Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IHWAL Auschwitz, kamp konsentrasi pembantaian massal orang Yahudi di Polandia, Agi Rubin seorang penyintas mengenang: “We survivors are a bundle of contradictions. We push away the past, and we are constantly drawn back to it. When we are here, we are also there. And when we are there, we are also here. Survivors, are jugglers. Life goes on, death goes on, and survivors themselves go on—somewhere in between.”
Kami yang selamat adalah sekumpulan kontradiksi. Kami mendorong masa lalu, tapi kami terus-menerus ditarik kembali ke sana. Ketika kami di sini, kami juga ada di sana. Dan ketika kami di sana, kami juga di sini. Penyintas itu seperti pemain akrobat. Hidup terus berjalan, kematian terus berjalan, dan orang-orang yang selamat terus berjalan—di antara keduanya (Agi Rubin dan Henry Greenspan, 2006). Bagi korban Auschwitz dan semua kamp tahanan politik di mana pun, masa lalu sekaligus adalah masa kini.
Bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, di antara keadilan dan waktu terjalin hubungan yang unik tapi getir. Ada prinsip yang mengatakan justice delayed is justice denied. Keadilan yang ditunda adalah keadilan yang ditolak. Keadilan di sini dibayangkan seperti utang, mesti dibayar tuntas secepatnya tanpa mengulur-ulur waktu. Basis prinsip ini adalah adanya negara yang berfungsi menegakkan keadilan yang menjadi dambaan korban.
Ada prinsip lain yang menyebutkan it’s never too late for justice. Tak ada yang terlambat untuk keadilan. Di sini keadilan bukan hal mudah, malah acap sulit dimengerti bahkan bagi mereka yang menginginkannya. Basis prinsip ini adalah keadilan sebagai tuntutan akibat ketidakadilan dalam pelbagai rupa: kekerasan, pembunuhan, penghancuran dan perendahan harkat manusia, yang tak mungkin disegerakan dengan penuh-lengkap. Keadilan adalah pencarian dan perjuangan korban yang tak ada habis-habisnya. Keadilan berubah menjadi harapan, dalam keping terkecilnya.
Keadilan dibelenggu waktu. Di sinilah memori esensial bagi eksistensi korban. Melalui memori, korban memelihara hubungan dirinya dengan peristiwa masa lalu dan pengalaman ketidakadilan. Memori memelihara harapan keadilan dan mereservasinya dari terkaman waktu. Persis seperti kata Agi Rubin, “Ketika kami di sana kami di sini, ketika kami di sini, kami ditarik ke sana.” Memori menjadi beban tapi sekaligus cara merekreasi hidup.
Memori merupakan lawan repetisi. Repetisi membius manusia dalam rutinitas yang tak disadari. Di dalam repetisi manusia menerima dan mereproduksi ulang apa-apa yang telah disediakan atau dijejalkan oleh struktur sosial ke dalam dirinya. Sedangkan di dalam memori terjadi sebaliknya, manusia mengenang, sehingga dengan itu ia mematahkan repetisi dan tumbuh dalam ingatannya sendiri. Itu sebabnya, dalam pengalaman Indonesia, orang menggunakan istilah “menyimpan kenangan” atau “memelihara ingatan”. Di situ memori adalah dasar pendirian eksistensial manusia, yang memungkinkan dia untuk terus menyejarah. Eksistensinya di masa kini dipertahankan melalui kenangannya, sekaligus dengan itu ia menginvestasikan harapan di masa depannya.
Di negara-negara tempat sejarah pada akhirnya memenangkan korban, sebagaimana yang terjadi pasca-Holocaust dan Auschwitz di Eropa dan Afrika Selatan, korban mengenang pengalaman kekerasannya dengan berdiri sebagai saksi yang melanjutkan hidup dalam masyarakat baru. Namun di negara-negara tempat korban masih terus kalah, kekerasan dan tragedi menjadi ketidakadilan historis yang seakan-akan nyaris tidak dapat diubah dan masyarakatnya masih terpuruk dalam belitan budaya kekerasan.
Ketidakadilan historis menyembunyikan luka yang mengendap dalam masyarakat kita. Bangsa yang menyimpan luka bukan bangsa yang sehat. Pengalaman kekerasan dan penghancuran komunalitas sebuah bangsa akan membentuk kantong-kantong identitas yang memisahkan warga dan mempertajam segregasi sosial di dalamnya. Bangsa bukan lagi sarana pertemuan pelbagai orang, melainkan justru menjadi partisi yang membentengi komunitas-komunitas dalam perbedaannya. Bangsa dengan ketidakadilan historis akan sulit menyembuhkan dirinya dan mencapai kemajuan.
Di sinilah kultur hak asasi penting diajukan. Kultur hak asasi menyediakan pelbagai praktik guna menghadirkan kembali ingatan melalui obyek-obyek, benda, situs, nostalgia, serta narasi mengenai pengalaman dan sejarah kekerasan yang dialami suatu bangsa. Dalam kebudayaan hak asasi, sejarah kekerasan bisa dipandang sebagai obyek, berjarak dan dengan itu dilampaui. Salah satu bentuk terbaik kultur hak asasi ada di museum hak asasi.
Museum HAM berbeda dengan museum pada umumnya. Museum pada umumnya berfungsi mengglorifikasi negara dan masa lalu, sering kali bahkan mengglorifikasi sejarah penindasan, kolonialisme, dan kekerasan.
Museum hak asasi justru sebaliknya, ia mengemban tugas sejarah untuk berlaku adil, melalui ingatan. Museum hak asasi mendorong manusia untuk menghormati ingatan kolektif masa lalu sambil berkontribusi terhadap proyek masa depan yang lebih berkeadaban. Ia mengatasi penyangkalan yang memicu kebencian, dendam, dan kekerasan, memberikan reparasi simbolis dan pengakuan publik kepada para korban penindasan dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Termasuk mencegah intoleransi serta kejahatan kebencian dan pelanggaran hak asasi manusia melalui pendidikan, kesadaran, dan program partisipatif serta mengurangi risiko kekerasan lebih lanjut di antara kelompok yang berseberangan di masa lalu. Bahkan merekonstruksi identitas nasional dengan kebijakan pluralisme, mengakui komunitas yang berbeda.
Pada 2007, sosiolog Jeffrey K. Olick mengajukan satu istilah “politik penyesalan”, politics of regrets (Jeffrey K. Olick, 2007). Politik penyesalan menjadi kecenderungan baru dan tren bersama “politik reparasi”. Politik penyesalan mencoba mengkonfrontasi masa lalu dan, dengan segera, mendorong pemerintah di pelbagai negara mengambil sikap atas sejarah kekerasan.
Tren ini mendorong munculnya diskursus ingatan transnasional dan kosmopolitan. Mode dan metode mengingat diajukan untuk bergerak melintasi dan melampaui batas-batas negara, membentuk cara kelompok dan negara di seluruh dunia bekerja untuk berdamai dengan sejarah mereka yang rumit. Diresapi cita-cita liberal dan universal seperti hak asasi manusia, demokrasi, perdamaian, dan toleransi, budaya memori transnasional ini dimaksudkan untuk memberikan model agar sejarah kekerasan yang berbeda dapat diperiksa dan ditangani. Maka sejarah Holocaust, Afrika Selatan, Cile, dan Argentina dipelajari di banyak negara, termasuk di kalangan pekerja hak asasi manusia di Indonesia.
Olick melihat bagaimana bencana masa lalu yang mengerikan—Nazi Jerman, apartheid Afrika Selatan—dikenang, tapi ia terutama prihatin terhadap peran yang dimainkan memori dalam struktur sosial. Ingatan dapat menumbuhkan banyak hal—solidaritas sosial, nostalgia—tapi itu selalu bergantung pada sifat masa lalu dan kelompok sosial yang mengingatnya. Ia juga melihat bahwa politik penyesalan digunakan oleh banyak rezim politik sebagai cara membentuk legitimasi diri.
Melalui reformasi, Indonesia keluar dari rezim otoritarian Soeharto lebih dari dua dasawarsa lalu. Namun di Indonesia, sebagai negara demokratis yang mengakui HAM dalam konstitusinya, budaya hak asasi manusia nyaris tidak tumbuh. Hingga hari ini, satu-satunya museum hak asasi yang ada di Indonesia adalah sebuah museum kecil di Kota Batu, Jawa Timur, yang dikelola sendiri oleh Suciwati, istri pejuang HAM Munir Said Thalib. Di negara-negara besar, tempat hak asasi dijunjung tinggi, pemerintahnya secara berani dan lega hati membuka sejarah kelam negerinya sehingga ketidakadilan historis itu dipelajari oleh masyarakat dan generasi mudanya.
Indonesia mesti lebih berani masuk ke diskursus keadilan kosmopolitan dengan memanfaatkan “politik penyesalan”. Pengungkapan masa lalu, peluruhan ketidakadilan historis, ataupun penghormatan kepada korban tidak akan menurunkan derajat apalagi integritas sebuah bangsa, yang justru akan diperkuat.
Indonesia bisa mencontoh Kanada. Pada 2014, Kanada membuka Museum Hak Asasi. Dalam buku The Idea of Human Rights Museum, para pendukung pendirian museum HAM itu menyatakan bahwa kontroversi adalah tamu pertama yang berkunjung ke sana setiap hari (Karen Busby [ed], 2015). Museum itu banyak dikritik, termasuk oleh pejuang hak adat yang hak-haknya dilanggar secara brutal di sana. Tapi museum itu berdiri di atas segala kontroversi dan orang Kanada bisa belajar dengan lebih santai mengenai sejarah kelam sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo