Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Informasi simpang-siur mengenai Covid-19 masih marak di masyarakat.
Pengetahuan masyarakat tentang kondisi pandemi Covid-19 masih rendah.
Pengetahuan dan informasi masyarakat perihal Covid-19 harus terus ditingkatkan dengan memanfaatkan sumber informasi yang dipercaya publik.
VIDEO berdurasi kurang dari tiga menit masuk ke akun WhatsApp Titin, 32 tahun, Selasa, 9 Maret lalu. Isinya mengenai pernyataan seorang dokter dari Inggris yang meyakini Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah hoaks terbesar sepanjang sejarah. Dokter tersebut mengungkapkan bahwa pihak-pihak tertentu hanya melebih-lebihkan ketakutan agar dapat menjual vaksin alias ujung-ujungnya cuma untuk bisnis. Si pengirim video adalah kakak laki-laki Titin sendiri. Mendadak sontak pekerja lepas di Jakarta itu geram dan membalas pesan sang abang bahwa justru dokter tersebut yang menyebarkan hoaks. “Video seperti ini banyak beredar di grup WhatsApp atau media sosial lain,” ujar Titin, Jumat, 12 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbekal laporan riset dari berbagai sumber di Internet, Titin menjelaskan kepada abangnya bahwa si dokter tidak kredibel dan selama ini terkenal sebagai ahli teori konspirasi Inggris, antivaksinasi, serta penyangkal AIDS (stadium akhir infeksi virus imunodefisiensi manusia/HIV). Titin juga menjelaskan bahaya Covid-19 dan meminta saudaranya menyaring setiap informasi yang masuk. “Saya berpesan supaya dia berhati-hati dan selalu menerapkan protokol kesehatan,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di awal pandemi, berita palsu seperti itu sudah riuh beredar di masyarakat. Bahkan beberapa figur publik Indonesia, seperti personel band Superman Is Dead (SID), I Gede Ari Astana alias Jerinx, melontarkan pernyataan kontroversial merembet hoaks tentang virus corona. Dalam salah satu unggahan di akun Instagram, misalnya, Jerinx menganggap corona hanyalah konspirasi yang disebar demi skema bisnis. Ia menilai informasi yang dibagikan Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 hanya bertujuan menakut-nakuti. Jerinx juga menolak tes cepat ataupun memakai masker.
Penggebuk drum SID itu kini mendekam di bui. Pada 19 November 2020, ia divonis 14 bulan penjara dalam kasus ujaran kebencian di salah satu unggahan akun media sosialnya yang berbunyi: “Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kacung World Health Organization (WHO).” IDI tak terima dengan pernyataan Jerinx itu dan melaporkannya ke polisi. “Harapan saya, semoga demokrasi tidak mati, sudah, Indonesia negara demokrasi,” kata Jerinx sebelum masuk ke ruang sidang untuk mendengarkan pembacaan amar putusan.
Kontroversi lain, penyanyi Erdian Aji Prihartanto alias Anji mengundang Hadi Pranoto yang ia sebut sebagai profesor atau pakar mikrobiologi. Dalam video di akun YouTube Anji, Dunia Manji, yang berjudul “Bisa Kembali Normal? Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!!”, Hadi mengaku sudah berhasil menemukan antibodi Covid-19. Ia mengklaim antibodi ini bisa mencegah infeksi dan menyembuhkan pasien Covid-19.
Dalam wawancara berdurasi 30 menit dengan Anji itu, Hadi menyebutkan antibodi Covid-19 berbahan herbal tersebut sudah didistribusikan ke Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Video ini banyak menuai kecaman karena klaim-klaim yang disampaikan Hadi tak bisa ditelusuri kebenarannya serta cenderung menyesatkan publik.
Konten itu kemudian dihapus YouTube. Merespons kecaman publik dan penghapusan kontennya oleh YouTube, Anji mengatakan masyarakat secara tidak sengaja memberikan panggung kepada hal yang tidak mereka sukai. “Saya dikatakan memberi panggung kepada orang yang tidak kredibel. Videonya dibagikan ke mana-mana oleh banyak orang, ditonton banyak orang, menjadi trending, lalu dihapus pihak YouTube,” tutur Anji.
Pegiat platform berbagi informasi sesama warga, LaporCovid-19, Irma Hidayana, menilai kesimpangsiuran kabar di masyarakat mengenai pandemi, pernyataan kontroversial Jerinx, juga konten Anji disebabkan oleh krisis komunikasi pemerintah. Seharusnya, kata dia, pemerintah memberikan literasi pandemi dengan baik. “Ukurannya adalah bagaimana kita bisa menekan wacana-wacana konspiratif yang enggak percaya Covid-19,” ucapnya.
Irma mengungkapkan, pemerintah tak memberikan respons ketika kasus Jerinx terjadi. Padahal banyak sekali metode komunikasi publik yang bisa diterapkan untuk meluruskan isu yang salah. “Komunikasi yang salah. Edukasi kepada masyarakat tentang Covid-19 selama ini normatif saja,” tuturnya. Pemerintah juga tidak meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyakit itu. Karena itu, banyak orang masih merasa malu jika positif terinfeksi Covid-19. “Kena stigma. Yang malu kena Covid-19 ini lintas pendidikan.”
Musisi Erdian Aji Prihartanto atau Anji memenuhi panggilan pemeriksaan polisi atas dugaan penyebaran berita bohong di Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 10 Agustus 2020./TEMPO/Nurdiansah
Stigma negatif dari masyarakat ini pernah menimpa Array Kopwani, warga Depok, Jawa Barat. Pada akhir Agustus 2020, istri Array positif terjangkit virus corona. Dengan berbagai pertimbangan, ia mengumumkan ke grup WhatsApp penghuni perumahannya agar mereka mengantisipasi. “Karena sebelumnya ada yang positif Covid-19 tapi diam-diam saja, warga protes,” ujar pegawai pemerintah itu.
Meski positif, istri Array tanpa gejala sehingga menjalani isolasi mandiri di rumah. Berselang sehari, para tetangganya berulah. Kejadian ini bermula saat air mineral Array habis. Ia melapor kepada ketua rukun warga hendak membeli air minum galon ke warung terdekat. Namun ketua RW itu tidak memberi izin. “Wah, jangan, Pak, air kemasan saja. Warga banyak protes karena istri Bapak isolasi mandiri,” kata Array menirukan pesan ketua RW itu.
Bahkan warga mendesak agar istri Array dirawat di rumah sakit atau Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, saja. “Rumah sakit penuh semua saat itu. Istri saya juga tidak ada gejala. Kalau dipaksakan opname di rumah sakit, malah bisa stres,” ucapnya.
Tak cuma itu, para tetangga Array juga risi melihat istri Array berjemur di halaman kosong di samping rumahnya. “Bagaimana orang mau terbuka kalau ternyata dikucilkan begitu?” tuturnya.
LaporCovid-19 bersama Social Resilience Lab Nanyang Technological University (NTU), Singapura, sempat menggelar survei persepsi warga terhadap Covid-19 di Jakarta, Surabaya, Bogor, dan Bandung. Associate professor sosiologi bencana NTU, Sulfikar Amir, mengatakan hasil survei itu mencengangkan lantaran banyak warga yang percaya kemungkinan terjangkit Covid-19 sangat kecil. Berdasarkan hasil survei kepada 21.544 responden/orang selama 15 Agustus-1 September 2020, persepsi warga Kota Bogor terhadap Covid-19 berada di angka 3,21. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan skor di Jakarta (3,30) dan Surabaya (3,42).
Menurut Sulfikar, secara umum, warga Kota Bogor mengaku menjaga protokol kesehatan dengan baik. Tapi tingkat kedisiplinannya lebih rendah dibandingkan warga Jakarta dan Surabaya. Pengetahuan dan informasi mereka mengenai kondisi pandemi juga masih kurang dan harus terus ditingkatkan dengan memanfaatkan sumber informasi yang dipercaya publik. “Hasil survei ini bisa digunakan pemerintah sebagai basis buat kampanye,” ujar Sulfikar.
Ketua Tim Pakar Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Bakti Bawono Adisasmito mengakui kurangnya koordinasi antarlembaga hingga di daerah pada awal pandemi memang menyulitkan. Menurut dia, kesulitan seperti ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Karena itu, Wiku mengungkapkan, Satgas Covid-19 terus berupaya membangun kolaborasi pentaheliks berbasis komunitas. “Ini harus ditangani bersama,” kata Wiku.
Menurut Wiku, terdapat tiga musuh selama masa pandemi ini: virus, ego sektoral, dan pemberitaan yang negatif, termasuk hoaks. “Ini bisa menyulitkan kita semua. Ego sektoral sampai sekarang masih ada. Ini pelajarannya besar sekali untuk kita semua.”
Ia juga mewanti-wanti masyarakat agar tidak bermobilitas tinggi, seperti berlibur atau melakukan kegiatan lain yang kurang begitu mendesak. Sebab, saat libur panjang tiba, angka kematian mencapai 1.000-2.000 dalam satu bulan. Jika tidak ada libur panjang, tingkat kematian di Indonesia 50-900 per bulan. “Kebijakan kolektif adanya libur panjang harus ada konsensus dari pemerintah dan masyarakat,” ujar Wiku.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo