyelamatkan negeri dari kekuasaan Kub Lai Kan,
digamharkan seolah-olah sama dengan peranan Hankam yang makin
kokoh dalam Munas yang lalu. Lalu panglima yang merasa berjasa,
tapi diabaikan kemudian meninggalkan pentas, oleh sebagian
peserta diartikan dengan Suhardiman -- yang semula disebut-sebut
calon DPP -- yang dengan kesal kembali ke Jakarta pada hari
ketiga berlangsungnya Munas. Begitulah akhirnya hingga rapat
paripurna hari Minggu pagi memutuskan 17 orang DPP dengan
komposisi: Ketua Umum, Ketua, Ketua I dan Ketua II
masing-masing: Mayjen Amir Murtono, Martomo, Brigjen Manihuruk,
dan Nyonya Nely Adam Malik. Tidak seperti periode yang lama,
lembaga sekretariat hanya dipilih seorang dengan sebu. tan
Sekretaris Jenderal yang dipegang kembali oleh Brijen Saparjo.
Bendahara ditunjuk Drs Murdopo yang pada periode lama menduduki
kursi wakil Sekjen. Selain ke-6 pengurus inti tersebut dipilih
pula 11 anggota DPP yang menjabat sekretaris bidang. Untuk
sekretaris bidang Perencanaan dan Umum dipercayakan kepada Yusuf
Wanandi. Cosmas Batubara yang pada periode lama menjabat wakil
ketua DPP, kini ditunjuk selaku sekretaris bidang Pendidikan
Kader. Sekretaris bidang Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa dipegang
David Napitupulu, sementara Dr Midian Sirait untuk bidang
Cendekiawan. Sedang Sekretaris bidang wanita dipegang oleh Ny.
Sudarsono SH. Enam bidang lainnya: usahawan, tani/nelayan,
tenaga kerja, pegawai negeri, Aruak, dan Koperasi masing-masing
dipercayakan kepada Utoyo Usman, Rahman Tolleng, Sukiyat,
Raharjo, Pitut Suharto, dan Suleman Wirahadisurya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini