Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Sang Pemecah Belah Abadi

Kenyang sebagai politikus "jalanan", Muhammad Yamin akhirnya memilih taktik politik kooperatif. Di Volksraad, dia kerap berbenturan dengan kawan seperjuangan.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik nonkooperatif, alias menolak kerja sama dengan pemerintah Belanda, sejatinya merupakan jalan panjang yang telah ditempuh Muhammad Yamin. Karena itu, ketika Yamin menyatakan bosan menjadi "politikus jalanan" pada 1937, dua karibnya, Chaerul Saleh dan Djamaloeddin Adinegoro, sempat terheran-heran.

Kawan-kawan pergerakan yang kurang dekat dengan Yamin juga tak sedikit yang mengkritik rencana Yamin masuk Volksraad alias Dewan Rakyat. Mereka menganggap perubahan pilihan sikap Yamin tak hanya terlalu cepat, tapi juga mencurigakan.

Kecurigaan teman-teman seperjuangan Yamin tak berlebihan. Volksraad adalah semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda. Dewan itu dibentuk pada 16 Desember 1916 oleh pemerintah Hindia Belanda. Pembentukan Dewan diprakarsai Gubernur Jenderal J.P. van Limburg Stirum bersama Menteri Urusan Koloni Belanda Thomas Bastiaan Pleyte.

Semula Volksraad hanya memiliki kewenangan sebagai penasihat. Baru pada 1927, Volksraad memiliki kewenangan ko-legislatif bersama gubernur jenderal yang ditunjuk Belanda. Itu pun, karena gubernur jenderal memiliki hak veto, kewenangan Volksraad tetap terbatas. Wajar bila banyak tokoh pergerakan sangsi perjuangan melalui Volksraad bakal membawa perubahan.

Beberapa bulan sebelum menyatakan ingin masuk Volksraad, Yamin masih menolak keras petisi sejumlah anggota Volksraad yang menuntut otonomi khusus untuk Indonesia. Dimotori Sutardjo Kartohadikusumo, tuntutan itu dikenal sebagai Petisi Sutardjo. Pendukung petisi pada 15 Juli 1936 itu antara lain Kasimo, Dt. Tumenggung, Ratulangie, Ko Kwat Tiong, dan Soeroso.

Petisi itu meminta diselenggarakan suatu konferensi untuk mengatur otonomi Indonesia di dalam wadah uni Indonesia-Belanda selama kurun sepuluh tahun. Bentuk otonomi yang sama diberikan Amerika Serikat kepada Filipina pada 1933. Lewat pemberian otonomi itu, pemerintahan persemakmuran Filipina akhirnya terbentuk pada 1935.

Sebenarnya yang diusulkan dalam Petisi Sutardjo sudah diatur dalam aturan Belanda. Hanya, dalam prakteknya, orang Indonesia tak ditempatkan pada posisi pertama dalam setiap kesempatan. Karena itu, Sutardjo dan kawan-kawan melihat perlunya tekanan kepada Kerajaan Belanda untuk melaksanakan aturan tersebut.

Yamin menentang secara terbuka Petisi Sutardjo dalam tulisannya di surat kabar Kebangoenan, 11 Agustus 1936. Menurut Yamin, pembicaraan di Volksraad sering mengecewakan karena kerap keluar dari cita-cita rakyat Indonesia. Katanya, "Sering udara yang dikeluarkan Dewan Rakyat sudah basi dan dingin."

Menurut Yamin, yang harus dituntut orang pribumi bukan otonomi khusus atau dominion status. Alasannya, status khusus itu masih dalam kungkungan hubungan tanah jajahan dengan ibu negeri, seperti yang terjadi di Inggris. Padahal dominion status tak ada dalam hukum dasar Belanda dan tak menjadi cita-cita rakyat Indonesia. "Untuk itu janganlah minta barang yang sudah ada dan barang yang tidak ada perlunya." Yamin menambahkan, "Dalam berpolitik, kita harus awas dengan taktik tawar-menawar. Kalau sudah ada dominion status, maka mintalah status yang lebih tinggi lagi."

Gara-gara tulisan Yamin yang mendapat banyak dukungan di luar Volksraad, suara Fraksi Nasional (orang pribumi) di Volksraad pun pecah. Setelah melalui perdebatan selama dua termin, Petisi Sutardjo diputuskan lewat pemungutan suara pada 28 September 1936. Hasilnya, 26 suara menerima lawan 20 suara menolak. Anggota Fraksi National yang menerima petisi antara lain Oetomo Oetoyo, Soangkoepon, Iskandar Dinata, Jahja, dan Abdul Rasjid. Sedangkan yang menolak antara lain Tadjuddin Noor dan Wiwoho.

Tak mendapat dukungan total di Volksraad, pada 16 November 1938, Petisi Sutardjo akhirnya ditolak pemerintah Kerajaan Belanda.

Restu Gunawan, penulis buku biografi Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, mengungkapkan, selama menjadi anggota Volksraad, Yamin dijuluki sebagai "pemecah belah abadi". Dia dipandang sebagai biang keladi perpecahan dalam Fraksi Nasional yang didirikan Muhammad Husni Thamrin. Setahun masuk Volksraad, pada masa sidang 1939, Yamin langsung mengkritik Fraksi Nasional dari dalam. Menurut dia, Fraksi Nasional jangan bekerja hanya untuk Jawa. Fraksi juga harus memperhatikan kepentingan luar Jawa.

Karena usulnya tak disambut hangat Fraksi Nasional, pada 10 Juli 1939, Yamin mendirikan kelompok Golongan Nasional Indonesia (GNI). GNI bukan gabungan wakil partai. GNI merupakan wadah penampung wakil utusan daerah. Kebetulan Yamin masuk ke Volksraad bukan atas nama partai, melainkan sebagai wakil distrik Sumatera Barat.

Penulis biografi Yamin lainnya, Sutrisno Kutoyo, menyebutkan Yamin kerap dijuluki "perusak aturan permainan" oleh lawan-lawan politiknya. Julukan itu, misalnya, dilekatkan sejumlah tokoh Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Alasan mereka, karena Yamin pernah mengajukan petisi untuk membentuk suatu parlemen di luar kemauan partai-partai yang berhimpun dalam Gapi.

Perbedaan pandangan politik baru satu hal. Hal lain adalah kepribadian Yamin. Menurut Sutrisno, Yamin memiliki banyak lawan politik karena "kata-katanya yang tajam dan penanya yang runcing". Ketika berdebat, umpamanya, Yamin kerap menunjukkan sikap meremehkan pendapat orang lain. "Itu mungkin karena dia percaya sekali pada kemampuan sendiri," tulis Sutrisno.

Meski sering berseberangan dengan sesama anggota Volksraad, Yamin dalam isu-isu pokok kerap berpandangan sama dengan tokoh lain. Misalnya ketika Kerajaan Belanda bertekuk lutut di depan bala tentara Jerman pada 10 Mei 1940. Yamin dan Thamrin kontan menggugat keabsahan pemerintahan Belanda yang pusatnya kala itu dipindahkan ke London.

Kedua tokoh juga punya pandangan mirip soal pentingnya mempromosikan bahasa Indonesia. Yamin dan Thamrin mengusulkan agar dalam setiap sidang Volksraad digunakan bahasa pemersatu itu. Walhasil, cara pandang pada cabang kasus boleh saja berbeda. Tapi, ketika sampai pada pokok perkara, yakni Indonesia merdeka, "Mereka selalu satu kata," ujar Restu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus