Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

BBH Plus BBI

Dalam rangka hari PBH Internasional, Direktur Pendidikan masyarakat P & K menggalakkan pemberantasan buta huruf. Sistem yang dipakai dengan mengenalkan huruf memakai bahasa daerah masing-masing.

15 September 1973 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAPATKAH seorang warganegara Indonesia dikatakan bebas buta huruf, sekiranya ia hanya bisa membaca dan menulis aksara Cina? Tidak -- biarpun standar BBH, seperti kata Drs Sunaryono, adalah "bisa menyampaikan isi hati secara tertulis kepada orang lain dan mencatat kata-kata orang lain." Direktur Pendidikan Masyarakat P & K itu pada kesempatan berjumpa wartawan sehubungan Hari PBH Internasional ke--8 minggu lalu menegaskan: "Bagi orang Cina, lain halnya." Sembari demikian ditekankan bahwa yang dapat dikatakan BBH adalah orang yang sudah dapat menulis dan membaca huruf latin. Pastilah, termasuk mereka yang hanya menguasai huruf Arab atau huruf Melayu Jawi. Di tahun 1960, Presiden Soekarno pernah mengeluarkan komando untuk menghabiskan buta huruf sampai akhir tahun 1964. Tentu saja, komando Kepala Negara itu segera merembes ke desa-desa. Di mana saja, baik petugas PBH maupun bukan sibuk mulai mengenalkan huruf dan angka pada tetangga, atau siapa saja. Nah untuk menguji telah terlaksana tidaknya itu komando, awal 1964 diadakan razia. Tak sedikit kaum ibu, termasuk yang berkacamata (karena kurang penglihatan) terpaksa mendapat malu akibat razia itu. Toh di tahun itu juga keluar proklamasi nasional bahwa segenap bangsa Indonesia yang berusia 13 hingga 45 tahun sudah melek huruf. BBH abadi. Bisa diduga yang menjadi dasar proklamasi itu adalah laporan-laporan yang sifatnya ABS. Sebab ternyata, dari hasil sensus 1971 terhadap 80,4 juta penduduk Indonesia, 400-nya atau 32,21 juta masih saja dalam alam BH. Bahkan jumlah penganut BH ini makin bertambah, yang menurut Sudardi, Dirjen Olahraga dan Pemuda "di sebabkan usaha-usaha pemberantasan buta huruf waktu itu tidak dilakukan dengan cara-cara yang memadai." Bila ada orang yang sudah bisa membaca dan menulis nama diri dan nama desanya, lanjut Sudardi, yang mengkoordinir peringatan Hari PBH Internasional tersebut, itu sudah dianggap BBH. Tanpa pembinaan lanjutan, kemampuan yang minim itu pada akhirnya pupus kembali. Dari itu, Sudardi menyebut beberapa cara pembinaan. Ada dengan mengadakan perpustakaan di desa-desa seperti di Jawa Barat misalnya. Namun usaha ini masih tal luput dari cela. Seperti kata Sudardi pula: "Jangankan mereka, mahasiswa saja sekarang ini sukar ditemukan dalam perpustakaan." Syukurlah, Direktorat Pendidikan Masyarakat tak kehilangan asa. Sekarang instansi itu memakai dua cara membina orang supaya tidak jadi BBH abadi. Pertama apa yang disebut traditional literacy, yakni dengan mengajarkan cara membaca, menulis dan berhitung yang bahannya kira-kira sederajat dengan pelajaran SD kelas III atau IV. Yang kedua, disebut functional literacy, disponsori UNESCO: mengkaitkan pelajaran tersebut di atas, dengan sesuatu kejuruan atau ketrampilan. Seperti biasa. Menelaah akibat praktek PBH massal tahun 1964 yang lalu Sunaryono kembali mengemukakan bahwa "dalam pemberantasan buta huruf di masa sekarang, kita harus melihat pengaruh apa yang berhubungan dengan pembangunan di daerah tersebut." Secara langsung, seperti disebutkannya kepada TEMPO, sekarang ini kita harus mengenalkan huruf dalam bahasa daerah dulu -- sebab bila langsung dalam bahasa nasional akan terlalu sulit. Yang bersangkutan harus mengerti dulu arti katakata itu. Ini berarti, tak sedikit bangsa Indonesia yang bukan saja BBH tapi juga buta Bahasa Indonesia (BBI). Namun, dikatakan bahwa yang diperioritas kan adalah BBH. Dan berapa biaya di perlukan? "Kalau setiap kursus menyediakan tempat untuk 20 orang dalam satu tahun, maka dibutuhkan tempat kursus sebanyak lebih 1,6 juta," jawab Sunaryono darl "ini terang tidak mungkin."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus