Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Monarki marxis pertama di dunia

Korea utara di bawah pemerintahan kim il-sung, negara monarki marxis pertama di dunia. sama sekali tak ada kebebasan memilih pekerjaan, sekolah rumah maupun pemukiman. (sel)

26 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUATU yang musykil agaknya sedang berlangsung di sisi utara Korea -- setidak-tidaknya kalau beberapa sumber yang menulis mengenai negeri itu bisa dipercaya. "Kim II-Sung's Chosen (Korea-nya Kim II-Sung) kini merupakan wilayah ajaib yang tak dapat disamakan dengan negeri mana pun di dunia," demikian sebuah artikel di Korea Herald, awal April 1982. Tulisan itu bagian pertama artikel bersambung, dipetik dari Secrets of the North Korea Dynasty: True Biography of Kim II-Sung (Rahasia Dinasti Korea Utara: Riwayat Hidup Sesungguhnya Kim II-Sung). Buku ini ditulis seorang bekas pemuja sang marsekal, yang kemudian melindungkan diri ke Uni Soviet. Menggunakan nama samaran Lim Un, pada 1940-an ia bersama-sama Kim bahu-membahu di Khabarovsk. Biografi itu sendiri terbit pertama kali dalam bahasa Jepang di Tokyo. Arkian, menurut Lim Un, di Korea Utara kini tak bisa lagi ditemukan seorang Kristen atau Budhis. Tukang ramal tak diberi hak hidup, konon pula para dukun dan ahli santet. Semua penduduk menggunakan pakaian dari bahan dan warna yang sama, buatan sebuah pabrik yang sudah ditunjuk negara. Kaum perempuan hanya diperkenankan menata rambutnya dalam satu gaya. Ukuran panjang rambut para pria juga sudah ditetapkan negara. "Setiap orang membutuhkan izin istimewa untuk sekedar menjenguk orang tuanya yang tinggal di desa berhampiran," kata Lim Un. "Sama sekali tak ada kebebasan memilih pekerjaan, sekolah, rumah maupun pemukiman." Lalu? "Masih ada kesempatan hidup, berjuang, bekerja, dan menikmati sistem yang diciptakan untuk kemuliaan sang Pemimpin Besar -- Kim II-Sung." Para dubes negara asing, yang baru tiba di Pyongyang, pun kabarnya ikut runyam. Sebelum menyerahkan surat-surat kepercayaan mereka diwajibkan menjalani pemeriksaan darah. Kim II-Sung sangat khawatir para diplomat itu mengantarkan penyakit menular. Sekarang ini, konon, partai-partai politik yang ada di Korea Utara tak lebih dari sekedar nama. Ambil umpamanya Partai Demokrasi, atau Partai Chongu. Tadinya masing-masing partai itu dikecapkan sebagai tempat berhimpun umat Kristen dan para penganut kepercayaan chondogyo alias "jalan sorgawi" Nyatanya, "tak sebuah gereja atau kelenteng tampak di Korea Utara sekarang ini." Pastor dan biarawan sudah lama lenyap, bagai ditelan bumi. Sebagai gantinya, disodorkan "agama" baru yang bernama Juche --ciptaan Kim Il-Sung Menampik "agama" baru ini sama dengan mengundang mara bahaya untuk diri sendiri. Para pemeluk Juche tak perlu berpikir tentang "kehidupan sesudah mati". Mereka justru sedang berada di "sorga dunia yang disinari matahari gilang-gemilang Pemimpin Besar Kebapakan" -- siapa lagi kalau bukan Kim II-Sung. Di bawah Juche pula, semua karya seni harus dipersembahkan ke hadirat sang Pemimpin Besar. Para seniman seniwati wajib terus-menerus menaikkan puji-pujian, bahkan untuk para nenek-moyang Kim yang tak pernah mereka kenal. Kim II-Sung sendiri berkata dalam salah satu tulisannya, "hendaklah karya sastra dan seni ditempatkan dalam usaha menciptakan masyarakat sosialis dan perjuangan revolusioner." Kim memang tak memperkenankan munculnya nama lain dalam tindakan "kepahlawanan revolusioner" Kalau toh terpaksa ada peran lain, nama tokoh tersebut harus disamarkan. Di luar Kim semua pahlawan lain harus menyingkir -- dari karya sastra dan sejarah Korea Utara. KINI "pemimpin besar" itu sudah melewati usia 70 tahun. "Dan digoda penyakit tekanan darah tinggi," kata Anthony Paul dalam tulisannya di majalah Reader's Digest, Maret 1982. Tapi ia telah menunjuk putranya, Kim Jong-il, 42 tahun, sebagai pewaris tahta. Di kalangan diplomat asing di Pyongyang ada kelakar: "Penduduk negeri ini tadinya sudah sabar menerima monarki. Kini mereka bakal mendapat dinasti." Anthony Paul sendiri menamakan Korea Utara "monarki marxis yang pertama di dunia." Wilayah ke kaisaran Kim II-Sung terdiri dari kawasan gunung-gemunung yang kaya mineral, berbatasan dengan Cina dan Uni Soviet. "Hidup tak pernah mudah di negeri itu," kata Anthony. Sepanjang sejarah semenanjung itu kenyang mencatat pelbagai invasi: Cina, Mongol, Manchu, Jepang, Rusia. Para penguasa Korea purba meletakkan disiplin yang ketat terhadap anak negeri. Kaum militer Jepang - yang menduduki semenanjung itu 1910-1945 -- menambahkan ketaatan mengabdi kepada Kaisar. "Siapa yang tertarik mendirikan pemerintahan totaliter, inilah negeri yang tepat dengan rakyatnya yang sudah terlatih," kata Anthony Paul sedikit bercanda. Alkisah, segera setelah Jepang bertekuk lutut, pasukan Soviet memasuki Pyongyang, dan meneruskan perembesan sampai garis lintang 38ø. Di selatan garis lintang itu pasukan Amerika menguasai wilayah. Bersama Tentara Merah Soviet itu pula datang seorang perwira berusia 33 tahun, seorang jebolan sekolah menengah yang kemudian dikenal bernama Kim II-Sung. Sejak 1932 ia menggabungkan diri dengan gerilyawan anti-Jepang yang bergerak di sepanjang perbatasan Korea-Manchuria. "Meski remaja Korea Utara kini menyanyikan Kim sebagai 'pahlawan legendaris yang menaklukkan sejuta tentara Jepang', ia sebenarnya tak pernah memimpin lebih dari 300 orang partisan," kata Anthony. Sebagian besar masa perang itu dihabiskan Kim dalam kampus pendidikan politik di Uni Soviet. Dan ia dengan mudah menempatkan diri sebagai sahabat karib Soviet yang paling terpercaya di Asia Utara. Dengan backing Soviet pula ia menyingkirkan lawan-lawannya, dan naik sebagai pemimpin Partai Buruh Korea -- Partai Komunis -- yang segera terbentuk. Tatkala Republik Demokrasi Rakyat Korea (RDRK) berdiri, September 1948, Kim tampil sebagai perdana menteri. Sekitar 21 bulan kemudian ia mengirimkan tentaranya menyeberangi garis lintang 38ø -- dan dengan demikian memukul gong pembuka Perang Korea yang bersejarah itu. Banyak pemimpin dunia percaya, langkah itu diayunkan Kim berdasar saran Stalin. Melewati tiga tahun pertempuran yang seru, akhirnya kaum komunis toh harus menerima kenyataan untuk tetap berada di balik garis lintang 38ø, dengan tentara PBB di seberangnya. Demi mewujudkan impian Kim ll-Sung untuk memerintah satu Korea yang komunis, 4 juta jiwa telah melayang -- 54 ribu di antaranya serdadu Amerika. Sementara itu, di dalam tubuh Partai Buruh Korea sendiri mulai bangkit ketidakpuasan. Tapi Kim cepat bertindak. Ia melancarkan pembersihan yang ganas. Saingan beratnya, Pak Hon-Yong, entah dengan cara bagaimana didakwa sebagai spion Amerika dan dinyatakan bertanggung jawab atas kerugian pihak Utara dalam Perang Korea. Pak dihadapkan dengan regu tembak. Ribuan orang yang dicurigai bersimpati kepada tokoh saingan itu, tak bisa lolos dari kejaran. Mereka digiring ke berbagai kamp kerja paksa. Yang kurang beruntung diterungku dalam sel-sel khusus sampai mampus. Kemudian, untuk menjamin kesinambungan kekuasaan, Kim membangun kultus individu. Bagi orang luar, kampanye kultus itu tampak ganjil dan menggelikan. Bacalah umpamanya sebuah koran enam halaman terbitan Pyongyang. Di situ bisa ditemukan nama Kim II-Sung tak kurang dari 241 kali -- rata-rata 40 kali di tiap halaman. Salah satu sebutan yang khas untuk Kim: "Jenderal Maha Tahu yang ampuh bagai baja, yang merebut seratus kemenangan dari seratus pertempuran." Sebuah penerbitan berbahasa Inggris Korea Utara menyatakan diri mengabdi demi "mengantarkan gagasan-gagasan berpandangan jauh Pemimpin Besar, menuju kesemarakan sepenuhnya " Penerbitan itu ternyata majalah para penggemar prangko. KOREA Utara tak pernah merasa rugi membiayai usaha "mempromosikan" Kim. "Pyongyang menghabiskan jutaan dollar untuk mengiklankan pidato-pidato Kim II-Sung di berbagai surat kabar Barat," kata Anthony. Setelah itu koran-koran partai di dalam negeri mengumbar kabar: pelbagai penerbitan utama dunia menyediakan kolomnya untuk gagasan-gagasan Pemimpin Besar, misalnya, tentang pendayagunaan fosfat. Di jantung Kota Pyongyang, Kim II-Sung mendirikan Museum Revolusi Korea. Di depan museum berdiri patung sang presiden setinggi 79 kaki, yang terbesar di antara ribuan patung Sejenis yang bertebaran di seantero negeri itu. Di dalam museum, lebih 90 ruangan memamerkan "rakyat yang bersatu bagai besi di sekitar Pemimpin Besar." Setiap warganegara yang mencoba merendahkan citra sang presiden -sengaja atau tidak -- akan mendapat aib. Kerani kantor pos, misalnya, berhati-hati betul bila menyetempel perangko bergambarkan Kim. Hanya sudut-sudutnya yang boleh terkena tinta. Surat kabar bekas tak boleh sembarang pakai. Bila hendak digunakan sebagai pembungkus, atau penambal dinding, gambar Kim harus lebih dulu digunting -- dan disimpan. Maka tersebutlah seorang profesor, yang berusaha mengingatkan para mahasiswanya agar jangan meremehkan orang tak bergelar sarjana. Profesor tersebut menyebut Kim II-Sung sebagai contoh orang berpendidikan tanggung yang toh berhasil mencapai sukses. Tapi untuk sikap "kurang menunjukkan penghargaan" itu, profesor tadi harus meninggalkan universitas dan memburuh di pabrik. Kim ternyata geram juga bila orang membicarakan latar belakang pendidikannya yang tak menentu. Lalu, masyarakat apa yang hendak diciptakan Kim di bawah kebesaran namanya? Seperti dikatakan Robert A. Scalapino, guru besar ilmu politik Universitas California (Berkeley), "tak ada negara modern yang penduduknya demikian terorganisasi dan terindoktrinasi," ketimbang Korea Utara. Dalam membangun totalitarianismenya, Kim II-Sung berpaling kepada sejarah Korea. Pada 1958 ia mulai membina apa yang dinamakan Sistem Lima Keluarga. Para anggota terpercaya Partai Buruh Korea sekarang ini rata-rata menjadi pemuka bagi lima keluarga di sekitarnya, dan bertanggung jawab mengindoktrinasi mereka menurut pola yang sudah digariskan. Panti penitipan anak-anak yang dikelola negara maupun "istana-istana pelajar", mendidik para warga muda untuk "secara menyala-nyala memuja Sang Ayahanda, Marsekal Kim II-Sung." Kaum buruh di kota dan desa secara teratur wajib menghadiri rapat-rapat propaganda atau kursus politik setiap minggu. Untuk banyak orang, sudah tentu, penyembahan terhadap Kim menimbulkan pelbagai teka-teki Apa lagi sumber informasi di negara-negara "demokrasi rakyat" seperti Korea Utara umumnya tidak terbuka. Bahkan orang asing yang dianggap paling tahu akan hal Kim -- yaitu Pangeran Norodom Sihanouk -- tak mau berbicara banyak mengenai sang pemimpin besar. Tapi menurut kesaksian para diplomat, dan orang Korea yang pernah diterima bertemu muka, Kim mengesankan seorang gemuk dan agak pendek. Setidak-tidaknya tidak lebih tinggi dari rata-rata orang Indonesia. (Dia pernah berkunjung ke Indonesia di masa Orla, dan menghadiahkan sepasang pakaian dari serat batu kepada Bung Karno). Menurut Anthony Paul, "foto resmi yang memperlihatkan Kim II-Sung bersama tamu asing yang lebih jangkung selalu direvisi dulu sebelum dipublikasikan. Sang Pemimpin Besar haram tampak cebol. Dari segi ketertutupan, Korea Utara konon hanya bisa dibandingkan dengan Albania yang Stalinis. Rakyat tak boleh "dicemarkan" oleh siaran radio asing, termasuk radio Korea Selatan. Semua pesawat dirancangdemikian rupa -- hanya mampu mencapai pemancar-pemancar resmi pemerintah. Kehidupan di Korea Selatan dan negara Barat selalu dipotret dari sisi yang paling buram. "Untuk menenangkan rakyatnya yang menerima ransum makanan tak memadai, pemerintah Pyongyang mengarang cerita tentang dunia Barat yang sedang dilanda bencana kelaparan." Bahan bakar elan revolusioner a la Kim II-Sung adalah dendam kesumat anti-Amerika yang senantiasa dikobar-kobarkan. Salah satu lagu pop yang hangat, misalnya, berjudul Mari Mencincang Setiap Serdadu Amerika Yang Kita Tangkap Hari Ini. Ada pula lagu anak-anak dengan judul Tujuan Utama Kita Dalam Hidup ini lalah Membunuh 100 Yankee. Boneka paling laris di toserba Pyongyang melukiskan seorang pahlawan Angkatan Laut Korea Utara yang sedang memiting serdadu berpakaian gombal dan bertampang kecut. Di tubuh serdadu jelek itu tersemat label "Monster Serdadu Yankee. " Korea Utara adalah negeri paling termiliterisasi di dunia. Tentara regularnya meliputi 700 ribu serdadu. Di samping itu terdapat Garda Merah Buruh dan Tani, serta Garda Pemuda dan Pelajar. Dua yang disebut terakhir beranggotakan 2,5 juta milisia. Lebih 16% (menurut Yearbook 1981 Encyclopaedia Britannica, 14,5 %) GNP negeri itu digunakan untuk keperluan militer. Sebagai perbandingan, di Korea Selatan angka itu hanya mencapai 6%. Di Amerika Serikat 5%. Akan kultus individu yang demikian menyolok, para apologis Pyongyang menyebut faktor tersebut justru membantu proses pembinaan bangsa untuk memasuki era industri. Dalam hal tertentu, misalnya irigasi, disiplin yang ketat dan kerja massal memang membuahkan hasil memadai. Tapi bila berbicara secara keseluruhan, ekonomi Korea Utara yang berkiblat ke Soviet dan dirancang secara terpusat memperlihatkan catatan yang tidak begitu menggembirakan. Menurut para ekonom asing yang berada di Pyongyang, pendapatan tahunan per kapita Korea Utara adalah US$ 900 Bandingkan dengan Korea Selatan: US$ 1700. Sementara itu lewat doktrin Juche (kepercayaan kepada diri sendiri, mungkin semacam "berdikari") Kim II-Sung menutup pintu negeri dari modal dan teknologi asing, yang di selatan justru diterima seperti semacam berkah. Tak berarti Korea Utara bebas utang. Diperkirakan pinjamannya berjumlah sekitar US$ 1 milyar. Dalam pada itu hasil produksi bahan makanan pokok memperlihatkan garis menurun. Tahun lalu pemerintah Pyongyang sudah merencanakan usaha perluasan tanah pertanian 3000 ha. Areal baru ini mencakup wilayah pantai yang datar dan berlumpur. Kesuburannya sulit diandalkan. Media massa pemerintah memandang usaha pembukaan tanah pertanian baru itu sebagai kunci meningkatkan produksi pangan. Mereka sekaligus menyarankan penerapan metode dan penggunaan bibit varietas baru. Struktur kabinet juga belakangan ini mengalami perubahan, dalam usaha membenahi ekonomi yang tak dapat dikatakan cerah. Cara-cara kontrol yang lebih efisien diterapkan. Lima komisi dibentuk untuk mengawasi apa yang dinamakan sektor kunci industri. Yaitu permesinan, penerangan (listrik), transpor, pertambangan dan industri bahan bangunan. "Isyarat lain dari usaha mencapai efisiensi dan kemajuan tampak pada langkah membenahi Akademi Ilmu Pengetahuan Korea Utara," kata sebuah tulisan dalam Far Eastern Economic Review 14 Mei lalu. Akademi tersebut merupakan pusat riset dan pembaruan, dan kini mendapat status kementerian. Dibentuk pula Komisi Perdagangan Luar Negeri, langsung di bawah Deputi Perdana Menteri dan seorang anggota Politbiro Partai. Selama tiga tahun terakhir, meski tetap tak begitu berarti, volume perdagangan luar negeri Korea Utara meningkat dua kali. Posisi jual beli dengan negara-negara nonkomunis tampak besar. Pada akhirnya, yah, kebijaksanaan pintu tertutup dirasakan sebagai bumerang yang mengundang penyakit. Sudah 15 tahun Pyongyang tak pernah mengumumkan angka resmi perdagangan luar negrinya. Tapi pemerintah AS toh berhasil mengumpulkan data dari pihak yang melakukan bisnis dengan negeri itu. Dari situ bisa dilihat: ekspor meningkat dari US$ 1,03 milyar pada 1978 menjadi US$ 2 milyar pada 1980. Impor naik dari US$ 950 juta menjadi US$ 1,9 milyar. Kalau saja negeri ini tidak membelanjakan uangnya terlalu banyak untuk Angkatan Bersenjata --seperti tahun-tahun lalu -- mungkin ia belum kehilangan harapan. Tanggal 15 April lalu, genaplah Kim II-Sung 70 tahun. Kepadanya dipersembahkan sebuah monumen raksasa, Menara Juche. Di pucuk menara menyala api abadi. "Untuk menjadi suluh yang kekal bagi dunia," ujar seorang pemandu wisata kepada tamu Amerika. Dalam membina kesinambungan kekuasaan, Kim mungkin memang le bih berhasil ketimbang Staliri dan Mao Zhedong. Padahal kedua mendian itu "bapak dan saudara rohani" Kim II-Sung. Kim belajar dari kenyataan, betapa Stalin dan Mao hanya dihormati beberapa tahun setelah kematian mereka. Stalin kemudian dicaci maki jenazahnya dikeluarkan dari musoleum. Sedang patung-patung Mao Zhedong mulai dibongkar di Cina. Kim setidak-tidaknya sudah mempersiapkan putranya -- dan kemudian tentu, keturunannya -- untuk mengguratkan namanya secara kekal di bumi. Tapi para penguasa juga boleh kecewa. Ternyata Kim Jong-II, yang dipersiapkan sebagai pengganti sang ayah Kim II-Sung, tidak segera diberi peluang emas. Menurut North Korea News, sebuah buletin terbitan Korea Selatan, namanya tidak tercantum sebagai salah satu menteri dalam Kabinet. Bahkan tidak juga kebagian kursi dalam empat lembaga negara terpenting: Komisi Pertahanan Nasional, Komisi Untuk Pengawasan Negara, Kementerian Angkatan Bersenjata Rakyat dan Kementerian Keamanan Rakyat. Para pengamat itu juga meramalkan Kim Muda paling banter akan terpilih sebagai salah seorang wakil presiden Majelis Tertinggi Rakyat. Di lembaga ini Kim Jong-II menduduki jenjang keempat sesudah Presiden Kim II-Sung, Wakil Presiden dan Kang Ryang-uk. Mungkin ada beberapa masalah yang masih harus diatasi, baik dalam maupun luar negeri, hingga "penobatan" Kim Muda yang mereka nanti-nantikan itu tertunda. Para pengamat lain berpendapat, Kim II-Sung barangkali juga sedang mempersiapkan sesuatu yang 'dramatis' bagi sang putra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus