Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Penakluk Lembah Kematian

Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 telah merampungkan 50 produk. Lembaga pemerintah yang berkaitan dengan penanganan pandemi kurang antusias menyerap produk inovasi tersebut. 

13 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peneliti melakukan uji lab, guna memproduksi vaksin Sars Cov-2 di salah satu lab riset PT Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Agustus 2020./TEMPO/Prima mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Setahun pandemi, Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 telah berhasil merampungkan 50 produk.

  • Dari 50 produk inovasi yang sudah rampung, yang benar-benar masuk tahap hilirisasi di antaranya ventilator portabel Vent-I buatan Institut Teknologi Bandung, dan alat rapid test antibody buatan Universitas Gadjah Mada.

  • Hambatan hilirisasi produk inovasi adalah industri yang menampung hasil riset dan inovasi itu kebanyakan industri kelas menengah ke bawah dan pemerintah kurang menyerap produk inovasi tersebut.

DELAPAN produk Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 dipajang di atas panggung Auditorium Gedung B.J. Habibie Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta, Selasa, 2 Maret lalu. Hari itu adalah peringatan setahun pandemi Covid-19 di Indonesia. Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro menyebutkan salah satu kegiatan utama konsorsium adalah membuat vaksin Covid-19. “Hanya vaksin yang bisa mencegah orang sehat tertular,” kata Bambang dalam sambutannya.

Vaksin yang dimaksudkan Bambang adalah vaksin Merah Putih, yang berbasis protein rekombinan. Vaksin ini masih dikembangkan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Kepala Lembaga Eijkman Amin Soebandrio mengungkapkan, pihaknya sedang bekerja sama dengan PT Bio Farma untuk mengalihkan proses dari riset dan pengembangan ke industri. “Serah-terima bibit vaksin itu tidak seperti menyerahkan paket. Jadi ada semacam alih-teknologi,” kata Amin saat dihubungi, Senin, 8 Maret lalu.

Menurut Amin, pengembangan vaksin Merah Putih masih sesuai dengan jadwal. Bibit vaksin akan diserahkan ke Bio Farma pada akhir Maret atau awal April nanti. Sedangkan uji klinis rencananya dimulai pada Desember mendatang atau paling lambat Januari 2022. Proses keseluruhan uji klinis akan memakan waktu delapan bulan. “Tapi EUA (emergency use authorization) bisa diberikan sebelum uji klinis selesai. Kalau uji klinis fase III sudah berjalan dan hasilnya menjanjikan, bisa diberi EUA,” ujar Amin.

Menteri Bambang mengatakan vaksin Merah Putih tidak dirancang untuk jangka pendek, melainkan masuk bagian akhir program vaksinasi pada pertengahan 2022 serta bertujuan menjaga kesinambungan kekebalan kelompok (herd immunity). “Kita tidak tahu daya tahan tubuh ini berapa lama, yang pasti tidak akan seumur hidup. Vaksin Merah Putih akan memenuhi kebutuhan untuk booster (penguat) atau vaksinasi ulang,” tutur Bambang melalui konferensi video, Selasa, 9 Maret lalu.

Vaksin, Bambang menambahkan, bukanlah segalanya. Apalagi membuat vaksin bukan pekerjaan yang mudah dan cepat. Karena itu, sebelum menghasilkan bibit vaksin, konsorsium mengembangkan produk inovasi lain. “Konsorsium memutuskan masuk ke elemen-elemen terkait dengan Covid-19 yang tingkat ketergantungan impornya tinggi,” ucap Bambang. Salah satu produk pertama adalah alat tes cepat antibodi yang dikembangkan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang mampu menggantikan produk impor.

Terdapat 61 produk inovasi yang menjadi target konsorsium yang diluncurkan pada Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2020. Bambang menyebutkan, dari 61 produk itu, sebanyak 50 produk sudah dalam bentuk akhir hasil riset atau prototipe. Di antaranya delapan produk yang dipajang dalam acara bertajuk “Inovasi Indonesia untuk Indonesia Pulih Pasca Pandemi” itu. Adapun 11 produk inovasi lain masih dalam tahap pengembangan.

Bambang mengatakan capaian konsorsium di masa pandemi itu jauh di atas perkiraan bila dibandingkan dengan pada kondisi normal. Ia mengistilahkan capaian itu “kejutan yang menyenangkan”. “Mengejutkan karena tidak membayangkan akan muncul berbagai inovasi seperti itu. Menyenangkan karena waktu yang dibutuhkan relatif pendek dan ketika telah menjadi prototipe upaya hilirisasinya jauh lebih cepat dari kondisi normal,” katanya.

Menurut Bambang, dari 50 produk yang telah selesai dikembangkan itu, yang benar-benar masuk ke pasar atau penghiliran antara lain ventilator Vent-I buatan Tim Pengembangan Ventilator Portabel Indonesia Institut Teknologi Bandung, alat tes cepat antibodi, reagen untuk pengetesan polymerase chain reaction atau PCR test kit, alat tes cepat antigen CePAD dari Universitas Padjadjaran, serta laboratorium mobile biosafety level 2 dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Vent-I atau Ventilator Portabel Indonesia memasuki tahap komersialisasi atau produksi massal setelah kerja sama terjalin dengan PT Panasonic Health Care, perusahaan patungan Panasonic Jepang dan PT Panasonic Gobel Indonesia. Vent-I, yang diluncurkan oleh PT PHC Indonesia pada 27 Januari lalu, adalah hasil penyempurnaan prototipe yang dikembangkan tim ITB. “Tim membuktikan diri bisa menaklukkan valley of death,” ujar Hari Tjahyono, Ketua Tim Komunikasi Publik Vent-I.

Valley of death alias lembah kematian, Hari menerangkan, adalah istilah ketika hasil inovasi yang beranjak ke produksi massal banyak yang terkubur. Sebelumnya, tim menjalin kerja sama dengan PT Dirgantara Indonesia dan PT Mitra Rajawali Banjaran, anak usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia. PT Dirgantara Indonesia memproduksi Vent-I terutama untuk memenuhi pesanan badan usaha milik negara sekitar 100 unit. Produksinya tak berlanjut setelah BUMN itu berhenti memesan.

Kapasitas produksi komersial Vent-I oleh PT PHC Indonesia, Hari menambahkan, sebanyak 3.000 unit per bulan. Ketua Tim Pengembangan Ventilator Portabel Indonesia ITB Syarif Hidayat mengatakan perkenalan dengan PT PHC Indonesia itu terjadi melalui perusahaan yang ingin menyumbangkan Vent-I. Setelah itu, mereka sepakat mencari perusahaan berkelas dunia untuk memproduksinya. “Dari beberapa perusahaan yang didekati, PT PHC Indonesia menyatakan berminat,” tutur Syarif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembahasan teknis dan negosiasi dilakukan Syarif bersama petinggi perusahaan yang berbasis di Tokyo, Jepang. Pertemuan jarak jauh pun digelar intensif untuk membahas penyempurnaan komponen dan spesifikasi alat lain. Purwarupa alat dan Vent-I versi pertama dikirim ke Jepang sebanyak 100 unit. Kemudian muncul versi kedua dan ketiga untuk penyempurnaan. “Sampai akhir November 2020, datang kabar dari Jepang bahwa mereka sudah siap produksi,” ucapnya.

Menurut Menteri Bambang, penghiliran terhambat karena industri yang menampung hasil riset dan inovasi itu kebanyakan kelas menengah ke bawah. “Kelemahannya, industri menengah itu kekurangan modal untuk ekspansi produksi ke skala besar,” ujarnya. Bambang mencontohkan inovasi alat tes cepat antigen CePAD buatan Universitas Padjadjaran. “Pihak Unpad meminta bantuan untuk mencarikan mitra yang lebih besar kapasitas produksinya.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti CePAD, Muhammad Yusuf, mengatakan riset alat tes cepat berbasis antigen itu sejak awal dilakukan bersama PT Pakar Biomedika Indonesia. Kini tim peneliti tengah melakukan transfer teknologi kepada perusahaan tersebut, yang memproduksi CePAD. “Supaya dapat memproduksi rapid test kit dengan kualitas yang sama,” kata dosen kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran itu, Selasa, 9 Maret lalu. Jumlah produksi skala besar tersebut berkisar ratusan ribu-1 juta unit, sesuai dengan permintaan.

Ekspansi produksi, Bambang menambahkan, juga sedang ia diskusikan dengan pengembang GeNose C-19 di Universitas Gadjah Mada. Menurut dia, saat ini ada perbedaan yang sangat jauh antara barang yang diminta dan yang dikirimkan. “Ini tidak bagus karena seolah-olah kita tidak siap,” tuturnya. “Kami sedang bernegosiasi untuk mencari mitra yang lebih bisa membawa GeNose menjadi produk skala besar dengan kualitas dan konsistensi yang terjamin.”

Dian K. Nurputra, salah seorang pengembang GeNose C-19, mengatakan pembuatan alat penapisan Covid-19 melalui embusan napas itu sudah dikerjasamakan dengan mitra industri sejak awal. Menurut Dian, kolaborasi itu menjadi kunci keberhasilan penghiliran produk inovasi. UGM, ucap Dian, menjalin kerja sama dengan PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri (mekanik), PT Hikari Solusindo Sukses (elektronik dan sensor), PT Stechoq Robotika Indonesia (pneumatik), PT Nanosense Instrument Indonesia (kecerdasan buatan), serta PT Swayasa Prakarsa (perakitan dan bisnis).

Persoalan lain yang membuat penghiliran tidak berjalan mulus, kata Bambang, adalah pemerintah kurang menyerap produk inovasi tersebut. Lembaga pemerintah yang terkait dalam penanganan pandemi Covid-19 antara lain Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Kesehatan, dan rumah sakit. “Antusiasme untuk menyerap produksi dalam negeri ternyata kurang kuat. Maka tidak banyak industri yang berani,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus