SESUATU yang musykil agaknya sedang berlangsung di sisi utara
Korea -- setidak-tidaknya kalau beberapa sumber yang menulis
mengenai negeri itu bisa dipercaya. "Kim II-Sung's Chosen
(Korea-nya Kim II-Sung) kini merupakan wilayah ajaib yang tak
dapat disamakan dengan negeri mana pun di dunia," demikian
sebuah artikel di Korea Herald, awal April 1982.
Tulisan itu bagian pertama artikel bersambung, dipetik dari
Secrets of the North Korea Dynasty: True Biography of Kim
II-Sung (Rahasia Dinasti Korea Utara: Riwayat Hidup Sesungguhnya
Kim II-Sung). Buku ini ditulis seorang bekas pemuja sang
marsekal, yang kemudian melindungkan diri ke Uni Soviet.
Menggunakan nama samaran Lim Un, pada 1940-an ia bersama-sama
Kim bahu-membahu di Khabarovsk. Biografi itu sendiri terbit
pertama kali dalam bahasa Jepang di Tokyo.
Arkian, menurut Lim Un, di Korea Utara kini tak bisa lagi
ditemukan seorang Kristen atau Budhis. Tukang ramal tak diberi
hak hidup, konon pula para dukun dan ahli santet.
Semua penduduk menggunakan pakaian dari bahan dan warna yang
sama, buatan sebuah pabrik yang sudah ditunjuk negara. Kaum
perempuan hanya diperkenankan menata rambutnya dalam satu gaya.
Ukuran panjang rambut para pria juga sudah ditetapkan negara.
"Setiap orang membutuhkan izin istimewa untuk sekedar menjenguk
orang tuanya yang tinggal di desa berhampiran," kata Lim Un.
"Sama sekali tak ada kebebasan memilih pekerjaan, sekolah, rumah
maupun pemukiman." Lalu? "Masih ada kesempatan hidup, berjuang,
bekerja, dan menikmati sistem yang diciptakan untuk kemuliaan
sang Pemimpin Besar -- Kim II-Sung."
Para dubes negara asing, yang baru tiba di Pyongyang, pun
kabarnya ikut runyam. Sebelum menyerahkan surat-surat
kepercayaan mereka diwajibkan menjalani pemeriksaan darah. Kim
II-Sung sangat khawatir para diplomat itu mengantarkan penyakit
menular.
Sekarang ini, konon, partai-partai politik yang ada di Korea
Utara tak lebih dari sekedar nama. Ambil umpamanya Partai
Demokrasi, atau Partai Chongu. Tadinya masing-masing partai itu
dikecapkan sebagai tempat berhimpun umat Kristen dan para
penganut kepercayaan chondogyo alias "jalan sorgawi" Nyatanya,
"tak sebuah gereja atau kelenteng tampak di Korea Utara sekarang
ini." Pastor dan biarawan sudah lama lenyap, bagai ditelan bumi.
Sebagai gantinya, disodorkan "agama" baru yang bernama Juche
--ciptaan Kim Il-Sung Menampik "agama" baru ini sama dengan
mengundang mara bahaya untuk diri sendiri.
Para pemeluk Juche tak perlu berpikir tentang "kehidupan sesudah
mati". Mereka justru sedang berada di "sorga dunia yang disinari
matahari gilang-gemilang Pemimpin Besar Kebapakan" -- siapa lagi
kalau bukan Kim II-Sung.
Di bawah Juche pula, semua karya seni harus dipersembahkan ke
hadirat sang Pemimpin Besar. Para seniman seniwati wajib
terus-menerus menaikkan puji-pujian, bahkan untuk para
nenek-moyang Kim yang tak pernah mereka kenal. Kim II-Sung
sendiri berkata dalam salah satu tulisannya, "hendaklah karya
sastra dan seni ditempatkan dalam usaha menciptakan masyarakat
sosialis dan perjuangan revolusioner."
Kim memang tak memperkenankan munculnya nama lain dalam tindakan
"kepahlawanan revolusioner" Kalau toh terpaksa ada peran lain,
nama tokoh tersebut harus disamarkan. Di luar Kim semua pahlawan
lain harus menyingkir -- dari karya sastra dan sejarah Korea
Utara.
KINI "pemimpin besar" itu sudah melewati usia 70 tahun. "Dan
digoda penyakit tekanan darah tinggi," kata Anthony Paul dalam
tulisannya di majalah Reader's Digest, Maret 1982. Tapi ia
telah menunjuk putranya, Kim Jong-il, 42 tahun, sebagai pewaris
tahta. Di kalangan diplomat asing di Pyongyang ada kelakar:
"Penduduk negeri ini tadinya sudah sabar menerima monarki. Kini
mereka bakal mendapat dinasti." Anthony Paul sendiri menamakan
Korea Utara "monarki marxis yang pertama di dunia."
Wilayah ke kaisaran Kim II-Sung terdiri dari kawasan
gunung-gemunung yang kaya mineral, berbatasan dengan Cina dan
Uni Soviet. "Hidup tak pernah mudah di negeri itu," kata
Anthony. Sepanjang sejarah semenanjung itu kenyang mencatat
pelbagai invasi: Cina, Mongol, Manchu, Jepang, Rusia.
Para penguasa Korea purba meletakkan disiplin yang ketat
terhadap anak negeri. Kaum militer Jepang - yang menduduki
semenanjung itu 1910-1945 -- menambahkan ketaatan mengabdi
kepada Kaisar. "Siapa yang tertarik mendirikan pemerintahan
totaliter, inilah negeri yang tepat dengan rakyatnya yang sudah
terlatih," kata Anthony Paul sedikit bercanda.
Alkisah, segera setelah Jepang bertekuk lutut, pasukan Soviet
memasuki Pyongyang, dan meneruskan perembesan sampai garis
lintang 38ø. Di selatan garis lintang itu pasukan Amerika
menguasai wilayah.
Bersama Tentara Merah Soviet itu pula datang seorang perwira
berusia 33 tahun, seorang jebolan sekolah menengah yang kemudian
dikenal bernama Kim II-Sung. Sejak 1932 ia menggabungkan diri
dengan gerilyawan anti-Jepang yang bergerak di sepanjang
perbatasan Korea-Manchuria. "Meski remaja Korea Utara kini
menyanyikan Kim sebagai 'pahlawan legendaris yang menaklukkan
sejuta tentara Jepang', ia sebenarnya tak pernah memimpin lebih
dari 300 orang partisan," kata Anthony. Sebagian besar masa
perang itu dihabiskan Kim dalam kampus pendidikan politik di Uni
Soviet.
Dan ia dengan mudah menempatkan diri sebagai sahabat karib
Soviet yang paling terpercaya di Asia Utara. Dengan backing
Soviet pula ia menyingkirkan lawan-lawannya, dan naik sebagai
pemimpin Partai Buruh Korea -- Partai Komunis -- yang segera
terbentuk.
Tatkala Republik Demokrasi Rakyat Korea (RDRK) berdiri,
September 1948, Kim tampil sebagai perdana menteri. Sekitar 21
bulan kemudian ia mengirimkan tentaranya menyeberangi garis
lintang 38ø -- dan dengan demikian memukul gong pembuka Perang
Korea yang bersejarah itu. Banyak pemimpin dunia percaya,
langkah itu diayunkan Kim berdasar saran Stalin.
Melewati tiga tahun pertempuran yang seru, akhirnya kaum komunis
toh harus menerima kenyataan untuk tetap berada di balik garis
lintang 38ø, dengan tentara PBB di seberangnya. Demi mewujudkan
impian Kim ll-Sung untuk memerintah satu Korea yang komunis, 4
juta jiwa telah melayang -- 54 ribu di antaranya serdadu
Amerika.
Sementara itu, di dalam tubuh Partai Buruh Korea sendiri mulai
bangkit ketidakpuasan. Tapi Kim cepat bertindak. Ia melancarkan
pembersihan yang ganas.
Saingan beratnya, Pak Hon-Yong, entah dengan cara bagaimana
didakwa sebagai spion Amerika dan dinyatakan bertanggung jawab
atas kerugian pihak Utara dalam Perang Korea. Pak dihadapkan
dengan regu tembak.
Ribuan orang yang dicurigai bersimpati kepada tokoh saingan itu,
tak bisa lolos dari kejaran. Mereka digiring ke berbagai kamp
kerja paksa. Yang kurang beruntung diterungku dalam sel-sel
khusus sampai mampus. Kemudian, untuk menjamin kesinambungan
kekuasaan, Kim membangun kultus individu.
Bagi orang luar, kampanye kultus itu tampak ganjil dan
menggelikan. Bacalah umpamanya sebuah koran enam halaman
terbitan Pyongyang. Di situ bisa ditemukan nama Kim II-Sung tak
kurang dari 241 kali -- rata-rata 40 kali di tiap halaman. Salah
satu sebutan yang khas untuk Kim: "Jenderal Maha Tahu yang ampuh
bagai baja, yang merebut seratus kemenangan dari seratus
pertempuran."
Sebuah penerbitan berbahasa Inggris Korea Utara menyatakan diri
mengabdi demi "mengantarkan gagasan-gagasan berpandangan jauh
Pemimpin Besar, menuju kesemarakan sepenuhnya " Penerbitan itu
ternyata majalah para penggemar prangko.
KOREA Utara tak pernah merasa rugi membiayai usaha
"mempromosikan" Kim. "Pyongyang menghabiskan jutaan dollar
untuk mengiklankan pidato-pidato Kim II-Sung di berbagai surat
kabar Barat," kata Anthony. Setelah itu koran-koran partai di
dalam negeri mengumbar kabar: pelbagai penerbitan utama dunia
menyediakan kolomnya untuk gagasan-gagasan Pemimpin Besar,
misalnya, tentang pendayagunaan fosfat.
Di jantung Kota Pyongyang, Kim II-Sung mendirikan Museum
Revolusi Korea. Di depan museum berdiri patung sang presiden
setinggi 79 kaki, yang terbesar di antara ribuan patung Sejenis
yang bertebaran di seantero negeri itu. Di dalam museum, lebih
90 ruangan memamerkan "rakyat yang bersatu bagai besi di sekitar
Pemimpin Besar."
Setiap warganegara yang mencoba merendahkan citra sang presiden
-sengaja atau tidak -- akan mendapat aib. Kerani kantor pos,
misalnya, berhati-hati betul bila menyetempel perangko
bergambarkan Kim. Hanya sudut-sudutnya yang boleh terkena tinta.
Surat kabar bekas tak boleh sembarang pakai. Bila hendak
digunakan sebagai pembungkus, atau penambal dinding, gambar Kim
harus lebih dulu digunting -- dan disimpan.
Maka tersebutlah seorang profesor, yang berusaha mengingatkan
para mahasiswanya agar jangan meremehkan orang tak bergelar
sarjana. Profesor tersebut menyebut Kim II-Sung sebagai contoh
orang berpendidikan tanggung yang toh berhasil mencapai sukses.
Tapi untuk sikap "kurang menunjukkan penghargaan" itu, profesor
tadi harus meninggalkan universitas dan memburuh di pabrik. Kim
ternyata geram juga bila orang membicarakan latar belakang
pendidikannya yang tak menentu.
Lalu, masyarakat apa yang hendak diciptakan Kim di bawah
kebesaran namanya? Seperti dikatakan Robert A. Scalapino, guru
besar ilmu politik Universitas California (Berkeley), "tak ada
negara modern yang penduduknya demikian terorganisasi dan
terindoktrinasi," ketimbang Korea Utara.
Dalam membangun totalitarianismenya, Kim II-Sung berpaling
kepada sejarah Korea. Pada 1958 ia mulai membina apa yang
dinamakan Sistem Lima Keluarga. Para anggota terpercaya Partai
Buruh Korea sekarang ini rata-rata menjadi pemuka bagi lima
keluarga di sekitarnya, dan bertanggung jawab mengindoktrinasi
mereka menurut pola yang sudah digariskan.
Panti penitipan anak-anak yang dikelola negara maupun
"istana-istana pelajar", mendidik para warga muda untuk "secara
menyala-nyala memuja Sang Ayahanda, Marsekal Kim II-Sung." Kaum
buruh di kota dan desa secara teratur wajib menghadiri
rapat-rapat propaganda atau kursus politik setiap minggu.
Untuk banyak orang, sudah tentu, penyembahan terhadap Kim
menimbulkan pelbagai teka-teki Apa lagi sumber informasi di
negara-negara "demokrasi rakyat" seperti Korea Utara umumnya
tidak terbuka. Bahkan orang asing yang dianggap paling tahu akan
hal Kim -- yaitu Pangeran Norodom Sihanouk -- tak mau berbicara
banyak mengenai sang pemimpin besar.
Tapi menurut kesaksian para diplomat, dan orang Korea yang
pernah diterima bertemu muka, Kim mengesankan seorang gemuk dan
agak pendek. Setidak-tidaknya tidak lebih tinggi dari rata-rata
orang Indonesia. (Dia pernah berkunjung ke Indonesia di masa
Orla, dan menghadiahkan sepasang pakaian dari serat batu kepada
Bung Karno).
Menurut Anthony Paul, "foto resmi yang memperlihatkan Kim
II-Sung bersama tamu asing yang lebih jangkung selalu direvisi
dulu sebelum dipublikasikan. Sang Pemimpin Besar haram tampak
cebol.
Dari segi ketertutupan, Korea Utara konon hanya bisa
dibandingkan dengan Albania yang Stalinis. Rakyat tak boleh
"dicemarkan" oleh siaran radio asing, termasuk radio Korea
Selatan. Semua pesawat dirancangdemikian rupa -- hanya mampu
mencapai pemancar-pemancar resmi pemerintah.
Kehidupan di Korea Selatan dan negara Barat selalu dipotret dari
sisi yang paling buram. "Untuk menenangkan rakyatnya yang
menerima ransum makanan tak memadai, pemerintah Pyongyang
mengarang cerita tentang dunia Barat yang sedang dilanda bencana
kelaparan."
Bahan bakar elan revolusioner a la Kim II-Sung adalah dendam
kesumat anti-Amerika yang senantiasa dikobar-kobarkan. Salah
satu lagu pop yang hangat, misalnya, berjudul Mari Mencincang
Setiap Serdadu Amerika Yang Kita Tangkap Hari Ini. Ada pula lagu
anak-anak dengan judul Tujuan Utama Kita Dalam Hidup ini lalah
Membunuh 100 Yankee. Boneka paling laris di toserba Pyongyang
melukiskan seorang pahlawan Angkatan Laut Korea Utara yang
sedang memiting serdadu berpakaian gombal dan bertampang kecut.
Di tubuh serdadu jelek itu tersemat label "Monster Serdadu
Yankee. "
Korea Utara adalah negeri paling termiliterisasi di dunia.
Tentara regularnya meliputi 700 ribu serdadu. Di samping itu
terdapat Garda Merah Buruh dan Tani, serta Garda Pemuda dan
Pelajar. Dua yang disebut terakhir beranggotakan 2,5 juta
milisia.
Lebih 16% (menurut Yearbook 1981 Encyclopaedia Britannica, 14,5
%) GNP negeri itu digunakan untuk keperluan militer. Sebagai
perbandingan, di Korea Selatan angka itu hanya mencapai 6%. Di
Amerika Serikat 5%.
Akan kultus individu yang demikian menyolok, para apologis
Pyongyang menyebut faktor tersebut justru membantu proses
pembinaan bangsa untuk memasuki era industri. Dalam hal
tertentu, misalnya irigasi, disiplin yang ketat dan kerja massal
memang membuahkan hasil memadai. Tapi bila berbicara secara
keseluruhan, ekonomi Korea Utara yang berkiblat ke Soviet dan
dirancang secara terpusat memperlihatkan catatan yang tidak
begitu menggembirakan.
Menurut para ekonom asing yang berada di Pyongyang, pendapatan
tahunan per kapita Korea Utara adalah US$ 900 Bandingkan dengan
Korea Selatan: US$ 1700. Sementara itu lewat doktrin Juche
(kepercayaan kepada diri sendiri, mungkin semacam "berdikari")
Kim II-Sung menutup pintu negeri dari modal dan teknologi asing,
yang di selatan justru diterima seperti semacam berkah. Tak
berarti Korea Utara bebas utang. Diperkirakan pinjamannya
berjumlah sekitar US$ 1 milyar.
Dalam pada itu hasil produksi bahan makanan pokok memperlihatkan
garis menurun. Tahun lalu pemerintah Pyongyang sudah
merencanakan usaha perluasan tanah pertanian 3000 ha. Areal baru
ini mencakup wilayah pantai yang datar dan berlumpur.
Kesuburannya sulit diandalkan.
Media massa pemerintah memandang usaha pembukaan tanah pertanian
baru itu sebagai kunci meningkatkan produksi pangan. Mereka
sekaligus menyarankan penerapan metode dan penggunaan bibit
varietas baru.
Struktur kabinet juga belakangan ini mengalami perubahan, dalam
usaha membenahi ekonomi yang tak dapat dikatakan cerah.
Cara-cara kontrol yang lebih efisien diterapkan. Lima komisi
dibentuk untuk mengawasi apa yang dinamakan sektor kunci
industri. Yaitu permesinan, penerangan (listrik), transpor,
pertambangan dan industri bahan bangunan.
"Isyarat lain dari usaha mencapai efisiensi dan kemajuan tampak
pada langkah membenahi Akademi Ilmu Pengetahuan Korea Utara,"
kata sebuah tulisan dalam Far Eastern Economic Review 14 Mei
lalu. Akademi tersebut merupakan pusat riset dan pembaruan, dan
kini mendapat status kementerian. Dibentuk pula Komisi
Perdagangan Luar Negeri, langsung di bawah Deputi Perdana
Menteri dan seorang anggota Politbiro Partai.
Selama tiga tahun terakhir, meski tetap tak begitu berarti,
volume perdagangan luar negeri Korea Utara meningkat dua kali.
Posisi jual beli dengan negara-negara nonkomunis tampak besar.
Pada akhirnya, yah, kebijaksanaan pintu tertutup dirasakan
sebagai bumerang yang mengundang penyakit.
Sudah 15 tahun Pyongyang tak pernah mengumumkan angka resmi
perdagangan luar negrinya. Tapi pemerintah AS toh berhasil
mengumpulkan data dari pihak yang melakukan bisnis dengan negeri
itu. Dari situ bisa dilihat: ekspor meningkat dari US$ 1,03
milyar pada 1978 menjadi US$ 2 milyar pada 1980. Impor naik dari
US$ 950 juta menjadi US$ 1,9 milyar. Kalau saja negeri ini tidak
membelanjakan uangnya terlalu banyak untuk Angkatan Bersenjata
--seperti tahun-tahun lalu -- mungkin ia belum kehilangan
harapan.
Tanggal 15 April lalu, genaplah Kim II-Sung 70 tahun. Kepadanya
dipersembahkan sebuah monumen raksasa, Menara Juche. Di pucuk
menara menyala api abadi. "Untuk menjadi suluh yang kekal bagi
dunia," ujar seorang pemandu wisata kepada tamu Amerika.
Dalam membina kesinambungan kekuasaan, Kim mungkin memang le
bih berhasil ketimbang Staliri dan Mao Zhedong. Padahal kedua
mendian itu "bapak dan saudara rohani" Kim II-Sung. Kim belajar
dari kenyataan, betapa Stalin dan Mao hanya dihormati beberapa
tahun setelah kematian mereka. Stalin kemudian dicaci maki
jenazahnya dikeluarkan dari musoleum. Sedang patung-patung Mao
Zhedong mulai dibongkar di Cina.
Kim setidak-tidaknya sudah mempersiapkan putranya -- dan
kemudian tentu, keturunannya -- untuk mengguratkan namanya
secara kekal di bumi. Tapi para penguasa juga boleh kecewa.
Ternyata Kim Jong-II, yang dipersiapkan sebagai pengganti sang
ayah Kim II-Sung, tidak segera diberi peluang emas. Menurut
North Korea News, sebuah buletin terbitan Korea Selatan, namanya
tidak tercantum sebagai salah satu menteri dalam Kabinet. Bahkan
tidak juga kebagian kursi dalam empat lembaga negara terpenting:
Komisi Pertahanan Nasional, Komisi Untuk Pengawasan Negara,
Kementerian Angkatan Bersenjata Rakyat dan Kementerian Keamanan
Rakyat.
Para pengamat itu juga meramalkan Kim Muda paling banter akan
terpilih sebagai salah seorang wakil presiden Majelis Tertinggi
Rakyat. Di lembaga ini Kim Jong-II menduduki jenjang keempat
sesudah Presiden Kim II-Sung, Wakil Presiden dan Kang Ryang-uk.
Mungkin ada beberapa masalah yang masih harus diatasi, baik
dalam maupun luar negeri, hingga "penobatan" Kim Muda yang
mereka nanti-nantikan itu tertunda. Para pengamat lain
berpendapat, Kim II-Sung barangkali juga sedang mempersiapkan
sesuatu yang 'dramatis' bagi sang putra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini