TANPA ragu-ragu lagi, Ir. Hidayat, Asisten Menteri PU, langsung
meneguk air mentah itu. Dia tampak berusaha merasakan air yang
beberapa saat sebelumnya masih keruh mengalir di Sungai
Cikapundung di belakang pemandian Cihampelas, Bandung. Hidayat
berani meminumnya sesudah air keruh tadi melewati instalasi
penjernihan air mini bikinan Lembaga Instrumentasi Nasional
(LIN)-LIPI.
Bentuk dasar (prototype) instalasi itu, dengan kapasitas 5
liter/detik, yang didemonstrasikan pekan lalu, memang
menunjukkan hasil hebat. Air Sungai Cikapundung yang semula
punya tingkat kekeruhan (turbidity) 480 ppm (bagian per sejuta)
berhasil dijernihkan ke tingkat 1,07 ppm (standar PAM maksimum
25 ppm) --sedang hasil percobaan paling buruk 8 ppm. Derajat
keasaman yang dihasilkan berkisar 6,8-7,1 (standar PAM 6,5-8,5).
Tapi ketika dilakukan tes unsur kimia, air ternyata mengandung
kadar amonium (NH4) tinggi. Untung saja Ir. Kardiman
Sastrawidjaja dari LIN, yang memimpin proyek itu, cukup jeli.
Pipa pengambil air baku ternyata terletak dekat lubang
pembuangan kotoran dari rumah seorang penduduk. Kadar anonium
langsung menghilang setelah pipa penyedot itu dipindahkan.
Instalasi penjernihan semacam itu bekerja secara sederhana --
mudah dipelihara, dan bisa dioperasikan operator lokal di
pedesaan. Bagian utamanya berupa sebuah bak dari baja anti
karat: 4,9 m x 2 m x 2,4 m, yang dibagi menjadi tiga kamar.
Ruang pertama berfungsi sebagai kamar penggumpal, kamar kedua
untuh mengendapkan gumpalan, dan kamar ketiga berperan sebagai
penyaring (filter). Masing-masing kamar dilengkapi klep untuk
membuang endapan.
Selain bagian utama tadi, ada sebuah pompa khusus -- disebut
submerged pump -- yang dioperasikan dalam keadaan tenggelam
di dalam air. Di bagian lain terdapat tiga drum, masing-masing
berisi kapur (untuk mengatur keasaman air: pH), larutan tawas
(penggumpal kotoran atau koagulan) dan larutan Chlor (pembunuh
bakteri).
Di tiap drum tadi dilengkapi dengan pompa dan klep untuk
mengatur banyaknya larutan yang dialirkan dari masing-masing
drum itu. Air yang disedot oleh submerged pump pertama kali
dimasukkan ke kamar pertama. Di sini air tadi dicampur dengan
kapur dan tawas untuk menggumpalkan kotoran. Di kamar pertama
ini ada enam buah sekat yang berlubang di bagian atas atau
bagian bawah untuk memberi kesempatan air mengalir secara zig
zag hingga tawas dan kapur dapat larut merata, memberi
kesempatan kotoran agar menggumpal.
Kamar penggumpal ini punya dasar 1,7 m lebih tinggi dibandingkan
kamar kedua -- hingga air dari kamar pertama bisa turun ke
dasar kamar kedua yang berbentuk trapesium. Pada kamar ini
disediakan tumpukan fibreglass gelombang (seperti asbes
gelombang) yang membentuk lubang-lubang bagai sarang tawon.
Lembaran-lembaran fibreglass di kamar kedua itu dipasang dengan
kemiringan 18 derajat, yang mampu memakai air berputar dari
bawah ke atas. Karena gaya gravitasi, dan benturan-benturan yang
terjadi di situ, maka gumpalan kotoran akan turun mengendap. Di
atas kamar kedua ini dipasang talang yang menyalurkan limpahan
air ke kamar ketiga yang lebih rendah letaknya. Talang yang
menjulur ke kamar ketiga ini berfungsi meratakan aliran air yang
jatuh pada lapisan pasir penyaring.
Air yang mengucur itu kemudian turun melewati butir-butir pasir
yang berperan menangkap kotoran yang masih sempat lolos dari
kedua kamar sebelumnya. Lalu air bersih tadi dicampur larutan
Chlor sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam bak penampungan.
Jika' instalasi ini dioperasikan secara manual maka tugas
operator hanyalah membuka klep pembuangan kotoran yang terdapat
di dasar setiap kamar. Untuk memperlancar proses pengurasan,
sebuah pintu disediakan pula antara dinding pemisah kamar kedua,
dan ketiga yang otomatis akan terbuka jika permukaan air pada
kamar ketiga lebih tinggi daripada kamar kedua.
Kalau toh tenaga operator sulit diperoleh, Kardiman telah
mendisain suatu sistem kontrol yang sederhana. Kerja pengontrol
ini adalah mendeteksi tinggi permukaan air pada bak penampung,
dan menghentikan unit penjernih air jika bak penampung penuh,
dan menghidupkannya kembali bila permukaan air di bak turun.
MENURUT rencana, instalasi penjernihan air itu, yang dipesan PT
- Tirta Engineering Work akan dibuat dalam bentuk rakitan
(seperti kit), hingga memudahkan untuk dipasang. Harga instalasi
penjernih dengan kapasitas 5 liter/detik -- dan memerlukan
agregat 11,6 KVA -- adalah Rp 30 juta (termasuk sistem kontrol
otomatis). Harga instalasi serupa buatan Kubota, Jepang, sekitar
Rp 40 juta.
Menurut pihak LIN, instalasi itu akan disertakan PT Tirta dalam
suatu tender pengadaan 100 unit alat pembersih air untuk
sejumlah kecamatan . Tender kabarnya juga akan diikuti sejumlah
perusahaan yang menyertakan instalasi penjernih bikinan Jepang.
Siapa yang akan menang? Hanya Ditjen Cipta Karya, Dep. PU,
barangkali yang tahu. Ada yang menilai instalasi buatan LIN itu
terasa mahal jika dibandingkan instalasi serupa karya Ir. Fajar
Hadi yang ditahun 1974 hanya menelan Rp 1,7 juta. Proyek Mini
Pengolahan Air Bersih Sungai Cikapayang itu mampu menghasilkan
air betsih sekitar 3-5 liter/detik (TEMPO, 5 April 1980).
Selain biayanya murah, instalasi karya Fajar itu mudah dibuat.
Tahap pertama proses pembersihan adalah proses pengendapan zat
koloidal, misalnya, butir halus tanah liat di bak pertama dengan
tawas atau aluminium sulfat. Tahap kedua adalah menyaring air
dari berbagai bakteri pada bak pasir. Dari situ, air dialirkan
ke bak berikut, dan disinilah kaporit dicampurkan -- sebagai
pembersih kuman sekaligus untuk memperbaiki kualitas air.
Pihak Ditjen Cipta Karya hati-hati menilai karya Fajar itu.
Seorang pejabat mengkritik instalasi bikinan Fajar masih tetap
memakai cara konvensional. Maksudnya, selain menggunakan
saringan pasir cepat, juga masih dibubuhi zat kimia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini