Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pemutihan Lahan dalam RUU Pertanahan

Hariadi Kartodihardjo, Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemutihan Lahan dalam RUU Pertanahan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rancangan Undang-Undang Pertanahan bertanggal 21-22 Juni 2019 memuat tujuan peraturan ini dibuat, yakni melengkapi dan menyempurnakan isi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Dalam dokumen naskah akademik tanggal 17 Oktober 2017, yang dimaksud melengkapi dan menyempurnakan Undang-Undang Agraria adalah menguatkan isinya karena kemunculan aturan itu dulu tidak bisa melengkapi ketentuan pokok mengenai sumber daya alam selain tanah, sampai kemudian lahir undang-undang sektoral seperti Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, dan Undang-Undang Sumber Daya Air, yang semuanya berbasis lahan.

Akibat kondisi itu, Undang-Undang Pokok Agraria tidak bisa menjadi “payung” atau platform bagi pengelolaan sumber daya alam selain tanah. Bukan hanya itu, tumbuhnya berbagai undang-undang sektoral mengakibatkan Undang-Undang Pokok Agraria terdegradasi dan menyimpang dari tujuan awalnya sebagai lex generalis bagi landasan kerja semua sektor berbasis sumber daya alam.

Dalam praktiknya, antara Undang-Undang Pokok Agraria dan berbagai undang-undang sektoral itu punya, setidaknya, enam perbedaan semangat, falsafah, ataupun prinsip yang berkaitan dengan orientasi, keberpihakan, pengelolaan dan implementasinya, perlindungan hak asasi manusia, pengaturan good governance, hubungan orang dan sumber daya alam, serta hubungan antara negara dan sumber daya alam. Hal itu menjadi penyebab undang-undang sektoral tidak sinkron, yang kemudian mendasari lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Ketetapan MPR itu menentukan arah kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan, antara lain, kajian ulang terhadap berbagai peraturan yang berkaitan dengan dua soal tersebut. Dengan demikian, penyempurnaan Undang-Undang Pokok Agraria dibuat untuk sinkronisasi kebijakan antarsektor yang terkait dengan pertanahan. Juga untuk melengkapi dan menegaskan berbagai penafsiran yang menyimpang, seperti enam perbedaan semangat, falsafah, dan prinsip dasar yang telah digariskan oleh undang-undang tersebut.

Draf RUU Pertanahan tampak belum memenuhi harapan itu. Dalam draf, hak pengelolaan menjadi kewenangan negara dengan turunan instansi pemerintah, pemerintah daerah, bank tanah atau badan usaha milik negara/daerah, dan badan hukum milik negara/daerah. Mereka punya kewenangan menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; menggunakan dan memanfaatkannya; memanfaatkan bagian tanah sebagai hak pengelolaan untuk dikerjasamakan dengan pihak lain; serta menentukan tarif dan menerima uang pemasukan dari pihak ketiga.

Instansi pemerintah wajib mendaftarkan bidang tanah dan kawasan ke sistem pendaftaran tanah nasional untuk kemudian mendapat hak atas tanah atau hak pengelolaan. Terselipnya kata “kawasan” di sana membuatnya tak lagi sesuai dengan hak pengelolaan, yang dalam rancangan ini hanya untuk obyek tanah tanpa obyek kawasan. Dalam pasal ini dimunculkan istilah “tanah hak pengelolaan” yang bisa diberi berbagai jenis hak di atasnya.

Terlepas dari inkonsistensi itu, dalam rancangan ini tidak diketahui persoalan pertanahan apa yang hendak diatasi dengan adanya hak pengelolaan tersebut. Sebab, bentuk integrasi izin/konsesi yang selama ini diperlukan melalui sistem pemetaan nasional dan sistem pendaftaran tanah nasional telah ditetapkan melalui dua pasal lain—pasal 64 dan 66.

Dalam pasal 64 ayat 1 tertera bahwa semua izin/konsesi di kawasan hutan, pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, juga wilayah tanah masyarakat hukum adat, diintegrasikan ke “Sistem Pemetaan Nasional”. Adapun ayat 2 menyebutkan data izin/konsesi yang telah beroperasi disampaikan kepada kementerian yang mengurusi pertanahan dan tata ruang paling lama satu tahun setelah Undang-Undang Pertanahan disahkan. Akan halnya pasal 66 mengatur bahwa bidang tanah dan kawasan wajib didaftarkan ke “Sistem Pendaftaran Tanah Nasional”, lalu diberi hak atas tanah atau hak pengelolaan berdasarkan permohonan kementerian/lembaga negara.

Adanya sistem pemetaan dan sistem pendaftaran tanah secara nasional itu sangat baik. Namun integrasinya seharusnya tak hanya menyatukan aspek pertanahan, tapi juga menghubungkannya dengan kebutuhan publik lain, seperti keterbukaan informasi, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, serta pengendalian pemanfaatan sumber daya alam dalam lingkup ekoregion seperti diatur Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Maka, integrasi informasi izin/konsesi berbagai sektor tersebut semestinya bersifat resiprokal: semua kementerian dan lembaga memberi dan menerima semua informasi izin atau konsesi, kemudian ada kementerian lain yang mengolahnya untuk lingkup ekoregion. Untuk itu, lembaga seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau kementerian koordinator idealnya menjadi integrator yang menyatukan sistem perencanaan dan pengendalian berdasarkan informasi tersebut. Dengan demikian, sistem ini bisa menjadi “jembatan” atas hilangnya semangat, falsafah, ataupun prinsip pengelolaan sumber daya alam itu.

Pemutihan Lahan dalam RUU Pertanahan

Kelemahan membangun sistem integratif dalam RUU Pertanahan setidaknya disebabkan oleh empat hal.

Pertama, hak milik ataupun hak lain yang menimbulkan kewenangan pemanfaatan tanah tidak diikat oleh kebutuhan publik yang lebih luas. Misalnya, dalam pasal-pasal mengenai hak milik, pasal 27-31, tidak ada ketetapan mengenai apa yang perlu diatur pada tanah hak milik yang berfungsi ekologi, tanah sebagai kawasan lindung, hutan milik, atau sebagai tanah pertanian pangan berkelanjutan yang tidak bisa diubah fungsinya. Pasal-pasal mengenai hak milik itu hanya mengatur administrasi.

Kedua, dalam hal pemegang hak guna usaha menguasai fisik tanah melebihi izinnya, status tanah otomatis hilang dan menjadi tanah yang dikuasai negara dengan status hak pengelolaan kementerian yang membidangi pertanahan dan tata ruang. Makna pasal ini bisa diarahkan untuk pelaksanaan pemutihan lahan atau land amnesty karena menguasai fisik tanah melebihi pemberian haknya seakan-akan bukan kesalahan pemegang hak guna usaha. Fakta di lapangan: kelebihan tanah itu menjadi kebun sawit yang berada di dalam atau di luar kawasan hutan, wilayah masyarakat hukum adat, atau di dalam area izin lain, seperti pertambangan dan izin-izin kehutanan (KPK, 2017). Penetapan ini perlu dikaji ulang karena bisa berdampak buruk baik bagi upaya penegakan hukum maupun penyelesaian sengketa lahan di lapangan.

Ketiga, hak pengelolaan bisa diberikan kepada bank tanah yang akan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Pertanahan. Meski prinsip pembentukannya didasari kepentingan umum dan bersifat nonprofit, tugas memperoleh, mengelola, menyediakan, dan mendistribusikan tanah tidak dikaitkan dengan kebutuhan fungsi tanah untuk perlindungan lingkungan hidup.

Keempat, RUU Pertanahan terkesan lebih membangun penguatan lingkup kewenangan kementerian yang membidangi pertanahan dan tata ruang daripada menjawab kebutuhan sebuah beleid menyeluruh yang mengatur tanah seperti diharapkan dalam naskah akademik rancangan ini, yakni meminimalkan ketidaksinkronan undang-undang sektoral terkait dengan bidang pertanahan ataupun menegaskan berbagai penafsiran yang telah menyimpang dari falsafah dan prinsip dasar Undang-Undang Pokok Agraria.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus