Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Modal Jepang Di Indonesia

Modal Jepang menempati urutan I di Indonesia dalam pelita II diperkirakan US $ 1 milyar. Diduga arus modal ini akan menimbulkan perubahan bentuk sosial masyarakat Indonesia.

15 September 1973 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Tatsuro Goto dari Mitsui membungkukkan badannya di depan Presiden Soeharto seraya menawarkan bayang-bayang investasi 1 milyar dollar AS selama Pelita II, tidak syak lagi itulah pertanda Jepang ingin memainkan peranan yang lebih besar di Indonesia. Tanda-tanda ke arah itu agaknya sudah dimulai ketika di forum IGGI bulan Mei lalu, Jepang berhasil tampil sebagai sang juara mencatat angka komitmen bantuan sebesar 180 juta dollar. Sedang Amerika, sebagaimana sudah diduga, akhirnya melspaskan supremasinya menduduki anak tangga kedua sebesar 150 juta dollar. Demikian pula suhu investasinya secara total sudah berada di atas segenap modal Amerika. Meskipun luapan modal Jepang masih tertuju pada sektor industri barang-barang konsumsi -- atau yang juga disebut industri substitusi impor -- ini berarti bahwa tidak seperti Amerika, pola investasi Jepang masih kurang berani bertaruh pada bidang-bidang pertambangan yang berjangka panjang. Mudah diduga bahwa arus pasang modal Jepang selama Pelita II akan tetap berkiblat pada bidang-bidang usaha yang cepat menghasilkan. Tentu saja kesediaan Jepang unntuk mengguyur I milyar dollar tidak usah menimbulkan rasa panik. Tapi sebaliknya perlu dipetik manfaatnya. Namun masalahnya adalah: kisah asmara Jepang-Indonesia masih miring setelah. Maksudnya, semangat dan ambisi Jepang melebihi daya tampung pengusaha dan - sampai batas-batas tertentu -- pemerintah Indonesia. Pisa kita lihat dalam struktur kongsi (join-penture) di mana satu-dua pengusaha Indonesia "dikeroyok" oleh sekelompok perusahaan Jepang sembari masing-masing mensuplai modal, mesin, tehnologi serta managemen mereka yang paling top. Di lain fihak, ada terdengar keluhan dari fihak Jepang maupun Indonesia bahwa penusaha di sini belum dapat mengimbangi "semangat poligami" pengusaha Jepang. Baik dari segi jumlah, apalagi kemampuan. Dalam potret situasi invasi modal Jepang sudah menimbulkan berbagai distorsi sosial, TEMPO yang sudah tiga kali menurunkan laporan utama tentang Jepang, merasa perlu menampilkan untuk keempat kalinya. George Adicondro, yang selama berbulan-bulan rajin mengintip lobi Jepang sembari mengikuti beberapa seminar menyangkut peranan negeri itu, telah ditugasi menulis Laporan Utama, yang juga telah melakukan pelbagai wawancara bersama Yunus Kasim. Dalam memonya kepada Fikri Jufri yang memeriksa kembali naskah akhir, Adicondro merasa was-was apakah hasrat Jepang yang amat besar akan mampu dicernakan oleh pemerintah Indonesia tanpa kebijaksanaan perindustrian yang bisa lebih mengarahkan modal asing. Sampai sekarang carainvestasi yang dikenal agaknya baru sampai dua bentuk besar: yang langsung dan kongsi. Meskipun di luar kedua ekstrim itu masih banyak variasi lain yang bisa disodorkan, seperti pernah dikemukakan Prof Saburo Okita dan kawan-kawannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus