Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Monokromatis Lempad: Dari Sutasoma Sampai Persanggamaan Kekayi

PAMERAN karya-karya I Gusti Nyoman Lempad (almarhum) disajikan di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Meski hanya sedikit karya yang disuguhkan, pameran ini menjadi istimewa karena mencoba menampilkan gambar-gambar Lempad dalam bentuk animasi dan video mapping. Menggunakan teknik animasi, beberapa karya Lempad disajikan dengan membuat organ tubuh, seperti tangan, bisa bergerak. Khazanah gambar Lempad luas, dari dunia mitologi, folklor, kakawin, sampai kehidupan sehari-hari rakyat jelata Bali. Lempad pun selalu memiliki penafsiran yang unik. Misalnya dalam caranya menghadirkan kisah Men Brayut, ibu miskin yang memiliki 18 anak. Caranya menyuguhkan kisah Mahabharata dan Ramayana atau kakawin seperti Sutasoma juga sangat berbeda dengan perupa-perupa Bali pendahulunya. Ia bahkan rileks menggambar hal-hal yang cenderung erotis. Ketelanjangan bukan suatu hal yang tabu dalam gambarnya. Lempad melukis di kertas putih tanpa campur tangan banyak warna. Monokromatis dengan garis tegas menjadi ciri khasnya.

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Monokromatis Lempad: Dari Sutasoma Sampai Persanggamaan Kekayi/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH video mapping yang menawan. Tangan I Gusti Nyoman Lempad seolah-olah hadir secara gaib dan menggoreskan gambar pada dinding ruang pamer di Galeri Salihara, Jakarta, pertengahan Juni lalu. Goresan itu mengalir di dinding, membentuk gambar meja berisi sesajen yang menjadi bagian dari ritual sembah-yang warga Hindu Bali.

Gambar meja sesajen di dinding hitam kemudian bersalin rupa. “Tangan tak terlihat” itu kini membentuk ilustrasi keseharian Men Brayut bersama anak-anaknya. Men Brayut adalah sosok ibu 18 anak dalam cerita klasik masyarakat Bali. Dia digambarkan bertelanjang dada, menyusui dua bayinya. Dalam lukisan ini, Men Brayut tampak kelimpungan, walau wajahnya tetap riang. Karena direcoki bocah-bocahnya, ia sampai mengabaikan tenunan dan pekerjaan rumah tangganya yang lain.

Seri lukisan pasangan Pan dan Men Brayut digambar I Gusti Nyoman- Lempad pada 1930-an. Ketika itu, usia Lempad sudah lebih dari 70 tahun. Pan dan Men Brayut adalah cerita mengenai keluarga miskin di Bali yang memiliki banyak anak. Kisah rakyat jelata yang populer ini diduga para ahli turun dari kisah Buddhis mengenai Hariti, yaksa atau raksasi yang memiliki banyak anak dan suka melahap tubuh anak-anaknya sendiri sebelum mendapat pencerahan agama Buddha. Setelah memeluk Buddha, Hariti berbalik menjadi pelindung dan penyayang anak. Arca-arca Hariti dalam masyarakat Bali kuno diduga dibuat untuk mengusir pengaruh jahat yang menyerang anak-anak.

Lempad berulang kali menggambar kehidupan Men Brayut. Semuanya seputar keseharian Pan dan Men Brayut, dari Men Brayut makan bersama keluarga, bertengkar dengan suaminya, memberikan persembahan sesajen, sampai adegan dikerubuti anak-anaknya yang berebut menyusu. Lempad menggambar seri Brayut setelah pelukis Walter Spies menyarankan dia menggambar dengan tema keseharian selain tema dunia mitologi.   

Salah satu gambar Lempad dari seri Men Brayut dipamerkan dalam pameran “Lempad: The Darkness is White” di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Pameran yang  digelar Yayasan- Bali Purnati dan Komunitas Salihara pada 19 Juni-7 Juli 2019 ini menarik karena, selain menyuguhkan gambar-gambar asli Lempad (meski hanya sebelas karya), menampilkan  gambar Lempad yang diperbesar dalam bentuk -video mapping-. Dalam video itu bahkan ada gambar karya Lempad yang dibuat dalam bentuk animasi sehingga bisa bergerak-gerak. Misalnya gambar berjudul Dance- Lesson (kini dikoleksi Agung Rai di Museum Arma, Bali). Bahu dan tangan seorang penari perempuan di gambar itu bisa naik-turun seolah-olah sungguh menari. Demikian lentik gerakannya. Tampak penguasaan anatomi Lempad akurat. Gambar tersebut seakan-akan hidup.

Selain itu, ditayangkan video dokumenter mengenai kehidupan Lempad karya John Darling. Kita bisa melihat warisan karya Lempad selain gambar, seperti arca batu, patung, relief, dan karya arsitekturnya: gapura atau pura. Yang paling mengesankan adalah dokumentasi Lempad menjelang wafatnya. Kuku-kuku tangannya sangat panjang—mirip kuku makhluk mitologis Rangda. Video itu juga memperlihatkan saat-saat Lempad meninggal. Ketika tutup usia, Lempad diperkirakan berumur 116 tahun. Video menampilkan jenazah Lempad tengah menjalani ritual oleh para pendanda dan keluarganya. 

Monokromatis Lempad: Dari Sutasoma Sampai Persanggamaan Kekayi/Tempo

Untuk memperkuat suasana, tepat di tengah ruang pamer Salihara disuguhkan meja berisi sesajen yang bentuknya mirip dengan yang ada dalam gambar karya Lempad. Dari meja itu aroma dupa menyeruak, dibarengi suara instrumental gamelan Bali, Semar Pegulingan, yang dulu biasa dimainkan saat petang, ketika raja hendak beristirahat di peraduan. Sesajen dan instrumen gamelan menjadi bagian dari upaya menghidupkan karya Lempad lewat tiga indra: penglihatan, pendengaran, dan penciuman.

Tema gambar-gambar Lempad kita ketahui sangat luas. Lempad berkelana dari tema mitologi—Ramayana; Mahabharata; kakawin (puisi klasik)  seperti Sutasoma dan Arjuna Wiwaha; kisah petualangan Panji; folklor Bali seperti Rare Angon; cerita fabel (dunia binatang) dalam siklus Tantri; cerita filsafat klasik tentang Syiwa, Brahma, dan Wisnu; kisah tentang neraka dalam perspektif Hindu-Buddha; cerita Buddhis seperti Bubuksah dan Gagakaking—sampai tema sehari-hari masyarakat Bali seperti ade-gan silat, pertarungan, tarian, trance saat pangurekan (menikamkan keris pada dada dalam tari barong), serta dukun beranak yang membantu persalinan. Hanya sebagian kecil karya Lempad yang dipamerkan di Salihara. Kebanyakan karya yang dipamerkan di Salihara adalah milik kolektor Daniel Yusuf.

Gambar-gambar lain Lempad tersebar di banyak kolektor dan museum, seperti Museum Seni Neka di Ubud; Pusat Seni Denpasar; Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda; Rijkmuseum di Leiden, Belanda; dan Museum für Volkskunde di Basel, Swiss. Seperti halnya gambar Men Brayut, lukisan Lempad lain kebanyakan monokromatis. Ia biasa melukis dengan tarikan garis hitam yang seperti mengalir tanpa putus. “Hakikat dari kreativitas seorang Lempad tidak terletak pada tema lukis, tapi pada tarikan garisnya yang otonom,” kata antropolog asal Prancis, Jean Couteau. Coretan itu disebut Couteau garis memori karena seperti menorehkan ingatan yang penuh, tanpa putus.

Monokromatis Lempad: Dari Sutasoma Sampai Persanggamaan Kekayi/Tempo

Bersama dua pengamat seni lain, Antonio Casanovas dan Ana Gaspar, Couteau menulis buku Lempad: A Timeless Balinese Master. Menurut Couteau, gambar Lempad tampak luwes karena Lempad terbiasa membuat rajah yang menjadi bagian dari tugasnya sebagai undagi di puri. “Lempad memang buta huruf, tapi dia jenius.”

Di buku itu, misalnya, dilampirkan contoh-contoh gambar Lempad tentang Arjuna Wiwaha dan Sutasoma. Kedua kisah itu digemari Lempad. Sutasoma adalah cerita karya Mpu Tantular pada abad ke-14 mengenai Pangeran Sutasoma—titisan Buddha yang mengembara mencari kebijaksanaan. Dalam perjalanannya menuju Gunung Semeru, ia bertemu dengan Purusada, raja lalim yang suka memangsa orang. Sutasoma lalu berperang melawan Purusada.

Lempad diketahui juga membuat relief panjang tentang Sutasoma (tingginya 4,5 meter dengan panjang 11 meter) di area Pura Samuan Tiga di Bedulu, kampung kelahirannya. Couteau menjelaskan, belum ada perupa Bali sebelumnya yang melukis cerita wayang, seperti Mahabharata dan Ramayana, dengan cara Lempad. Lempad tidak memaksakan diri memenuhi kanvas dengan gambar dan corak. Sedangkan kebanyakan pelukis kawakan sebelum era Lempad tak membiarkan ada ruang kosong di media lukisnya. “Dia pembaru yang membaca Barat dengan memori dan mata Bali-nya,” ujar Couteau.

Yang dilakukan Lempad itu keluar dari tatanan estetika seni lukis klasik kamasan Bali. Gaya melukis kamasan, selain bidangnya yang cenderung penuh, memiliki “konvensi” dalam sejumlah hal. Misalnya warna, pakaian obyek yang digambar, bentuk tubuh, bahkan aksesorinya. Sementara proporsi tubuh orang dewasa biasa digambar tujuh setengah kali panjang kepalanya, Lempad melanggar aturan itu. Ia membuat ukuran tubuh obyek yang lebih panjang. Begitu pula soal narasinya. Meski sama-sama menceritakan Ramayana atau Mahabharata, Lempad mencari subyek penciptaan cerita baru.

Menurut Daniel Yusuf, yang koleksinya dipajang dalam pameran ini, Lempad seperti mampu memotret banyak hal dengan indranya. Itulah sebabnya, walau buta aksara, Lempad bisa membuat garis lukisan yang tak hanya elok, tapi juga khas. “Dia punya ingatan fotografis kuat, yang mengilhaminya membuat garis-garis tegas,” tutur pengusaha asal Malang, Jawa Timur, tersebut. Daniel mulai mengenal karya Lempad saat remaja. Secara bertahap ia lalu mengumpulkan dan mempelajari karya-karya Lempad. “Sayangnya, sebagian karya Lempad yang ada di kolektor lain dalam kondisi tak terurus. Ada yang sudah bergelombang, bahkan ada yang bolong.”

Monokromatis Lempad: Dari Sutasoma Sampai Persanggamaan Kekayi/Tempo

I Gusti Nyoman Lempad diperkirakan lahir pada 1862 di Desa Bedulu, Blahbatuh, tepatnya di Banjar Lebah. Bapaknya, I Gusti Ketut Sedahan, orang yang terpandang. Sedahan adalah sedan, pengutip pajak saat masa panen. Ia merangkap sebagai undagi atau arsitek sekaligus sangging, pembuat topeng dan arca. Karena suatu hal, keluarga Lempad mesti hijrah dari Sukawati ke Ubud. Di sana mereka ditampung dan mengabdi kepada raja di Puri Ubud.

Dosen seni rupa Institut Seni Indonesia Denpasar, I Wayan Adnyana, menyebutkan di puri itulah Lempad menyerap banyak ilmu. Sehari-hari Lempad tak hanya menikmati tembang-tembang yang dilantunkan di pura. Ia juga mendengarkan dan memahami wiracarita atau epos pewayangan seperti Ramayana dan Mahabharata, yang kemudian mengilhami karya-karyanya. Adapun di rumah, sang bapak pun melimpahinya dengan cerita-cerita luhur.

Di pura pula Lempad mempelajari goresan huruf modre. Aksara tersebut digunakan untuk menulis hal-hal magis, seperti japamantra. “Semua itu menjadi modal budaya yang menjadi habitus Lempad,” ucap Wayan Adnyana, yang biasa disapa Kun. Namun, semasa muda, Lempad belum melukis secara profesional. “Ia dulu melukis untuk keperluan upacara adat,” Kun mengimbuhkan.

Sebelum melukis, Lempad menggeluti dunia arsitektur. Seperti bapaknya, Lempad juga seorang undagi. Pada 1927, Lempad tercatat merancang rumah Walter Spies, seniman Jerman yang lahir di Moskow, Rusia. Spies, yang disebut-sebut sebagai sosok yang mempengaruhi seni lukis Bali dan Jawa, adalah kawan dekat Lempad.

Baru pada usia 60-an tahun Lempad mulai berfokus di seni lukis. Dia mengeksplorasi gaya melukis yang tak biasa di Bali. “Dia pembaru pada generasi 1920-an,” ujar Kun. Yang dilakukan Lempad keluar dari pakem visual perupa Bali sebelumnya. Kun menjelaskan, gaya Ubud atau Bali pada umumnya cenderung tak membiarkan ada ruang kosong dalam medium lukis. Sebaliknya, Lempad mengizinkan celah bebas warna dan bentuk dalam komposisi karyanya.

Untuk melukis, Lempad menggunakan kertas ulantaga, yang diimpor dari Tiongkok. Kertas itu dibuat dari bahan sejenis bambu yang hanya ada di negara tersebut. Adapun untuk alat lukisnya Lempad membuat pena dari tulang pada serabut enau. Tulang itu punya struktur yang lebih kuat daripada lidi dan tajam bila diasah. Biasanya, kata Kun, Lempad membuat sketsa di kertas menggunakan pensil sebelum menggambar dengan tinta. “Tapi sketsanya pun sudah tegas dan mengalir.”

Kemampuan Lempad sebagai sangging dan undagi mempengaruhi isi kertas lukisnya. Sebagai arsitek, ia sangat peduli pada urusan komposisi. Ia juga membubuhkan ornamen cantik seperti rerumputan dalam lukisannya. Adapun pengalaman sebagai sangging menggiring Lempad menggambar karakter dengan cara berbeda.

Ketidaklaziman Lempad terbaca dari narasi pewayangan dalam lukisan-lukisannya. Di tangan Lempad, para tokoh wayang menjadi lebih manusiawi. Lempad juga menyetarakan kedudukan perempuan jelata dan dewi-dewi. Dalam lukisannya, ia menggambar tokoh wayang perempuan bertelanjang dada, hal yang tak pernah dilakukan perupa pendahulunya. Sebelum Lempad membuat gebrakan tersebut, para dewi selalu dilukis dengan busana lengkap dan anggun, atau paling tidak dalam lilitan kemben. Adapun sosok perempuan yang bertelanjang dada hanya muncul dalam lukisan tentang masyarakat biasa (penyeroan).

Lihatlah, misalnya, gambar Lempad yang berjudul Janji Sasarata kepada Kekayi yang dimuat dalam buku tentang Lempad karangan Ana Gaspar, Antonio Casanovas, dan Jean Couteau. Gambar itu menampilkan adegan sanggama Sasarata (Dasarata), Raja Kosala yang memiliki pusat pemerintahan di Ayodha, dengan Kekayi. Dalam wiracarita Ramayana, Kekayi adalah istri ketiga Dasarata. Istri pertama dan keduanya adalah Kosalya (ibu Rama) dan Sumitra (ibu Lesmana).  Saat dipinang Dasarata, Kekayi memberikan syarat bahwa anak yang dilahirkannya harus menjadi raja.

Kemudian lahir dari Kekayi seorang anak laki-laki bernama Bharata. Tatkala Bharata dewasa, Kekayi meminta Dasarata memenuhi janjinya. Itulah awal penyebab Rama, yang layak menjadi raja, diasingkan ke hutan selama 14 tahun. Sinta dan Lesmana mengikuti pembuangan Rama. Adegan persetubuhan Dasarata dengan Kekayi digambarkan Lempad terjadi di sebuah singgasana. Keduanya tanpa sehelai benang pun. Punggung Kekayi menyandar pada ujung mahligai dan Dasarata dengan masih mengenakan mahkota memeluk, mencium, dan menindihnya.

Ketelanjangan tidak menjadi persoalan bagi Lempad.  Goenawan Mohamad menyebutkan erotika dalam lukisan-lukisan Lempad dipengaruhi sekitarnya. Pada masa itu, perempuan Bali memang biasa bertelanjang dada. Beberapa lukisan Lempad bahkan menggambarkan adegan persetubuhan lelaki dengan perempuan. Sebagian lain pun gamblang melukiskan alat kelamin. Menurut Goenawan, erotika yang dipertontonkan Lempad tidak bertujuan menghadirkan pornografi. “Dalam adegan (lukisan) sanggama, yang mengemuka adalah suasananya, bukan tubuh,” katanya.

Begitu pun dalam lukisan Dewa Syiwa yang sedang bersama istrinya menemui putra mereka, Batara Kala. Goenawan menilai ruang lukis Lempad menempatkan tubuh sebagai instrumen Syiwa untuk menguji kesetiaan sang istri. Sedangkan lukisan Lempad lain mengilustrasikan persanggamaan tak ubahnya adegan seksual yang brutal. Sebab, alat kelamin dalam lukisan itu diaksentuasi dengan warna merah yang mencolok. “Tapi ornamen-ornamen dalam lukisan itu membuat adegannya menjadi lucu,” ujar Goenawan.

Dalam sebuah gambarnya pada 1930-an yang dimuat di buku Lempad of Bali: The Illuminating Line karya Bruce W. Carpenter, John Darling, Adrian Vickers, Kaja McGowan, dan Soemantri Widagdo  bahkan kita saksikan Lempad menggambarkan adegan homoseksual. Seorang pria dewasa diperlihatkan tengah memenetrasi laki-laki muda dari belakang .Tangan kiri pria itu menahan leher si bocah yang tampak menggeliat kesakitan. Ujung penis bocah tersebut Lempad beri warna merah.

Satu waktu, misalnya, Lempad juga melukis adegan salah seorang anggota Pandawa tengah berganti pakaian. Tafsir Lempad ini, menurut Kun Adnyana, membuat tokoh-tokoh epos menjadi lebih realistis. Ia mampu menggali narasi yang ada dan mengelaborasinya dengan imaji visualnya. “Lempad melakukan perombakan secara progresif dengan memunculkan adegan-adegan yang tak pernah ada dalam cerita. Sementara itu, selama ini narasi cenderung mengenalkan kesatria Pandawa di medan tempur,” ucap Kun.

Visi baru Lempad juga tertuang dalam karya-karyanya yang menggambarkan keseharian warga Bali, seperti lukisan Men Brayut. Menurut Kun, Lempad tergerak melukis hal selain wiracarita tidak hanya karena ada pengaruh Walter Spies, tapi juga lantaran di Bedulu terdapat situs purbakala Yeh Pulu. Situs yang baru ditemukan pada 1925 ini memiliki relief-relief yang menuturkan kisah keseharian masyarakat. Misalnya relief tentang perempuan yang berjalan menuju sebuah rumah, juga lelaki yang membawa cangkul dan menunggang kuda. Kun menyebutkan, begitu Yeh Pulu ditemukan, Lempad kerap datang dan berlama-lama memandangi reliefnya. Kun menduga Lempad mempelajari struktur visual dan narasi yang ada di situ.

Perlawanan juga dilakukan Lempad untuk urusan warna lukisan. Dia bukan colorist yang bertumpu pada kemeriahan warna. Alih-alih mengurusi corak, Lempad lebih menaruh perhatian pada unsur kebaruan dalam menafsirkan cerita. Sebab, warna kadang hanya memberikan sensasi visual yang menyesakkan ruang cerna. “Pilihannya untuk tidak berfokus pada kekuatan warna membuat orang lain harus melihat karyanya lebih detail untuk membaca kemungkinan adanya lapisan narasi,” tutur Kun.

Monokromatis Lempad: Dari Sutasoma Sampai Persanggamaan Kekayi/Tempo

REVOLUSI Lempad dipengaruhi sikap penerimaan dan interaksinya dengan beragam seniman. Ia berkawan dengan Walter Spies, yang tinggal di Campuhan, Ubud. Lempad bertemu dengan Spies saat berumur 40 tahun. Ketika itu, Spies terkejut mendapati Lempad melukis kisah Rajapala, yang bertutur tentang tujuh bidadari yang turun ke bumi untuk mandi. Lukisan perdana Lempad itu kini dipajang di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda.

Lempad juga bertukar pikiran dengan Rudolf Bonnet, seniman asal Amsterdam, yang juga berumah di Ubud. Bersama Tjokorda Gde Agung Sukawati, mereka kemudian menginisiasi perkumpulan seniman Pita Maha pada 1936. Tujuan awalnya adalah menjaga standar mutu karya seniman. Organisasi pimpinan Spies ini sekaligus berfungsi sebagai alat tukar budaya dan pembuka peluang. Selain mengenalkan gaya lukisan Barat kepada seniman-seniman muda Bali, Pita Maha mempromosikan karya para perupa lokal ke dunia melalui pameran baik di dalam maupun di luar negeri. Gerakan Pita Maha ini memantik aksi serupa di daerah lain di Bali.

Kun mengatakan, dalam perkembangannya, Pita Maha tak lepas dari kritik. “Ada yang menyebut Pita Maha seperti menggelar pameran kerajinan, sampai akhirnya si pengkritik didatangi (seniman Pita Maha) untuk diberi penjelasan,” ujarnya. Pita Maha juga membuat ikatan Spies dan Bonnet dengan Bali menjadi lebih kuat. “Seperti halnya para seniman Bali pada masa itu yang takut kehilangan mereka.”

Monokromatis Lempad: Dari Sutasoma Sampai Persanggamaan Kekayi/Tempo

Karya-karya Lempad dan pintu industri seni rupa Pita Maha seperti mengilhami berbagai seniman muda Bali dalam berkarya. Di antaranya Gusti Ketut Sudara, yang tak lain cucu kandung Lempad. Saking miripnya lukisannya dengan karya sang kakek, Sudara bahkan dituding menjiplak mentah-mentah visual kreasi Lempad. Selain dia, ada I Nyoman Gunarsa, yang juga mengandalkan kekuatan garis. “Lempadisme” ini dianggap Kun meneguhkan Lempad sebagai sosok seniman yang komplet.

Hingga akhir hayatnya, tak jelas berapa lukisan yang lahir dari tangan dan pemikiran Lempad. Jumlahnya diduga ratusan, tanpa menghitung gambar reproduksi dari lukisan asli sang maestro. Kun mengungkapkan, di rumah Lempad ada sebuah album yang berisi prototipe karya-karyanya. Dulu, bila ada tamu datang dan memesan lukisan, Lempad biasa membuat jiplakannya dari album menggunakan kertas kalkir. “Lempad membuat salinan sendiri, itu saat vitalitasnya mulai menurun karena bertambahnya umur,” tuturnya.

Isma Savitri, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus