DAPATKAH seorang warganegara Indonesia dikatakan bebas buta
huruf, sekiranya ia hanya bisa membaca dan menulis aksara Cina?
Tidak -- biarpun standar BBH, seperti kata Drs Sunaryono, adalah
"bisa menyampaikan isi hati secara tertulis kepada orang lain
dan mencatat kata-kata orang lain." Direktur Pendidikan
Masyarakat P & K itu pada kesempatan berjumpa wartawan
sehubungan Hari PBH Internasional ke--8 minggu lalu menegaskan:
"Bagi orang Cina, lain halnya." Sembari demikian ditekankan
bahwa yang dapat dikatakan BBH adalah orang yang sudah dapat
menulis dan membaca huruf latin. Pastilah, termasuk mereka yang
hanya menguasai huruf Arab atau huruf Melayu Jawi.
Di tahun 1960, Presiden Soekarno pernah mengeluarkan komando
untuk menghabiskan buta huruf sampai akhir tahun 1964. Tentu
saja, komando Kepala Negara itu segera merembes ke desa-desa. Di
mana saja, baik petugas PBH maupun bukan sibuk mulai mengenalkan
huruf dan angka pada tetangga, atau siapa saja. Nah untuk
menguji telah terlaksana tidaknya itu komando, awal 1964
diadakan razia. Tak sedikit kaum ibu, termasuk yang berkacamata
(karena kurang penglihatan) terpaksa mendapat malu akibat razia
itu. Toh di tahun itu juga keluar proklamasi nasional bahwa
segenap bangsa Indonesia yang berusia 13 hingga 45 tahun sudah
melek huruf.
BBH abadi. Bisa diduga yang menjadi dasar proklamasi itu adalah
laporan-laporan yang sifatnya ABS. Sebab ternyata, dari hasil
sensus 1971 terhadap 80,4 juta penduduk Indonesia, 400-nya atau
32,21 juta masih saja dalam alam BH. Bahkan jumlah penganut BH
ini makin bertambah, yang menurut Sudardi, Dirjen Olahraga dan
Pemuda "di sebabkan usaha-usaha pemberantasan buta huruf waktu
itu tidak dilakukan dengan cara-cara yang memadai." Bila ada
orang yang sudah bisa membaca dan menulis nama diri dan nama
desanya, lanjut Sudardi, yang mengkoordinir peringatan Hari PBH
Internasional tersebut, itu sudah dianggap BBH. Tanpa pembinaan
lanjutan, kemampuan yang minim itu pada akhirnya pupus kembali.
Dari itu, Sudardi menyebut beberapa cara pembinaan. Ada dengan
mengadakan perpustakaan di desa-desa seperti di Jawa Barat
misalnya. Namun usaha ini masih tal luput dari cela. Seperti
kata Sudardi pula: "Jangankan mereka, mahasiswa saja sekarang
ini sukar ditemukan dalam perpustakaan."
Syukurlah, Direktorat Pendidikan Masyarakat tak kehilangan asa.
Sekarang instansi itu memakai dua cara membina orang supaya
tidak jadi BBH abadi. Pertama apa yang disebut traditional
literacy, yakni dengan mengajarkan cara membaca, menulis dan
berhitung yang bahannya kira-kira sederajat dengan pelajaran SD
kelas III atau IV. Yang kedua, disebut functional literacy,
disponsori UNESCO: mengkaitkan pelajaran tersebut di atas,
dengan sesuatu kejuruan atau ketrampilan.
Seperti biasa. Menelaah akibat praktek PBH massal tahun 1964
yang lalu Sunaryono kembali mengemukakan bahwa "dalam
pemberantasan buta huruf di masa sekarang, kita harus melihat
pengaruh apa yang berhubungan dengan pembangunan di daerah
tersebut." Secara langsung, seperti disebutkannya kepada TEMPO,
sekarang ini kita harus mengenalkan huruf dalam bahasa daerah
dulu -- sebab bila langsung dalam bahasa nasional akan terlalu
sulit. Yang bersangkutan harus mengerti dulu arti katakata itu.
Ini berarti, tak sedikit bangsa Indonesia yang bukan saja BBH
tapi juga buta Bahasa Indonesia (BBI). Namun, dikatakan bahwa
yang diperioritas kan adalah BBH. Dan berapa biaya di perlukan?
"Kalau setiap kursus menyediakan tempat untuk 20 orang dalam
satu tahun, maka dibutuhkan tempat kursus sebanyak lebih 1,6
juta," jawab Sunaryono darl "ini terang tidak mungkin."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini