Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sandra Beerends: Semua Bermula dari Ibu Saya

Film arahan sutradara Sandra Beerends ini berkisah tentang lika-liku kehidupan babu di Hindia Belanda.

4 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sandra Beerends (kanan) dan ibunya, Maudesta, seusai tayangan perdana film Ze Noemen Me Baboe di Eye Filmmuseum Amsterdam, 23 November 2019./Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATA hijau Sandra Beerends berkilat tiap kali dia berbicara tentang film Mereka Panggil Aku Babu (Ze Noemen Me Baboe). Beberapa bulan terakhir, dia tak henti mempersiapkan pemutaran perdana film ini dalam International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA), festival dokumenter terbesar di dunia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beerends lahir di Amsterdam pada 1960 dari bapak Belanda dan ibu Jawa. Setelah lulus dari sastra Belanda di Universiteit van Amsterdam, ia terjun ke dunia televisi sebagai asisten produser. “Saya selalu berperan di belakang layar, walau, lucunya, perkenalan pertama saya dengan film adalah di depan kamera,” kata Beerends, yang pernah bermain sebagai figuran skater girl dalam sebuah film televisi semasa remaja. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang kariernya, Beerends sukses sebagai produser atau editor di dunia televisi dan layar lebar, termasuk untuk film Kauwboy (2012) dan In Blue (2017) yang mendapat berbagai penghargaan internasional. Menurut dia, latar belakang keindonesiaannyalah yang mendorongnya lebih aktif berperan sebagai penulis skenario. Ibu tiga anak ini memulainya dengan film pendek Arigato (2012), yang mengisahkan rasa trauma zaman Jepang seorang nenek Indo yang sudah lama bermukim di Belanda. 

Selain menulis skenario, Beerends menyutradarai film Mereka Panggil Aku Babu, yang dia sebut sebagai sebuah passion project. “Semua bermula dari ibu saya,” tuturnya sebagai penutup kata sambutannya seusai premiere film Babu pada 23 November 2019 di Eye Filmmuseum Amsterdam. 

Berikut ini petikan wawancara kontributor Tempo, Linawati Sidarto, dengan Sandra Beerends di kantor produsernya di daerah Westerpark, Amsterdam. 

 

Apa yang mendorong Anda membuat film Mereka Panggil Aku Babu?

Pertama kali saya memang mendengar dari mama tentang pengasuhnya yang mengurusnya dengan penuh kasih sayang, sejak pagi sampai malam. Dan betapa sedihnya mama ketika harus berpisah dari babunya. Mama lahir di Semarang pada 1939. Ketika berusia sekitar sepuluh tahun, mama pindah ke Belanda.

Saya mendengar cerita serupa dari orang-orang lain yang besar di Hindia Belanda. Tapi, anehnya, tidak ada yang menjaga kontak dengan babu mereka. Siapakah perempuan-perempuan ini, yang begitu berarti dalam hidup banyak orang tapi lalu hilang begitu saja? Mengapa begitu sedikit yang kita ketahui tentang mereka? Saya jadi penasaran, dan mulai mendalami topik ini. 

Bagaimana proses pembuatan film ini?

Saya memulai lima tahun yang lalu, mencuri waktu di sana-sini di antara pekerjaan saya. Akhirnya saya mengambil cuti tanpa digaji selama setahun. Cukup sulit mendapatkan dana untuk membuat film ini, dan saya sungguh bersyukur produser film independen Pieter van Huystee memutuskan mendukung saya. Saya juga berkunjung ke Indonesia sebagai bagian dari riset. 

Semua poin dalam film ini saya pertimbangkan secara saksama, dari nama, bahasa, musik, hingga keserasian gambar dan narasi. Misalnya bahasa apakah yang akan dipakai dalam narasi? Melayu, Indonesia, Jawa ngoko? Juga ketika teks saya diterjemahkan ke bahasa Indonesia, panjang-pendeknya kalimat kadang menjadi berbeda, yang berarti urutan gambar pun harus disesuaikan. Ini membutuhkan waktu dan ketelitian. 

Bagaimana perjalanan riset Anda?

Saya cukup merasa frustrasi ketika mulai menekuni arsip klip film-film zaman Hindia Belanda. Dalam kebanyakan home movies dari zaman itu, sang babu hanya terlihat sekelebat: tangannya atau kebayanya. Untung saya akhirnya menemukan koleksi film dari satu keluarga yang ayahnya rajin merekam aktivitas anak-anaknya dan babu mereka juga sering tampak. Itu yang akhirnya saya jadikan benang merah narasi film saya, tapi tentu juga dikombinasikan dengan banyak film lain. Saya melihat 500 film, meneliti 300 di antaranya, dan akhirnya memakai gambar dari 179 film. Latar suara juga penting. Musik dalam film ini dimainkan dengan instrumen yang biasa dimainkan pada zaman itu. 

Apa yang ingin Anda sampaikan dengan film ini?

Yang paling penting bagi saya adalah kisah ini diceritakan dari sudut pandang seorang perempuan Indonesia. Dari riset dan wawancara, yang keluar bukan sosok yang perlu “dikasihani”, melainkan perempuan mandiri yang berani menjejak dalam lingkungan yang sama sekali asing untuk dirinya. Film ini juga mencoba memperlihatkan bentrokan emosi dan loyalitas banyak orang pada masa-masa yang demikian bergolak—penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, perang kemerdekaan—yang tercermin dalam sosok Alima. 

Apa reaksi yang paling mengesankan seusai pemutaran perdana film Anda?

Reaksi dari mama sungguh mengharukan. Sebetulnya saya khawatir mama akan terlalu emosional, tapi inilah tanggapannya: “Seakan-akan beban yang saya emban berabad-abad lamanya akhirnya terangkat. Dalam bayangan saya, serdadu Jepang adalah semacam “monster”. Tapi saya sadar sekarang bahwa mereka hanyalah orang biasa, kebanyakan anak-anak muda yang harus melaksanakan perintah atasan.” Dan ini: “Mungkin mimpi-mimpi burukku tak akan kembali lagi setelah ini.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus