Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Monumen Pengingat Masa-masa Kelam

Beberapa kamp tahanan politik di Jerman, Polandia, Kazakstan, dan Korea Selatan menjadi museum. Pengingat sejarah kelam.

2 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bekas kamp-kamp tahanan masa lalu di berbagai negara diubah menjadi museum.

  • Bekas kamp konsentrasi Yahudi di Jerman menjadi lokasi wisata sejarah.

  • Agar tragedi masa lalu dapat dipahami.

KAMP Konsentrasi atau Konzentrationslager Sachsenhausen terletak sekitar 35 kilometer sebelah utara Berlin, tepatnya di pinggir Kota Oranienburg, Negara Bagian Brandenburg. Kini kamp tahanan tersebut sudah berubah menjadi Situs dan Museum Sachsenhausen. Sebuah lokasi “wisata sejarah” kelam Jerman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menuju tempat ini, dari kejauhan pengunjung akan melihat sebuah tugu tinggi di sebuah tanah lapang. Makin dekat ke area situs, terlihat beberapa segitiga di bagian atas tugu tersebut. Segitiga ini menjadi simbol kelompok penghuni kamp tersebut di masa lalu. Pengunjung gratis masuk ke sana. Pengunjung akan dibekali brosur peta lokasi, bisa juga menyewa perangkat audio tur berbagai bahasa seharga 3 euro. Sebelum masuk ke kamp, pengunjung akan melewati bekas rumah komandan kamp dan Neue Museum. Sebuah gerbang kamp dari besi las hitam bertulisan “Arbeit Macht Frei” (Kerja Akan Membebaskan) terpampang menyambut pengunjung di kamp yang dibangun ulang sesuai dengan desain aslinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitu masuk area kamp, pengunjung akan mendapati lapangan yang tampak demikian luas dan kosong, kecuali tugu tinggi di bagian tengah belakang. Beberapa bangunan yang masih berdiri, antara lain gedung panjang bekas tempat cuci pakaian tahanan di area tengah, mengapit pandangan ke arah tugu.

Pengunjung dapat menyaksikan berbagai lokasi tempat pernah dilakukannya eksperimen-eksperimen kriminal terhadap tahanan hidup ataupun jenazah. Di situ terdapat Barak 38 dan 39 serta gedung penjara. Kedua bangunan ini direkonstruksi menggunakan sebanyak mungkin bahan asli untuk memberikan gambaran kepada pengunjung mengenai kehidupan para tahanan. Dua barak ini nyaris habis terbakar habis oleh serangan dua anggota neo-Nazi saat Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin berkunjung ke bekas kamp itu pada 1992. Bagian yang dulu rusak oleh aksi pembakaran itu kini dilindungi kaca dari dalam dan luar tembok, termasuk bagian barak yang direkonstruksi dari tempat-tempat tidur kayu bertingkat tiga. Pengunjung hanya dapat melihat area tempat tidur dari balik kaca. Sulit membayangkan bahwa fasilitas tidur yang dirancang untuk menampung 150 tahanan ini disesaki hingga 400 orang. Para tahanan terpaksa tidur berkasur jerami berdua, padahal lebar setiap kasur lebar hanya 70 sentimeter.

Di dalam kedua barak ini masih dijumpai ruang mandi, cuci, dan toilet serta penyimpanan perkakas pembersih barak. Diterangkan secara tertulis, ruangan ini kerap digunakan anggota Schutzstaffel (SS) untuk meneror tahanan dengan cara memaksa ratusan tahanan masuk ke sana sekaligus. Tertulis keterangan tidak jarang ada tahanan yang pingsan karena tidak dapat bernapas, juga mati tenggelam dalam genangan kolam air mancur. Terdapat bagian khusus yang menampung kisah 20 tahanan dari berbagai latar belakang yang dituturkan dalam bentuk rekaman. Ada pula laci-laci yang dilindungi kaca berisi beragam artefak dari berbagai aspek kehidupan kamp. Pengunjung bebas melihatnya.

Suasana di Alzhir museum. madeniet.astana.kz.

Pada tahun-tahun terakhir Perang Dunia II, jumlah tahanan Yahudi meningkat tajam di kamp ini, terutama seusai kerusuhan Kristallnacht pada November 1938, ketika warga Yahudi ditangkap secara massal. Nazi juga menangkapi anggota Partai Komunis Jerman dan pihak-pihak lain yang dalam posisi berlawanan secara politis dengan Nazi. Misalnya pelajar dari negara Eropa Timur, seperti Cek, Polandia, dan Rusia; penganut aliran Kristen Saksi Yehuwa; kriminal kambuhan; tentara Jerman desertir; homoseksual; kelompok Yahudi; juga “kelompok asosial.” Cakupan kategori terakhir ini beragam, dari mereka yang pernah mogok kerja serta menolak atau meninggalkan kerja, kaum miskin tanpa rumah, pecandu alkohol, orang-orang yang tidak melunasi tagihan listrik, hingga kaum Sinti dan Roma (gipsi).

Semua informasi ini dapat dilihat di 13 area pameran yang tersebar di situs tersebut. Eksperimen-eksperimen para peneliti dan dokter Nazi pun dapat dilihat di gedung bekas fasilitas medis. Di bangunan bekas dapur tahanan dan ruang cuci, pengunjung dapat menyaksikan beberapa instrumen penyiksaan, seragam tahanan, perkakas makan, dan masih banyak lagi, termasuk perlengkapan pengujian sepatu oleh sebuah perusahaan. Para tahanan dipaksa memakai sepatu prototipe yang ukurannya terlalu kecil serta disuruh berjalan dan berlari dalam waktu yang lama. Akibatnya, kaki mereka terluka dan mereka pun jatuh kelelahan. Mereka dipaksa membangun fasilitas-fasilitas kamp serta bekerja di kilang logam untuk membuat senjata dan amunisi guna menyuplai tentara Jerman dalam Perang Dunia II.

Hampir seluruh bagian situs bersejarah ini dapat diakses pengunjung dan boleh direkam dalam bentuk foto ataupun video, kecuali ruang pameran yang berisi propaganda Nazi untuk menyudutkan Yahudi dan lawan politiknya. Selebihnya, pengunjung bebas mendokumentasikan apa pun yang terpajang, seperti situs bekas krematorium dan eksekusi serta tempat ribuan tahanan ditembak lalu dibakar atau dibakar hidup-hidup. Yang tersisa dari krematorium maut itu adalah sebagian fondasi dan bekas tungku pembakaran, juga tembok-tembok sisa tempat ribuan manusia dimusnahkan.

Kamp ini dibangun pada musim panas 1936 menggunakan tenaga kerja paksa tahanan dari kamp-kamp di Emsland. Kompleks kamp ini dirancang oleh arsitek SS sebagai model bagi kamp-kamp lain dan ditujukan untuk mencerminkan ekspresi arsitektur bagi filsafat perspektif Nazi. Kamp ini memiliki status khusus dalam sistem kamp konsentrasi Nazi. Status ini makin kuat pada 1938, ketika Inspektorat Kamp Konsentrasi (markas besar semua kamp konsentrasi di wilayah kekuasaan Jerman) dipindahkan dari Berlin ke lokasi kamp itu. Lebih dari 200 ribu orang ditahan di Sachsenhausen antara 1936 dan 1945.

Selama Kamp Konsentrasi Sachsenhausen beroperasi, puluhan ribu tahanan tewas akibat kelaparan, penyakit, kerja paksa, penyiksaan, juga pembunuhan sistematis oleh SS. Ribuan tahanan lain tewas dalam long march maut ketika kamp dievakuasi. Sekitar 3.000 tahanan yang sakit dan ditinggalkan di kamp, juga para tahanan yang merupakan dokter dan asisten medis, dibebaskan oleh tentara Rusia dan Polandia pada 22-23 April 1945. Selama 1945-1950, seusai Perang Dunia II, Brandenburg berada di bawah kekuasaan Rusia.

Agensi rahasia Uni Soviet (NKVD) mengambil alih kamp Sachsenhausen dan menggunakan semua fasilitasnya—kecuali fasilitas eksekusi dan krematorium—sebagaimana fungsinya semula. Bedanya, kini mereka yang ditahan di sana adalah bekas pejabat rendahan Nazi dan siapa pun yang secara politis dianggap lawan oleh NKVD. Sesudah 1948, Sachsenhausen dikenal dengan sebutan “Kamp Khusus Nomor 1”, kamp khusus terbesar di antara tiga kamp khusus di wilayah pendudukan Soviet. Saat kamp ini ditutup pada Maret 1950, sekitar 60 ribu orang pernah ditahan di sana dan 12 ribu di antaranya tewas karena malnutrisi dan penyakit.

Salah satu situs di Bukchon Neobeunsungee , 9 Maret 2018. TEMPO/ Abdul Manan

Pada 1956, dilakukan pemugaran untuk Nationale Gedenkstätte Sachsenhausen (Area Peringatan Bersejarah Sachsenhausen). Area ini diresmikan pada 22 April 1961, dalam peringatan 16 tahun pembebasan tahanan Nazi. Para perancang situs hanya menyisakan beberapa bangunan asli dan membangun sejumlah struktur baru, termasuk sebuah tugu tinggi di tengahnya, untuk melambangkan “Kemenangan Antifasisme terhadap Fasisme”.

Selepas revolusi damai dan reunifikasi Jerman menjelang akhir 1990, Museum dan Situs Peringatan Sachsenhausen resmi berada di bawah naungan Stiftung Brandenburgische Gedenkstätten atau Yayasan Situs Peringatan Brandenburg. Yayasan ini adalah institusi yang beroperasi secara mandiri, didanai bersama oleh Negara Bagian Brandenburg dan Republik Federal Jerman (pemerintah pusat). Bekas kamp ini rata-rata dikunjungi lebih dari 700 ribu orang per tahun.

Akan halnya kamp Auschwitz di Polandia, yang menjadi tempat paling mengerikan pada era Nazi, kini menjadi museum yang diawasi langsung oleh Kementerian Kebudayaan dan Warisan Nasional Polandia. Kementerian itulah yang memastikan pendanaan situs ini agar tragedi Holocaust dipahami. Museum ini telah menjalankan program jangka panjang konservasi di bawah Rencana Konservasi Global. Sebagian besar biayanya dipenuhi dari dana Yayasan Auschwitz-Birkenau.

Kamp yang didirikan Jerman pada 1940 ini dulu adalah kamp konsentrasi dan pusat pemusnahan terbesar yang dioperasikan Nazi Jerman di wilayah Polandia selama Perang Dunia II dan masa Holocaust. Lebih dari 1,5 juta orang tewas di kamp-kamp ini. Bukan hanya laki-laki yang tewas, tapi juga perempuan dan anak-anak. Kamp ini menjadi pusat pemusnahan terbesar untuk membunuh orang Yahudi (Endlösung der Judenfrage). Lebih dari 40 subkamp dipakai untuk mengeksploitasi para tahanan sebagai budak. Mereka dipaksa bekerja di berbagai pabrik dan fasilitas pertanian industri Jerman selama 1942-1944. Yang terbesar disebut Buna (Monowitz, dengan 10 ribu tahanan) dan dibuka oleh administrasi kamp pada 1942.

•••

LAIN dengan di Eropa Barat, ada sejarah pedih di Kazakstan. Terletak sekitar 25 kilometer dari Nur-Sultan, gulag khusus perempuan itu berada di kawasan yang disebut Aqmol (Bukit Putih). Pada 2019, wartawan Tempo, Seno Joko Suyono, pernah mengunjungi kamp itu bersama Magzhan Serikkhanuly dari Kementerian Luar Negeri Kazakstan. Dia menjelaskan kamp tersebut. “Pada zaman Stalin banyak wanita yang dikategorikan sebagai pengkhianat negara dijebloskan ke situ,” ujarnya.

Mereka ibu, istri, atau anggota keluarga perempuan lain para aktivis yang dianggap berbahaya oleh Joseph Stalin yang saat itu memimpin Uni Soviet. Mereka diambil dari berbagai daerah di Soviet. Kamp ini beroperasi pada 1938-1953. Diperkirakan lebih dari 18 ribu wanita dikirim ke kamp tersebut dan banyak yang tewas di sana. Kamp di Aqmol itu adalah kamp konsentrasi terbesar untuk wanita pada era pemerintahan Stalin. Dua kamp konsentrasi khusus wanita lain pada zaman Stalin berada di Mordovia dan Tomsk. Tapi keduanya hanya digunakan pada 1937-1938. Kamp konsentrasi di Aqmol terkenal dengan sebutan Alzhir—akronim dari penduduk setempat untuk “kamp Akmola bagi istri-istri pengkhianat ibu pertiwi” dalam bahasa Rusia.

Wilayah Kazakstan pada era Stalin menjadi salah satu tempat kerja paksa paling tragis dan lokasi gulag terganas. Contohnya, tak jauh dari Nur-Sultan, di Kota Karaganda, juga terdapat kamp konsentrasi terkenal seperti yang terdapat di Siberia. Gulag di Karaganda terkenal dengan sebutan Karlag. Di sana bahkan masih terdapat kuburan-kuburan tahanan. Mereka yang ditahan di Karlag antara lain kritikus sastra Arkady Belinkov dan aktris Maria Kapnist. Alzhir sekarang menjadi museum peringatan akan penyiksaan dan kekejaman pembantaian di Kazakstan. Museum Alzhir dibangun pada 31 Mei 2007.

Monumen setinggi 18 meter berbentuk semi-elips ini menandai lokasi Alzhir. Bentuk elipsnya dobel. Satu elips diselubungi elips lain. Yang di dalam berbentuk elips hitam dan yang menyelubunginya seperti jeruji. Bentuk elips ini menyimbolkan kudung atau penutup kepala (jilbab) yang dipakai wanita Kazak. Monumen ini menjadi bentuk penghormatan kepada para wanita Kazak yang pernah ditahan dan gugur di kamp Alzhir. Para tahanan yang meninggal dianggap sebagai patriot bangsa.

Selain menyaksikan monumen, pengunjung dapat melihat sebuah gerbong kayu pengangkut tahanan. Di dalamnya terdapat foto mereka tatkala digelandang dan maneken perempuan berkerudung untuk menggambarkan situasi saat itu di dalam kereta yang sesak. Ada pula keterangan padas marmer dengan deretan kalimat dan lambang sejumlah negara, seperti Belarus, Azerbaijan, Georgia, Polandia, Ukraina, Estonia, dan Hungaria.

“Para wanita yang dijebloskan ke Alzhir bukan hanya dari Kazakstan, tapi juga dari daerah lain yang diduduki Soviet,” tutur Magzhan Serikkhanuly saat itu. Kita bisa melihat nama-nama Jerman dan Prancis di padas tersebut. “Ada aktivis anti-Soviet saat itu yang memiliki istri-istri Eropa. Para istri juga ditangkap. Beberapa sanak saudara korban masih kerap datang memberikan karangan bunga,” ujarnya.

Dari monumen, pengunjung bisa langsung menuju Museum Alzhir yang didesain unik seperti sisi atas batok kelapa yang dibelah. Di halaman luar sebelah kiri museum disajikan rekonstruksi barak tempat para perempuan ditahan di Alzhir. Barak buatan itu diberi nomor 26 dan dipagari kawat berduri. Setiap barak bisa dihuni 200-300 wanita. Di dalam barak itu terdapat maneken yang menampilkan dua ibu menggendong bayi. Satu ibu dengan pakaian kumal berdiri menyusui bayinya. Satu yang lain duduk di tempat tidur kayu sederhana, menimang-nimang bayinya di pangkuan. “Di sini dulu banyak anak yang lahir dari hasil pemerkosaan penjaga terhadap para tahanan,” ucap Serikkhanuly.

Museum Alzhir terdiri atas dua lantai. Lantai bawah bercerita tentang sejarah Soviet di Kazakstan. Lantai dua khusus mengenai kamp konsentrasi di Karaganda dan Aqmol. Di lantai pertama kita bisa melihat sejarah masa kelam Kazakstan di bawah Soviet sejak 1917. Banyak pemimpin, tokoh politik, akademikus, penulis, dan jurnalis yang ditangkap.

Di lantai atas kita bisa melihat diorama-diorama yang memperlihatkan kehidupan para perempuan tahanan di Alzhir, dari awal kedatangan saat diperiksa dan diinterogasi petugas sampai kegiatan sehari-hari. Ada juga sel dan jeruji serta sebuah pintu. “Ini pintu asli sel zaman dulu di kamp ini,” kata Nazerke dari museum itu. Di dalamnya terdapat diorama proses interogasi, yang bisa berlangsung tiga-enam bulan. Ada juga diorama kerja paksa ketika mereka membuat seragam untuk tentara selama 18 jam per hari pada musim panas ataupun dingin dengan suhu udara mencapai minus 40 derajat Fahrenheit. Ada pula foto-foto orang ternama yang dijebloskan ke penjara. Tatkala Stalin meninggal pada 1953, kamp konsentrasi ini ditutup.

•••

DI Korea Selatan, Kepulauan Jeju, yang dikenal sebagai Hawaii-nya Korea, juga menyimpan sejarah kelam. Kepulauan seluas 1.849 kilometer persegi ini menjadi tempat wisata favorit dengan 8,7 juta pengunjung per tahun. Namun peristiwa Pemberontakan dan Pembantaian 3 April 1948 masih menyisakan luka terbuka bagi penduduk setempat dan pekerjaan rumah buat pemerintah Korea Selatan. Insiden tragis ini terjadi antara 1 Maret 1947 dan 21 September 1954 di Pulau Jeju.

Penduduk Pulau Jeju dengan berani menentang pembagian Semenanjung Korea dan memprotes keras pemilihan umum pertama yang hanya digelar di Korea Selatan pada 1948. Sayangnya, petugas militer dan polisi menindak keras penduduk pulau dan sekitar 30 ribu orang (10 persen dari populasi Jeju) kehilangan nyawa mereka selama periode ini.

Suasana di Jeju Peace Memorial Hall, 9 Maret 2018. TEMPO/Abdul Manan

Ada sekitar 600 situs bersejarah di Pulau Jeju yang terkait dengan peristiwa tersebut, termasuk situs pembantaian, desa yang hilang, makam, dan batu peringatan. Peristiwa tragis berawal pada pukul 11 pagi 1 Maret 1947. Awalnya, orang-orang berkerumun di sekitar Jeju-buk Elementary School untuk memperingati 28 tahun Kemerdekaan Korea, 1 Maret 1919. Tanggal itu merujuk pada hari ketika Korea secara terbuka menolak pendudukan Jepang dan berjuang meraih kemerdekaannya.

Untuk mengendalikan situasi, dilakukan tiga tahap operasi di Jeju. Pertama, militer memisahkan gerilyawan dengan warga desa. Kedua, memusatkan kekuatan gerilyawan sebelum memulai operasi pembersihan di desa-desa. Ketiga, mulai mengepung dan mengejar kelompok bersenjata yang melarikan diri ke puncak Gunung Halla sejak 25 Februari.

Operasi militer ini membuat para pria di Jeju tak lagi bertahan di desa dan memilih kabur ke gunung untuk bergabung dengan gerilyawan, atau sekadar menghindari penangkapan. Kim Eun-hee, Kepala Riset Institut Studi Jeju 4.3, mengatakan, “Kalau ada keluarga pria yang tak ada di rumah, anggota keluarga lain yang menjadi korban penangkapan, dan dieksekusi.”

Kim Eun-hee menunjuk salah satu prasasti di Bukchon Neobeunsungee, salah satu tempat korban insiden Jeju dimakamkan. Dalam daftar ada empat orang yang punya nama keluarga sama. Itu artinya mereka adalah satu keluarga yang menjadi korban tewas. Tak kurang dari 500 orang tewas dieksekusi dalam Pembantaian Bukchon. Lokasi ini menjadi kian tersohor setelah kisah di dalamnya menginspirasi novel Aunt Suni oleh Hyun Ki-young yang terbit pada 1978. Pemerintah kemudian mendirikan situs 3 April Neobeunsungi pada 2008.

Bukchon Neobeunsungee adalah salah satu lokasi permakaman korban insiden Jeju yang cukup besar, setelah Peace Park dan Monumen Memorial Hall, karena banyaknya warga desa yang tewas di sini. Pembantaian Jeju secara perlahan mulai dibicarakan secara terbuka pada 2000, setelah Jeju 4.3 Special Act disahkan menjadi undang-undang pada 12 Januari 2000.

Pada tahun yang sama, 3 April juga ditetapkan sebagai hari peringatan nasional kamp tahanan. Setelah keluarnya undang-undang itu, Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun (2003-2008) membentuk komite untuk menyelidiki insiden Jeju. Setelah komite menyelesaikan tugasnya, Roh menyampaikan permintaan maaf secara resmi mewakili pemerintah atas peristiwa itu.

NELDEN DJAKABABA GERICKE (BERLIN), ABDUL MANAN (JEJU), DIAN YULIASTUTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus