Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rumah Bersama Warga Hindia

Museum Sophiahof di Den Haag bertujuan menjadi "rumah" sejarah dan budaya Hindia Belanda bagi orang-orang yang mempunyai ikatan dengan tanah Nusantara.

4 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Raja Willem-Alexander menghampiri kelompok demonstran dari yayasan Het Indisch Platform 2.0 di halaman Museum Sophiahof, 27 Juni lalu./Stichting Het Indisch Platform 2.0, Amsterdam

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“MINTA maaf! Akui kami! Berhenti mengabaikan kami!” Teriakan belasan demonstran—kebanyakan setengah baya dan berdarah campuran Indo-Eropa—menyambut masuknya Raja Willem-Alexander ke halaman Museum Sophiahof. Sang Raja hadir di sana pada akhir Juni 2019 untuk meresmikan pembukaan museum di pusat Kota Den Haag itu. “Saya berdiri di sini untuk mendengar kisah kalian,” kata Willem-Alexander, yang berhenti sejenak di hadapan para demonstran sambil menggenggam tangan seorang ibu setengah baya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Demonstrasi itu tak sampai merusak acara pembukaan museum. Sophiahof merupakan museum unik. Lima organisasi yang mengayomi warga Belanda yang punya akar di Nusantara bergabung untuk mengelola Sophiahof, yakni Indisch Herinneringscentrum IHC (Yayasan Rekoleksi Hindia), Pelita, Nationale Herdenking 15 Augustus 1945 (Peringatan Nasional 15 Agustus 1945), Moluks Historisch Museum (Museum Sejarah Maluku), dan Indisch Platform (Platform Hindia)—mayoritas beranggotakan warga Indo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan ribu orang—banyak di antaranya yang berdarah campuran Indonesia dan Eropa—yang lahir atau tinggal di Hindia Belanda melewati masa kelam pada pengujung era kolonial dan tahun-tahun pertama Indonesia merdeka. Sekitar 100 ribu dari mereka, termasuk perempuan dan anak-anak, ditahan dalam kamp selama pendudukan Jepang. Pada saat yang sama, sebanyak 42 ribu serdadu militer Belanda di Hindia ditahan sebagai tawanan perang dan sejumlah orang dikirim ke Burma untuk bekerja membangun jalur kereta api, yang disebut “rel maut” karena ribuan tahanan meninggal di bawah kejamnya kerja paksa.

Walau bebas dari kamp setelah Jepang menyerah dan Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, mereka terjepit di antara ketegangan perang fisik dan diplomatik Belanda-Indonesia sampai akhir 1949. Antara 1945 dan akhir 1950-an, diperkirakan hampir 300 ribu orang pindah ke Belanda dari Indonesia. Beberapa belas ribu lagi menyusul sampai akhir 1960-an, antara lain setelah Belanda melepaskan Irian Barat pada 1962 dan jatuhnya partai komunis di Indonesia pada 1965.

Meski kebanyakan orang yang berepatriasi ke Belanda berdarah campuran Eropa, kelompok ini amat beragam. Ada orang Indonesia dari Sumatera sampai Papua, Belanda totok, juga Tionghoa peranakan. Satu kelompok yang mempunyai sejarah tersendiri adalah mereka yang berasal dari Maluku karena ribuan orang dari kepulauan di bagian timur Indonesia itu menjadi bagian dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL), kesatuan militer Hindia Belanda. KNIL juga mengangkat senjata bersama serdadu Belanda selama perang kemerdekaan melawan Indonesia antara 1945 dan 1949. Setelah perang berakhir, sekitar 12.500 serdadu Maluku KNIL dan keluarga mereka diungsikan ke Belanda. Sesampai di Belanda, mereka tinggal di kawasan tersendiri selama berpuluh-puluh tahun.

Karena pemerintah Belanda dianggap melanggar janjinya mengembalikan masyarakat Maluku ke tanah air mereka, sekelompok generasi muda komunitas ini teradikalisasi. Mereka melakukan serentetan agresi yang menggegerkan Belanda pada 1970-an, termasuk dua penyanderaan kereta api, sebuah sekolah dasar, dan Konsulat Republik Indonesia di Amsterdam. Walau kini mayoritas dari sekitar 50 ribu orang keturunan Maluku yang tinggal di Belanda sudah terintegrasi, masih ada kira-kira 40 persen dari mereka yang tinggal di Molukse wijken atau kawasan bagi warga Maluku.

“Karena itu, sangat penting bahwa satu di antara lima organisasi yang mengelola Sophiahof adalah Moluks Historisch Museum,” ucap ketuanya, Nanneke Wigard, yang juga Co-director Museum Sophiahof. “Ini pertama kalinya organisasi-organisasi Indo dan Maluku bergabung di satu tempat untuk berkolaborasi dan menggali sejarah bersama kami,” ujarnya.

Museum Sophiahof menggunakan gedung yang masih berhubungan dengan sejarah kolonial. Gedung bertingkat tiga dengan halaman luas di daerah elite Kota Den Haag itu dibangun pada 1858. Dulu gedung ini dihuni menteri urusan kolonial Guillaume Louis Baud ketika dia pulang ke Belanda. Museum Sophiahof menyiapkan pameran permanen “Van Indië tot Nu (Dari Hindia sampai Sekarang) yang akan memaparkan sejarah Hindia Belanda secara menyeluruh. “Rencananya dibuka sekitar November 2020,” kata Wigard.

Museum Sophiahof di Den Haag, Belanda. Dok. Museum Sophiahof

Sekarang museum menggelar pameran “Vechten voor Vrijheid: DeVele Gezichten van Verzet (Berjuang untuk Kemerdekaan: Beragam Wajah Resistansi). Pameran ini memperlihatkan berbagai kelompok yang berjuang di bawah tanah melawan penguasa fasis pada masa pendudukan Jerman di Belanda dan Jepang di Nusantara semasa Perang Dunia II. Tidak banyak yang tahu, misalnya, anggota Perhimpunan Indonesia—organisasi mahasiswa nasionalis Indonesia di Belanda—ikut membantu gerakan bawah tanah Belanda melawan rezim Nazi Jerman. Dalam pameran ini juga ditayangkan sebuah video yang menampilkan beberapa sejarawan Indonesia yang memaparkan gerakan resistansi Indonesia pada zaman Jepang.

Co-director Sophiahof, Yvonne van Genugten, yang juga ketua Indisch Herinneringscentrum IHC, mengatakan sudut pandang Indonesia pun ditampilkan di museum. “Kami berbagi sejarah dengan Indonesia,” tuturnya. Hubungan dengan Indonesia, menurut Van Genugten, sering lebih mudah untuk generasi ketiga atau cucu dari mereka yang datang dari Hindia. “Hubungan generasi tua dengan Indonesia kadang masih lebih emosional, apalagi untuk mereka yang mengalami trauma,” ujarnya. “Tapi cucu-cucu mereka tidak memiliki beban itu, dan lebih bebas menjalin hubungan dengan sejarah mereka ataupun Indonesia masa kini.”

Menurut Van Genugten, kehadiran fisik Sophiahof sebagai tempat orang-orang dengan latar belakang Hindia bisa bertemu juga penting. Apalagi lokasinya di Den Haag, kota besar yang juga dijuluki “Indische Stad” (Kota Hindia) karena banyaknya orang Indo yang tinggal di sini.

Selain menjadi tempat pameran, Sophiahof menyelenggarakan diskusi dan peluncuran buku. Ruangan museum pun kerap digunakan untuk tempat pertemuan. “Sambutan publik enam bulan pertama ini amat antusias,” kata Van Genugten. Memang, buku tamu Sophiahof penuh pujian, termasuk dari generasi muda seperti Annet de Mooij: “Bagus sekali! Cerita dan foto-foto yang indah ini mengingatkan saya pada kakek dan nenek saya.”

Museum Sophiahof di Den Haag, Belanda. Dok. Museum Sophiahof

Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja, yang menghadiri acara peresmian Sophiahof, mengomentari kegiatan-kegiatan museum tersebut. “Bukan hanya tentang sejarah masa lalu, tapi juga sejarah kontemporer dan isu-isu Indonesia sekarang,” ujarnya.

Wartawan dan tokoh Indo, Ricci Scheldwacht, menyambut baik keberadaan Sophiahof. Tapi dia juga mengingatkan bahwa museum bertema Hindia sudah cukup lama ada, seperti Museum Bronbeek di Arnhem, yang terutama menyorot sejarah militer Hindia Belanda, dan Museum Nusantara di Delft, yang sayangnya tutup pada 2013. Scheldwacht, yang tahun ini menerbitkan majalah Pinda yang khusus menyorot tokoh dan tema Hindia, berharap Sophiahof juga akan menggandeng kelompok-kelompok di luar kelima organisasi pengelola museum. Misalnya majalah Moesson dan yayasan Tong Tong, yang sudah lebih dari setengah abad menyelenggarakan acara tahunan Tong Tong Fair—festival kebudayaan Indo-Belanda terbesar di Eropa—di Den Haag.

Tidak semua warga komunitas Hindia menyambut kehadiran Sophiahof dengan tangan terbuka, seperti terlihat dari demo yang digelar pada pembukaan museum tersebut. Pendanaan Sophiahof dilatarbelakangi gugatan ribuan pensiunan militer dan pegawai negeri Hindia Belanda yang menuntut gaji yang tidak dibayar (backpay) selama masa pendudukan Jepang.  

Pada 2015, pemerintah Belanda akhirnya setuju membayar 25 ribu euro kepada 1.100 pensiunan yang masih hidup, tapi janda atau anak-anak dari pensiunan yang sudah meninggal tidak mendapat bagian. Selain membayar pensiunan yang masih hidup, pemerintah berjanji memberikan “pengakuan kolektif” kepada masyarakat Hindia di Belanda, yang antara lain diwujudkan lewat dana untuk berdirinya Museum Sophiahof.

LINAWATI SIDARTO (DEN HAAG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus