Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mana Museum ‘daripada’ Soeharto

Keluarga Soeharto punya dua museum yang didirikan dengan uang rakyat. Litografi Picasso dan lukisan terbaik Nh. Dini ada di dalamnya. Sejak reformasi 1998, museum ini tutup. Semestinya dihibahkan kepada rakyat sebagai warisan nonpolitik.

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mana Museum ‘daripada’ Soeharto/Agus Dermawan T

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA April 1997, keluarga Presiden Soeharto (Pak Harto) membuka museum Graha Lukisan di wilayah se--ki-tar Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Dinamakan Graha Lukisan lan-taran yang dipajang di situ sembilan puluh persen adalah lukisan, selebihnya seni grafis. Semuanya koleksi keluarga Pak Harto.

Letak Graha Lukisan, yang memiliki luas ruang pamer 6.580 meter persegi, berde-katan dengan Museum Purna Bhakti Per-tiwi, yang tiga kali lebih besar dan di-resmikan pada 1993. Purna Bhakti Pertiwi memajang cendera mata koleksi Pak Harto semasa menjabat presiden. Panorama ke-dua museum ini diaksentuasi oleh patung perunggu yang menggambarkan Ibu Tien Soeharto berkebaya, berdiri dan ter-senyum dengan membawa bunga.

Karena sebagian besar koleksi didapat kala Pak Harto menjadi pemimpin rakyat sejak 1967, pendirian kedua museum yang menelan biaya puluhan miliar rupiah itu tentunya dibangun atas partisipasi sege-nap lapisan masyarakat. Graha Lukisan mema-jang lukisan Affandi, Bagong Kussudiardja, But Muchtar, Antonio Blanco, Huang Fong, Wayan Asta, sampai Lucia Hartini. Lukisan Srihadi Soedarsono dalam beberapa tema juga ada di situ. Selain itu, sejumlah lukisan Basoeki Abdullah yang tidak terlampau Mooi Indie terpajang dengan anggun. Lukisan W.G. Hofker dari Belanda, Berber dari Bosnia, Li Shuji dari Cina, sampai Siew Hock Meng dari Singapura pun terpajang dengan mentereng. Yang mengejutkan, di antara jajaran lukisan, muncul seri litografi karya Pablo Picasso yang menggambarkan faset-faset Guernica.

Litografi Guernica, yang diciptakan pada 1937, mengandung cerita politik. Dan itu dimulai ketika jenderal otoriter Fran-cisco Franco melakukan percobaan ku--de-ta terhadap pemerintah demokratik Spa-nyol pada 1936. Franco mendapat bantuan militer dari Jerman dan Italia, sementara pemerintah Spanyol mendapat bantuan dari Uni Soviet. Perang pun terjadi di kota kecil Basque di kawasan Guernica. Ma-sya-rakat Guernica tahu bahwa perang itu adalah bagian dari upaya kudeta kelom-pok Franco. Ribuan orang lantas keluar dari rumah dan melakukan protes. Lalu kelompok Franco dan masyarakat pendu-kung pemerintah yang sah terlibat perang dan saling bunuh. Picasso, yang saat itu tinggal di Paris, lantas membuat aneka drawing adegan miris tersebut di kertas-nya. Masyarakat dunia tahu, pada 1938, gambar-gambar itu dikomposisikan dalam kanvas berukuran 349 x 777 sentimeter, yang kemudian dikenal sebagai lukisan Guernica. Di kemudian hari, gambar-gam-bar itu dicetak secara terbatas dalam teknik litografi.

Mana Museum ‘daripada’ Soeharto/Agus Dermawan T

Litografi sangat berharga ini merupakan persembahan Raja Spanyol Juan Carlos ke-pada Ibu Tien. Syahdan, puluhan lito-grafi ini pernah ketlingsut (salah simpan) bertahun-tahun dalam koper di rumah Pak Harto di Jalan Cendana, Jakarta, sampai kemudian ditemukan oleh Titiek (Siti Hediati Hariyadi Soeharto). Maka litografi Guernica pun menjadi ikon Graha Lukisan.

Sebagian dari ratusan lukisan itu tentu dibeli sendiri oleh keluarga “daripada” Pak Harto. Namun tidak sedikit yang me-rupakan pemberian famili, sahabat, dan handai taulan, bahkan dari orang yang sama sekali tidak ada hubungannya de-ngan keluarga Pak Harto. Karena lukisan-lukisan itu adalah pemberian, ada saja yang tidak memiliki kualifikasi mutu dan historiografi. Misalnya di satu selipan ko-leksi muncul lukisan ciptaan Tonny Cheng, hadiah dari seorang pengusaha besar Indo-nesia. Pada 1990-an, lukisan Tonny ber-ceceran di berbagai toko seni dan pigura di sisi-sisi Jakarta. Sebagai produk komersial yang diimpor dari Hong Kong, lukisan yang berukuran setengah depa itu berharga sekitar Rp 150 ribu saja.

Adapun ikon Museum Purna Bhakti Per-tiwi—setidaknya menurut saya—adalah ran-jang besar Putri Cina yang terbuat dari batu giok era Dinasti Ching. Juga lukisan kar-ya Nh. Dini yang berjudul Pemandangan. Nh. Dini tak lain adalah Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, novelis legendaris yang wafat pada 4 Desember 2018. Lukisan cat minyak berukuran 68 x 109 cm ciptaan pada 1971 tersebut mendampingi Attained Horizon karya Juvenal Sanso (persembahan Presi-den Ferdinand Marcos dari Filipina), Pe-mandangan Jembatan Kecil ciptaan Koem-poel Sujatno, dan Pasar Sapi karya Widajat.

Lukisan Pemandangan merupakan pem-berian Lon Nol kepada Pak Harto. Pre-si-den Kamboja ini menghadiahkannya saat mereka bertemu di Bali pada 1975 untuk mencari solusi perdamaian di Kam-boja, yang didera perang saudara. Lewat lukisan itu, Lon Nol menyampaikan pesan: “Segenap masyarakat Kamboja se--sungguhnya akur di tengah kelimpahan alam yang subur, bagai terlihat dalam lukisan Dini.” Lon Nol tahu bahwa Nh. Dini ada-lah seniwati Indonesia, istri diplomat Prancis, Yves Coffin, yang sedang bertugas di Kamboja. Kelak masyarakat dunia men-catat Yves Coffin dan Dini memiliki putra ber-nama Pierre-Louis Padang Coffin, pen-cipta karakter film animasi Minions yang tersohor sejak dekade kedua abad ke-21.

Sebagai kritikus yang menggemari se-kaligus mengkritik lukisan pemandang-an bercorak Mooi Indie, saya terkejut keti-ka melihat dengan cermat karya Dini. Ter-nyata lukisan itu memiliki banyak kele-bih-an dalam berbagai aspek. Apalagi ketika disadari bahwa karya itu lahir dari seorang “Sunday painter” seperti Dini, yang sastra-wan.

Mana Museum ‘daripada’ Soeharto/Agus Dermawan T

Siapa pun bisa melihat betapa sapuan-sapuan pendek dan spontan di situ sangat berhasil menciptakan impresi daun-daun pepohonan, dengan gelap-terang yang begitu terjaga. Sebuah kerja “kecil” yang sangat membutuhkan keahlian. Mata saya juga menyaksikan betapa terukur jauh-dekat obyek yang dilukis, sehingga yang hadir adalah perspektif yang tak bisa digugat. Dan betapa jelinya pelukis dalam menangkap sifat benda-benda sehingga pemandangan itu tampil dengan unsur-unsur sempurna. Sementara itu, pelukisan gumpalan mega, runcing rumput dan ilalang, genangan air, serta figur-figur yang digambarkan melenggang terkesan mun-cul dengan gampang dari tangan seorang pelukis amat berpengalaman. Belum lagi komposisi warnanya yang didominasi war-na sulit, “hijau lumut”, yang dengan kuat menyiratkan hamparan alam asli.

Lukisan Pemandangan Dini tidak kalah apabila dijajarkan dengan lukisan Abdullah Suriosubroto, Wakidi, dan Sudjono Ab-dullah. Sebuah ketinggian kualitas yang sampai sekarang terus menggoda saya untuk meyakinkan orang bahwa itu ada-lah benar-benar hasil karya tangan Dini. Indonesia sesungguhnya tidak hanya me-miliki Dini sang sastrawan bintang, tapi juga Dini sang pelukis gemilang. Lukisan ini bisa disandingkan nilainya dengan karya apik Dini yang lain, Patung dan Akar di Angkor Wat-Kamboja (1970-an), yang per-nah menjadi koleksi Wakil Presiden Adam Malik.

Dari pembicaraan ini, saya mengusulkan (baca: tagihan, tuntutan) sungguh perlu apabila Graha Lukisan, yang tutup sejak reformasi 1998, dan Museum Purna Bhakti Pertiwi, yang buka-tutup lantaran trauma politik, kembali dibuka lebar-lebar untuk umum. Agar litografi Guernica Picasso, lu--kisan Pemandangan Nh. Dini, serta seribu karya berharga lain—yang semoga masih komplet—bisa disaksikan banyak orang. Bu-kankah museum yang dibangun dari him-punan partisipasi para penghibah dan der-mawan serta upaya segenap masyara-kat itu menyimpan tujuan: agar cipta seni yang ada di dalamnya bisa disaksikan rakyat?

Saya teringat apa yang dikatakan Sam-purno, Kepala Rumah Tangga Kepresiden-an era Pak Harto, di sela persiapan Graha Lukisan pada 1997. “Dua museum ini, Purna Bhakti Pertiwi dan Graha Lukisan, adalah buah dari kerja diplomatik yang semestinya dihibahkan kepada rakyat se-bagai warisan nonpolitik.”

AGUS DERMAWAN T., PENGAMAT SENI RUPA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus