Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kamp-kamp tahanan berperan penting dalam genosida 1965-1966.
Banyak anggota dan simpatisan PKI ditahan sebentar sebelum dibunuh.
Operasi kamp penahanan jangka pendek belum banyak ditulis karena terbatasnya dokumen.
KAMP-KAMP tahanan berperan penting dalam genosida 1965-1966. Di samping pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), penahanan jangka panjang terhadap ratusan ribu orang kiri memainkan peran utama dalam membantu konsolidasi rezim Orde Baru Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita resmi menyatakan pendirian kamp tahanan itu adalah tindakan perlindungan. Kisah-kisah ini adalah perpanjangan dari propaganda yang sama yang secara tidak jujur mengklaim rakyat Indonesia menanggapi upaya kudeta komunis pada 1 Oktober 1965 pagi dengan secara spontan membunuh tetangga komunis mereka. Militer mengklaim turun tangan untuk menghentikan kekerasan dan “memulihkan ketertiban”. Untuk membantu mencapai tujuan ini, didirikanlah kamp-kamp tahanan di seluruh Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak saat pembunuhan berlangsung, para ahli mempertanyakan kebenaran propaganda ini. Beberapa studi kunci telah meneliti fungsi dan operasi kamp-kamp tahanan jangka panjang. Sementara itu, bekas tahanan dan saksi mata lain menggambarkan kondisi mengerikan yang sering dialami para tahanan di kamp-kamp tersebut.
Artikel ini akan membahas jenis kamp tahanan yang berbeda yang juga didirikan pada masa pembunuhan. Jenis kamp ini tersembunyi dari pandangan awam, terutama karena mayoritas tahanannya telah dibunuh. Bertentangan dengan propaganda resmi, mayoritas orang yang terbunuh selama masa genosida tidak terbunuh di jalanan. Sebaliknya, mereka ditahan di kamp “penahanan/pembunuhan” dalam jangka pendek sebelum diangkut secara sistematis ke lokasi pembunuhan yang dikendalikan militer.
Di sini saya mengkaji kasus sistem kamp “penahanan/pembunuhan” yang didirikan di Takengon, Aceh Tengah, pada awal Oktober 1965. Kisah ini diceritakan oleh Ibrahim Kadir, salah satu penyintasnya, selama penelitian untuk buku saya, Berkas Genosida Indonesia: Mekanika Pembunuhan Massal 1965-1966 (2022). Sayangnya, Kadir meninggal pada 2020.
Kamp Tahanan Selama Genosida 1965
Tidak banyak yang ditulis tentang operasi kamp tahanan jangka pendek selama masa genosida 1965 dibanding mengenai kamp tahanan jangka panjang. Alasan atas kebisuan ini mungkin adalah dokumen yang relatif kaya mengenai kamp-kamp tahanan jangka panjang. Sementara situs “penahanan/pembunuhan” jangka pendek didirikan khusus untuk memfasilitasi pembunuhan massal, kamp-kamp tahanan jangka panjang tidak pernah dirahasiakan. Memang, mereka adalah bagian dari upaya militer menampilkan fasad legalistik untuk kudeta yang tidak diumumkan.
Kamp-kamp tahanan jangka panjang didirikan di seluruh Nusantara, sering kali pada tahap akhir kampanye militer. Kamp itu digunakan untuk menampung tahanan politik tanpa pengadilan yang acap berlangsung bertahun-tahun.
Tahanan di kamp-kamp jangka panjang ini hidup dalam kondisi mengerikan dan tanpa akses terhadap makanan yang memadai. Mereka juga rutin disiksa. Meskipun banyak di antara tahanan meninggal di kamp, tujuan pendirian kamp ini adalah mengkarantina mereka dari masyarakat alih-alih memusnahkannya.
Pada Mei 1966, tahanan politik dipisahkan menjadi tiga kategori: A, B, dan C. Tahanan kategori A (kelompok sasaran utama militer) adalah mereka yang dianggap terlibat langsung dalam “upaya kudeta” PKI. Tahanan kategori B dan C, sebaliknya, dianggap hanya terlibat secara tidak langsung.
Mayoritas tahanan di kamp tahanan jangka panjang adalah kategori B dan C. Tahanan kategori A di kamp ini sedikit karena kebanyakan dari mereka telah dibunuh. Beberapa dibunuh di jalan-jalan selama tahap awal kampanye militer. Namun sebagian besar dibunuh setelah ditahan selama berhari-hari atau berminggu-minggu di tempat penahanan jangka pendek yang dikendalikan militer.
Kisah Ibrahim Kadir
Ibrahim Kadir lahir pada 1942 di Takengon, Aceh Tengah. Pada 1965, ia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Ia adalah bintang utama didong, pertunjukan puisi tradisional Aceh yang dinyanyikan. Kadir bukan anggota PKI, tapi dia ingat PKI cukup populer di Takengon. Anggotanya antara lain guru, pegawai negeri, seniman, dan petani.
Kadir pertama kali mengetahui berita tentang aksi G-30-S di Jakarta pada atau setelah 1 Oktober 1965 dari kabar yang beredar dari mulut ke mulut mengenai apa yang ia sebut sebagai “pemberontakan PKI” di Jakarta. Dia berpikir bahwa peristiwa ini tidak mungkin mempengaruhinya di Takengon yang jauh.
Kurang-lebih satu minggu kemudian, Panglima Daerah Militer Aceh Ishak Djuarsa datang ke Takengon. Setiba di sana, Kadir mengenang, Djuarsa bertemu dengan pimpinan militer daerah. Pada hari yang sama, Djuarsa menggelar rapat umum di lapangan olahraga Musara Alun. Warga sipil diperintahkan menghadiri pertemuan ini dan Djuarsa mengumumkan: “PKI adalah kafir, saya akan menghancurkan mereka sampai ke akar-akarnya. Jika di kampung kalian menemukan anggota PKI tapi tidak membunuh mereka, kalianlah yang kami hukum.”
Kadir bercerita bahwa masyarakat ketakutan setelah mendengar pengumuman Djuarsa. Mereka paham diperintahkan membantu militer membunuh anggota PKI.
Kadir ditangkap pada 11 Oktober. Dia ingat bagaimana pada hari itu seorang tentara tiba-tiba menerobos masuk kelas tempat dia mengajar. Lima belas anggota milisi bersenjata lain berdiri di luar pintu dan mengarahkan senjata ke kepalanya. Kadir kemudian dibawa ke penjara yang dikelola negara di tengah Takengon yang telah diubah menjadi kamp pemusnahan.
Kadir ditahan di kamp ini selama 25 malam. Dia mengatakan orang-orang yang ditahan bersamanya tahu bahwa mereka akan dibunuh. Mereka berbicara tentang berbagai lokasi tempat tahanan lain telah dibunuh. Mereka sangat ketakutan.
Setiap malam Kadir dipaksa membantu tentara mempersiapkan tahanan lain untuk dieksekusi. Dia disuruh menutup kepala para tahanan dengan karung goni dan mengikat tangan mereka sebelum memasukkan mereka ke bak belakang truk militer. Truk-truk ini kemudian dibawa ke lokasi pembunuhan yang dikendalikan militer.
Laporan Saksi Mata
Dalam beberapa kesempatan, Ibrahim Kadir dibawa ke tempat pembunuhan di Bukit Bur Lintang. Truk-truk berjalan ke sana pada malam hari melalui jalur pegunungan. Para tahanan kemudian diturunkan dan leher mereka digorok sebelum dibuang ke tanggul. Kadir ingat setiap beberapa malam lokasi pembunuhan dipindahkan sedikit lebih jauh bila lokasi sebelumnya mulai berbau busuk.
Kadir juga menyaksikan pembunuhan di pegunungan Karang Debar. Dia ingat bagaimana penduduk desa di sana disuruh menggali kuburan massal sebelum para tahanan diturunkan dari truk. Para tahanan kemudian dibunuh dan dibuang ke dalam lubang.
Kadir juga menyaksikan pembunuhan di Jembatan Tritip, salah satu jembatan utama menuju Takengon. Para tahanan dibunuh dan tubuh mereka dikubur di bantaran sungai. Militer menyerahkan tahanan kepada penduduk, yang kemudian dipaksa membunuh mereka.
Pembunuhan juga terjadi di Totor Ilang, sebuah jembatan tinggi di atas sungai yang mengalir deras. Di sini, kata Kadir, militer melakukan pembunuhan secara langsung: para tahanan ditanyai apakah mereka lebih suka ditembak atau dipenggal kepalanya sebelum tubuh mereka dibuang ke sungai.
Tujuan tempat “penahanan/pembunuhan” ini, yang berbeda dengan situs penahanan jangka panjang yang kemudian didirikan di seluruh negeri, adalah memproses kematian tahanan dengan cepat sebagai bagian dari fase pembunuhan massal yang sistematis. Dua kamp tahanan jangka panjang didirikan di Aceh, tapi tampaknya sebagian besar tahanan telah dibunuh sebelum tempat penahanan ini berdiri. Sekitar 10 ribu orang diperkirakan tewas di Aceh selama masa genosida.
Genosida di Aceh berlangsung sangat cepat dan brutal. Hal ini turut membantu laju genosida secara nasional. Pengalaman Ibrahim Kadir, bila digabungkan dengan catatan internal militer, menunjukkan bahwa, alih-alih sekadar “tambahan ringan” dalam proses pembunuhan, penahanan berperan penting dalam kampanye pemusnahan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo