Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Garis Lempad, Garis Danarto

Pada mulanya adalah garis, dan garis setia menunggu di tengah perkembangan seni rupa yang jauh, yang melibatkan segala yang mungkin. Pameran karya I Gusti Nyoman Lempad.

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Garis Lempad, Garis Danarto/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

I GUSTI Nyoman Lempad adalah garis. Garis mengalir seolah-olah tanpa putus, membentuk yang ia inginkan: sosok tokoh dunia wayang dan legenda dalam suatu kisah. Juga, belakangan, dalam hidupnya yang lebih dari 110 tahun itu, ia menggambarkan suasana sehari-hari, yang tentu saja suasana Bali. Dan kisah itu, suasana itu, pada karya-karya terbaiknya, demikian menyedot perhatian begitu kita memandang karya gambarnya yang umumnya hitam-putih.

Karya gambar Lempad itu memukau, pada hemat saya, karena di depan kita tersaji sesuatu yang alami. Seolah-olah kita disuguhi suatu pemandangan bentang semesta beserta isinya walau gambar itu hanya seukuran folio. Imajinasi semesta terbentuk, menurut yang saya rasakan, dari bidang kertas dan garis yang utuh berpadu melahirkan kesatuan organis, suatu kesatuan yang “hidup”. Undagi dan sangging di masanya, konon, tidak sekadar menciptakan bangunan dan karya seni rupa yang terlihat, yang jasmani, tapi juga bertolak dari dan untuk sesuatu yang niskala, tak tampak.

Tak ditemukan, sejauh ini, karya-karya yang menunjukkan proses Lempad belajar menggambar. Yang bisa dipastikan, ia belajar kerja undagi dari bapaknya, I Gusti Sedahan. Guru lain dalam keundagian, yang tak bisa dipastikan sosoknya, adalah seorang brahmana di Keraton Ubud. Siapa pun sang guru, dari karya-karya gambarnya kita sepakat, Lempad memang sangat berbakat menggambar. Ia jenius, tulis Jean Couteau, pengamat seni rupa asal Prancis yang tinggal di Denpasar. Ia, bersama Ana Gaspar dan Antonio Casanovas, dua kolektor karya seni rupa dari Spanyol yang jatuh hati pada karya-karya Lempad, meneliti dan menulis buku tentang Lempad, Lempad: A Timeless Balinese Master (2014).

Melihat karya-karya gambar Lempad, yang baru diciptakannya pada usia menjelang 70 tahun, menyarankan bahwa ia memang seseorang dengan ingatan tajam. Kisah Mahabharata, Ramayana, dan beberapa legenda Bali mendarah-daging dalam dirinya hanya setelah ia melihat dan mendengarkan, antara lain, pembacaan kitab-kitab di puri dan pura, juga pertunjukan wayang kulit. Dan sudah barang tentu sosok yang hanya mengenal aksara Bali ini pun menyimpan dalam ingatan perihal hidup sehari-hari. Akan halnya bentuk figur dalam gambarnya, tak sulit dilihat bahwa bentuk wayang menjadi dasar menggambarnya. Itu tampak tidak hanya pada gambar-gambar bertema kisah dari Mahabharata dan Ramayana, tapi juga pada gambar tentang hidup sehari-hari. Memang, pada gambar yang melukiskan kegiatan sehari-hari, bentuk figur dan lain-lain mengarah ke bentuk tampak mata, realistis, tapi tetap terasa jejak bentuk wayang yang kuat antara lain pada kaki dan lengan figur yang cenderung pipih.

Garis Lempad, Garis Danarto/Tempo

Dan itu semua, seperti sudah dikatakan, bertolak dari garis-garis Lempad yang sulit ditiru. Garis yang bukan hanya soal teknis, tapi juga garis yang terasa meluncur dari hati lewat tangan, menyampaikan kisah yang hendak diceritakan. Cucunya, I Gusti Nyoman Sudara, dan pengagum Lempad, I Gusti Nyoman Darta, yang melanjutkan gaya Lempad, menurut saya, tak mencapai kesempurnaan perpaduan bidang gambar dan garis yang mengalir itu. Garis Sudara ataupun Darta terasa kaku. (Memang, saya hanya melihat reproduksi beberapa karya Sudara dan Darta dalam buku Lempad: A Timeless Balinese- Master. Tapi saya rasa itu cukup untuk membandingkannya dengan karya Lempad). Karya Darta, Brayut, umpamanya, meski garisnya mendekati garis Lempad, kesatuan antara garis dan bidang gambar tak terasa. Selain itu, komposisi keseluruhan gambar ini tak membentuk irama yang padu sebagaimana karya Lempad.

Sementara itu, jauh dari lingkungan keluarga Lempad, nun di Jakarta, seorang perupa “mendadak” melahirkan gambar yang selalu mengingatkan saya pada karya Lempad. Dalam majalah mingguan Zaman, yang terbit pada awal 1980-an, muncul ilustrasi untuk cerita wayang oleh Danarto, perupa anggota Sanggarbambu. Perupa ini sudah sering membuat ilustrasi untuk majalah anak-anak Si Kuntjung pada 1960-an (majalah ini terbit pada 1956 dan tutup pada 1990). Seingat saya, ilustrasi Danarto di Si Kuntjung realistis dengan garis yang halus, berbeda dengan ilustrasi wayangnya yang “fantastis”: lengan dan kaki yang dilebih-lebihkan panjangnya, figur perempuan yang dilebih-lebihkan payudaranya, di antaranya. Dan ini yang membawa ingatan pada Lempad, tarikan garis yang seolah-olah tak putus membentuk figur, dan latar belakang yang hampir selalu dibiarkan kosong.

Juga, dalam hal komposisi, sering ada kemiripan antara Lempad dan Danarto. Misalnya, pada gambar pernikahan Arjuna dengan Dewi Supraba karya Lempad, komposisi horizontal dengan dua figur terasa senada dengan ilustrasi Danarto berupa dua figur yang asyik-masyuk di bawah pohon. Juga mirip satu ilustrasi lain yang menggambarkan sosok pria dan wanita (hamil) duduk di singgasana ornamentik.

Yang segera perlu dicatat, sementara garis dan latar yang kosong pada gambar Lempad dan ilustrasi Danarto mirip, ada hal yang membuat kedua karya bernuansa rasa yang berbeda. Ilustrasi Danarto menggambarkan sebuah adegan dari sebuah kisah. Sedangkan gambar Lempad—dirumuskan dengan tepat oleh I Wayan “Kun” Adnyana, yang menyusun disertasi tentang Pita Maha, gerakan seni lukis Bali pada 1930-an yang melibatkan Lempad, dalam diskusi yang merupakan bagian dari acara dalam pameran karya Lempad di Komunitas Salihara, Jakarta, Rabu, 26 Juni lalu—bukan ilustrasi, melainkan tafsir atas sebuah cerita atau kisah, misalnya kisah dalam Ramayana.

Pada kenyataan gambar, ilustrasi Danarto terasa menangkap satu adegan dari sebuah cerita. Sedangkan gambar Lempad, yang sudah barang tentu menggambarkan pula sebuah adegan, berbeda dengan ilustrasi Danarto: gambar tersebut tak mengesankan sebuah momen, sebuah saat, tapi menggambarkan inti dari sebuah kisah. Dengan kalimat lain, ilustrasi Danarto menggambarkan sebuah adegan, sedangkan gambar Lempad merupakan “ringkasan” dari sebuah cerita.

Garis Lempad, Garis Danarto/Tempo

Dalam hal teknik menggambar, tampaknya Lempad dan Danarto mirip. Lempad, menurut Kun Adnyana, lebih dulu membuat semacam sketsa pendahuluan dalam garis yang tipis menggunakan pensil sebelum menegaskan garis itu dengan pena dan tinta, atau tetap memakai pensil. Pada beberapa gambar Lempad, jejak garis tipis pensil masih bisa dilihat. Danarto pun dalam membuat ilustrasi wayang lebih dulu membuat “sketsa” dengan garis tipis menggunakan pensil. Baru kemudian garis itu ditumpangi garis tinta dari pena. Danarto, menurut kesan yang saya peroleh, membuat ilustrasi dengan penuh konsentrasi hingga ia tampak kelelahan sehabis menggambar. Dan, dalam proses membuat sketsa, karet penghapus pun digunakan Danarto. Apakah Lempad menggunakan karet penghapus juga, I Gusti Nyoman Sudara, cucunya yang suka mengintip sang kakek menggambar dan kini meneruskan gaya Lempad, tentulah tahu.

Yang saya rasakan, ilustrasi Danarto lahir dengan “susah payah” hingga ia tampak kelelahan sehabis menggambar. Sedangkan gambar-gambar Lempad terkesan lahir dari kerja yang “santai”. Bisa jadi hal ini lantaran Danarto hanya “sekali-sekali” membuat ilustrasi wayang, sedangkan menggambar bagi Lempad sudah menyatu dengan hidup sehari-hari.

Terlepas dari perbedaan karya cipta gambar keduanya, dua perupa berbeda zaman ini meyakinkan kita bahwa, hanya dengan garis, kreativitas bisa digali dan dikembangkan sampai jauh. Pameran gambar Lempad adalah sebuah usul dengan bukti nyata bahwa sementara perkembangan seni rupa melibatkan hampir semua hal yang mungkin—dari menghadirkan benda nyata sampai suara dan bau, dari menggunakan teknologi mutakhir sampai melakukan kerja laboratorium layaknya sebuah penelitian keilmuan—garis sebagai dasar awal seni rupa adalah medium yang setia menunggu untuk diajak menciptakan karya rupa seiring dengan zaman bergerak.

Bambang Bujono, Penulis, Pengulas Seni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus