DI awal Mahmillub mengadili Sutarto -- yang kini lagi
berlangsung duduknya beberapa hakim pengganti di kanan Majelis
telah diprotes pembela. Apa itu hakim pengganti, begitu
kira-kira bunyi eksepsi tersebut. Tapi Majelis menolak keberatan
pembela dengan mengatakan bahwa hakim pengganti hanya
dimaksudkan sebagai serap saja. seandainya ada hakim-hakimg 1
yang berhalangan, sehingga "sidang bisa berjalall secara
maraton".
Tak lama setelah kejadian itu, dari Departemen Kehakiman keluar
pula istilah yang seperti itu. Via sebuah keputusan Presiden,
102 orang calon-calon hakim -- dari jumlah 500 yang sudah lebih
setahun menunggu-nunggu kepastian nasib - telah diangkat sebagai
hakim pengganti. Jumlah itu hanya yang dari luar Jawa saja.
Tentang yang terakhir ini masih belum jelas, dan bahkan
Hadipurnomo SH, Dirjen Pembinaan Badan-badan Peradilan, juga
belum menjelaskan soal ini.
Bukan serap. Sepintas lalu, berita yang keluar minggu lalu itu,
tampak melegakan -- sekurang kurangnya satu langkah setingkat
setelah mereka terduduk begitu saja di landasan yang rapuh.
Namun: apa itu hakim pengganti? Dalam praktek pengadilan dan di
buku-buku tak pernah kedengaran sebutan itu. Yang ada biasanya
panitera pengganti -- dari Pengadilan Negeri hingga ke Mahkamah
Agung. Kemudian, tentu saja, masuk kwalifikasi apa hakim
pengganti itu dalam hubungan sebagai penerima hak dan kewajiban?
Pertanyaan kwalifikasi baru ini tak luput juga data dari
calon-calon hakim yang ditempatkan di Jakarta (tentang mereka
ini menurut Dirjen belum ada kepastian apa-apa, karena "SK-nya
belum turun dari Presiden".
Hadipurnomo, mencoba menghilang akan kekacauan pengertian ini.
Pertama "istilah ini tidak ada hubungannya dengan tugas dan
fungsi mereka di pengadilan" katanya kepada TEMPO. "Mereka tetap
mendapat jaminan kehormatan dan jaminan sosial". "Istilah itu
hanyalah untuk menyesuaikan dengan sistim PGPS", ujarnya. Jadi
sebutan hakim pengganti yang maksudnya bukan serap ini, di
bukkan bagi para pegawai di bidang peradilan yang menduduki
pangkat Penata Muda golongan III/A. Baru, kalau mereka sudah
menduduki golongan gaji III/B, sebutan pengganti dihilangkan
alias hakim penuh. Peraturan penyesuaian ini, seperti
ditunjukkan Hadipurnomo ada dalam keputusan bersama antara
Dcpartemen Kehakiman, Mahkamah Agung dan Kantor Urusan Pegawai
per 25 Mei 1970.
Maklum. Tapi Hadipurnomo mengakui juga bahwa penentuan hakim
pengganti dan hakim (tok) ini-pun sifatnya hanya sementara saja.
Kelak kepada para penentu keadilan itu akan diberikan pengaturan
yang lebih rapi lagi - tak akan ada istilah-istilah yang karnaa
tiba-tiba saja keluarnya, lalu membingungkan. Di sini
Hadipurnomo ada betulnya. Sebab seperti yang lama dikeluhkan,
dan berkali-kali diungkapkan Hakim Agung Asikin Kusumah Atmadja,
hingga kini dalam peraturan kepegawaian tak terdapat istilah
hakim. Mereka hanya dikenal sebagai pegawai negeri biasa.
Peraturan tersendiri yang mengatur hakim, teoritis memang
dikehendaki, Maklum negara hukum. Lihat saja fasaI 30 s/d 32
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970, yang antaranya
menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk diangkat dan diberhentikan
sebagai hakim dan tahu cara pengangkatan dan pemberhentiannyA
ditentukan dengan undang-undang. Begitu yang berkenaan dengan
pangkat, gaji dan tunjangan hakim akan diatur dalam peraturan
tersendiri. Kendatipun peraturan-peraturan pelaksanaan itu
keluar, itulah soalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini