Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyelesaian krisis di Myanmar belum menunjukkan perkembangan berarti. Meski ASEAN Leaders Meeting telah digelar untuk mendesak penyelesaian krisis Myanmar, kekerasan oleh junta militer tetap saja berlanjut di negeri seribu pagoda itu. Ratusan orang tewas akibat kekejaman junta sementara ribuan ditangkap tanpa alasan yang jelas. Suram.
Pada 24 April lalu, ketika ASEAN menetapkan lima poin konsensus penyelesaian krisis, warga Myanmar berharap banyak hal itu bisa menjadi solusi. Apalagi, junta yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing 'menyetujui' poin-poinnya. Namun, di satu sisi, warga juga was-was. Mereka tahu pemerintah bayangan, National Unity Government (NUG), tidak dilibatkan dalam penyusunan konsensus itu dan Min Aung Hlaing bisa saja menarik kata-katanya mengingat konsensus bukanlah hukum. Itu rekomendasi.
Kekhawatiran mereka terbukti. Selang beberapa hari setelah ASEAN Leaders Meeting di Jakarta, Min Aung Hlaing tak punya komitmen jelas untuk mewujudkan lima poin konsensus. Ia menerapkan syarat ambigu, "bakal menerapkan lima poin konsensus ketika situasi di Myanmar kondusif". Dengan kekerasan yang masih berlanjut, situasi kondusif itu tidak akan pernah tercapai. Di sisi lain, definisi kondusif sendiri tak jelas.
"Min Aung Hlaing tidak pernah peduli dengan konsensus itu. Begitu balik dari Indonesia, ia menangkap kurang lebih 3000 orang dan membunuh 200 orang. Ia menganggap konsensus ASEAN hanya masukan, pendapat," ujar Menteri Kerjasama Internasional dan Juru Bicara NUG, Dr. Sasa, ketika berbincang dengan Tempo kemarin, Senin, 7 Juni 2021.
Warga Myanmar, termasuk NUG, kembali berharap ke ASEAN. Kunjungan pejabat ASEAN mereka harapkan bisa mendesak junta militer untuk mewujudkan poin konsensus. Lagi-lagi harapan itu tak terwujud. Dua pejabat ASEAN, Ketua Erywan Yusof dan Sekretaris Jenderal Lim Jock Hoi, lebih mengutamakan pertemuan dengan junta militer.
Pemimpin junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta pada 1 Februari, memimpin parade militer pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, 27 Maret 2021. [REUTERS / Stringer]
Dr. Sasa berkata, di titik tersebut NUG memutuskan untuk tidak lagi berharap terlalu banyak kepada Myanmar. Mereka bahkan mengatakan hanya ada sedikit kepercayaan yang tersisa untuk ASEAN. Bagi NUG, selama ASEAN tidak memiliki rencana solid untuk mengakhiri krisis Myanmar dan melibatkan warga, maka sulit untuk mempercayai mereka.
"Saya masih tidak habis pikir kenapa ASEAN memilih untuk tidak berbicara dengan kami. Kenapa kami tidak diundang ke pertemuan ASEAN? Kenapa mereka enggan berkomunikasi dengan kami? ASEAN telah gagal mengakomodir dua sisi."
"Dalam pemahaman saya, ASEAN ya untuk warga ASEAN, bukan untuk para pemimpin negara ASEAN. Mereka seharusnya berkomunikasi juga dengan kami, dengan masyarakat," ujar Dr. Sasa terheran-heran. Ia mengklaim sikap ASEAN berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika yang malah mendekati pihaknya untuk berdialog soal krisis.
Dr. Sasa tidak membantah ada negara anggota ASEAN mendekati NUG untuk berkomunikasi. Beberapa di antaranya, kata ia, adalah Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Namun, ia menyebut pembicaraan dengan mereka beda derajatnya dengan ASEAN. ASEAN mewakili seluruh blok, sementara pembicaraan dengan negara-negara anggota lebih seperti pertemuan bilateral.
Jika ASEAN ingin mendapatkan kepercayaan Myanmar lagi, Dr. Sasa mengatakan blok beranggotakan 10 negara tersebut harus mengubah pendekatannya. Salah satunya, jangan mempertimbangkan opsi penyelesaian krisis via kerjasama dengan Min Aung Hlaing. Min Aung Hlaing, kata Sasa, tidak akan pernah kooperatif dan akan lebih memanfaatkan ASEAN sebagai alat propaganda.
Sejumlah wanita membawa pot berisi bunga padauk saat menggelar aksi memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, 13 April 2021. Padauk merupakan bunga nasional Myanmar. REUTERS/Stringer
Langkah lain yang patut dipertimbangkan adalah memutus kerjasama ekonomi dengan Myanmar, terutama yang berkaitan langsung dengan junta. Dr. Sasa berkata, junta masih kuat karena mereka disokong berbagai perusahaan dan investasi berbagai negara. Jadi, meski sudah ada berbagai sanksi dari negara barat, mereka tetap bisa bertahan hidup dengan sumber ekonomi asal Asia, tak terkecuali ASEAN.
Menurut laporan Channel News Asia pada Mei lalu, Junta Militer Myanmar telah menyetujui investasi baru dengan nilai kurang lebih US$2,8 miliar. Investasi tersebut termasuk proyek pembangkit listrik tenaga gas bumi yang nilainya US$2,5 miliar. . Total, ada 15 project atau investasi yang disetujui Komisi Investasi Myanmar.
Channel News Asia menyebut sebagian besar investasi ke Myanmar datang dari Cina. Dari ASEAN, investasi datang dari Singapura dan Thailand. "Saya berani mengatakan bahwa junta tidak akan memberikan keuntungan apapun di kemudian hari...Warga Myanmar tidak akan lupa (mereka yang membantu junta)."
"Saya bisa jamin, begitu investasi atau dukungan-dukungan ekonomi berhenti ke junta, ditambah embargo perdagangan senjata dan zona larangan terbang, Min Aung Hlaing akan berpikir dua kali untuk melanjutkan kudetanya," ujar Dr. Sasa yakin.
Dr. Sasa berharap ASEAN bertindak cepat karena semakin lama mereka bertindak, maka akan semakin buruk krisis di Myanmar. "Mereka sekarang seperti mengulur waktu untuk Min Aung Hlaing," ujar Sasa.
Baca juga: ASEAN Usul Seruan Embargo Senjata ke Myanmar Dicabut
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat memberikan keterangan pers soal Myanmar. dok. Kemenlu RI
ASEAN belum bersuara sejak kunjunga ke Myanmar. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengkritik lambannya ASEAN merespon krisis. Namun, di satu sisi, ia bisa paham sulitnya menangani situasi ASEAN karena minimnnya niatan junta untuk mengkhiri krisis.
"Jujur saja, kami kecewa dengan lambannya progress penyelesaian krisis di Myanmar. Sayangnya, kami tahu bahwa masih ada warga yang disakiti dan dibunuh di sana. Belum ada pembebasan tahanan politik dan belum ada sinyal apapun untuk negosiasi dan dialog. Kami harus menunggu," ujarnya.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, setuju penyelesaian krisis di Myanmar membutuhkan komitmen dari sembilan negara anggota ASEAN. Dengan kata lain, perlu adanya komitmen dari junta Myanmar juga. Tanpa komitmen, kata ia, lima poin konsensus tidak akan teraplikasikan dengan maksimal.
"Keberhasilan implementasi lima poin konsensus memerlukan komitmen Myanmar, terutama pihak militer...Saya juga tekankan bahwa mandat lima poin konsensus sudah jelas yaitu berkomunikasi dengan semua pihak," ujar Retno Marsudi menegaskan.
Baca juga: Pemerintah Bayangan Myanmar Tak Lagi Percaya Pada Upaya ASEAN
ISTMAN MP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini