Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Mondar-mandir di Debat Dasar Negara

Peran Muhammad Yamin ketika menyusun dasar negara menuai kontroversi. Acap dibela Sukarno.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Debat hangat itu berlangsung di pengujung sidang Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai selepas asar, 11 Juli 1945, di Gedung Tyuoo Sangi-In, Pejambon, kini kompleks Kementerian Luar Negeri. Sang ketua, Dr Radjiman Wedyodiningrat, baru saja membagi anggota menjadi tiga panitia (bunkakai), yaitu perancang hukum dasar, keuangan, dan pembelaan tanah air. Muhammad Yamin, yang semula diperkirakan masuk ke panitia hukum dasar negara, justru "dibuang" ke panitia keuangan.

Sukarno, ketua panitia hukum dasar, mendadak sontak memprotes. "Mohon hormat supaya Tuan Yamin diberikan kepada kami. Sebab, kami anggap beliau salah satu ahli hukum yang pikirannya perlu kami pakai," kata Sukarno. Seorang anggota, Abikusno, meminta Yamin masuk ke panitia pembelaan. Radjiman teguh pendirian.

Yamin berang dan menolak bergabung dengan panitia keuangan. Alasannya, "Karena kurang pengetahuan apa-apa, jadi saya tak ada sumbangan buat panitia." Radjiman berkukuh. Keputusan tak bisa diubah lagi. "Sudah selesai," ujar Radjiman. Yamin menyergah, "Saya tidak terima!"

Sejarawan Ananda B. Kusuma menduga Radjiman mangkel. Dia bertahan pada keputusannya karena Yamin terlampau eksentrik. "Yamin itu pintar, tapi banyak omong dan sering menambah-nambah," kata Kusuma saat berdiskusi pertengahan Juli lalu.

Masalah Yamin rupanya tak selesai. Dalam rapat panitai hukum dasar, Sukarno menyampaikan penyesalan tak mampu menarik Yamin. Dia lalu meminta persetujuan agar Yamin tetap bisa bergabung. Ide ini disepakati oleh panitia perancang hukum dasar. Mereka pun menugasi Latuharhary membuat surat ke perwakilan Jepang. Tapi permintaan ini pun tetap ditolak.

Kejadian itu juga mungkin yang menyebabkankan Yamin tidak berdiri ketika ketua sidang besar Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Radjiman pada 16 Juli 1945 meminta peserta sidang untuk menyetujui rancangan Undang-Undang Dasar. Mengamati respons hadirin, Radjiman berkata, "Sekalian anggota, kecuali Tuan Yamin berdiri. Dengan suara terbanyak diterima Undang-Undang Dasar ini."

Meski masuk panitia keuangan pimpinan Mohammad Hatta, Yamin membandel. Risalah Sidang BPUPKI menunjukkan Yamin tetap berperan dalam berbagai diskusi dasar negara. Penulis buku Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, Restu Gunawan, heran mengapa Yamin bisa memberi banyak gagasan tentang sistem pemerintahan dan bentuk negara. "Apa pindah sendiri, ini menjadi pertanyaan saya," ucap Restu.

Dokuritsu Junbi Cosakai (dituliskan Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai) atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk pada 29 April 1945. Badan ini berdiri sebagai janji penguasa militer Jepang dengan tujuan mempelajari kemerdekaan Indonesia. Tyoosakai memiliki 62 anggota, termasuk pimpinan ditambah enam anggota tambahan. Pada era pendudukan Jepang, hampir semua tokoh republik mesti bekerja sama dengan Jepang. Yamin, misalnya, seperti diceritakan dalam buku biografi karya Sutrisno Kutoyo, sehari-hari menjadi pegawai tinggi pada Sendenbu, yaitu Djawatan Penerangan dan Propaganda Pemerintah Jepang.

Untuk menarik hati tokoh republik, Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat atau Putera pada 1 Maret 1943. Di organisasi ini, Yamin duduk sebagai anggota Dewan Penasihat. Dia kerap memberikan ceramah mengenai upaya kemerdekaan untuk pemuda. Namun pendiri republik justru menggunakan Putera untuk menyongsong kemerdekaan.

Jepang sadar gagasan dilencengkan sehingga memilih membubarkan Putera. Mereka kemudian membentuk Jawa Hokokai atau Himpunan Kebaktian Jawa. Agar tak ditelikung tokoh republik, Jepang memilih orang-orangnya sebagai pimpinan organisasi. Tapi dinamika politik berubah terlalu cepat. Pada 7 Juli 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo datang ke Jakarta. Dia menjanjikan peran tokoh Indonesia di pemerintahan.

Pada September 1943, Yamin diserahi jabatan sanyo atau penasihat di Sendenbu. Itu berarti Yamin menjadi salah satu dari tujuh pejabat tertinggi berkebangsaan Indonesia di zaman Jepang. Pada 1944, Jepang makin terdesak. Untuk merebut simpati Indonesia, pemimpin Jepang memberi janji kemerdekaan. Karena itulah akhirnya Jepang membentuk BPUPKI. Awalnya badan ini hanya dimaksudkan sebagai badan riset gagasan Indonesia merdeka. Tapi BPUPKI justru berhasil merancang sebuah hukum dasar republik.

Anggota BPUPKI dilantik pada 25 Mei 1945. Yamin duduk sebagai anggota nomor urut 2 setelah Sukarno. Dalam sidang lembaga inilah sikap Yamin menuai kontroversi. Pada sidang pertama, 29 Mei 1945, Yamin menguraikan gagasannya tentang dasar negara. Pimpinan sidang menganggap apa yang disampaikan Yamin bukanlah dasar negara, melainkan tentang terbentuknya Indonesia merdeka. Dalam pidatonya, ia juga menyebut melampirkan rancangan undang-undang dasar, yang ternyata tidak tercatat dalam notulen rapat.

Mohammad Hatta jengkel terhadap sikap Yamin. Ketika terjadi perdebatan panas antara kelompok Islam dan nasionalis mengenai dasar negara, Hatta mengatakan, "Yamin hanya mondar-mandir." Ada lagi pangkal kekesalan Hatta. Dalam sidang pertama, sebenarnya ada 30 orang yang berpidato. Namun Yamin hanya memasukkan tiga nama dalam bukunya. Karena itulah Hatta menyebut koleganya tersebut memalsukan sejarah. "Dia menghilangkan banyak orang yang ngomong dalam sidang," kata Restu.

Meskipun menyisakan kontroversi, sumbangan Yamin terhadap masuknya gagasan hak asasi manusia ke konstitusi tak bisa dipandang sebelah mata. Dalam sidang BPUPKI pada 11 Juli 1945, misalnya, Yamin mengusulkan agar rancangan konstitusi perlu memasukkan declaration of human rights and independence.

Rujukannya adalah naskah konstitusi Amerika Serikat. Yamin mengingatkan konstitusi yang sedang mereka susun adalah konstitusi yang penduduknya mendekati 100 juta jiwa. "Negara yang kita susun bukan negara kecil, melainkan negara sehebat-hebatnya," ujar Yamin.

Dalam soal pemerintahan, Yamin memimpikan negara yang dipimpin kepala negara yang bertanggung jawab kepada majelis musyawarah. Majelis ini, kata dia, menjadi majelis permusyawaratan dan pemegang kekuasaan setinggi-tingginya bagi republik. Yamin menegaskan, majelis ini dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat berdasarkan suara terbanyak.

Peran Yamin yang lain adalah memasukkan luas wilayah Indonesia. Dalam konteks ini, gagasan Yamin senapas dengan Sukarno. Yamin dan Sukarno mengajukan ide bahwa rumpun Bangsa Indonesia, di samping bekas jajahan Belanda, juga Semenanjung Melayu, Kalimantan bekas jajahan Inggris, Timor bekas jajahan Portugis, dan Papua.

Gagasan ini ditentang Hatta. Menurut dia, wilayah Indonesia adalah jajahan Hindia Belanda tidak termasuk Papua, Pulau Timor, dan Semenanjung Malaka. Namun, Hatta menggarisbawahi, Papua bergabung jika dikehendaki oleh rakyatnya. Dia lebih suka jika Malaka menjadi negara merdeka sendiri. "Tetapi, kalau sekiranya rakyat Malaka ingin bersatu dengan kita, saya tak melarang," ucap Hatta.

Sejarawan Taufik Abdullah menilai Sukarno dan Yamin punya kesamaan dalam memandang kegemilangan masa lalu. "Saya menyambungkan keduanya sebagai romantic historian," kata Taufik. Toh, gagasan Indonesia ala Yamin dan Sukarno ini tak diterima oleh BPUPK. Sang ketua, Dr Radjiman, memutuskan wilayah Indonesia hanyalah bekas jajahan Hindia Belanda, Indonesia hari ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus