Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETAHUN belakangan ini hidup kita makin akrab dengan obituari. Kabar kematian datang tiap hari. Bermula dari kematian tokoh atau orang-orang jauh yang kita kenal tapi tidak menyentuh kita, hari ke hari kematian orang-orang dekat mulai mengusik perhatian kita. Statistik kematian Covid-19 yang awalnya sekadar angka mulai menjadi cerita yang nyata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada mulanya tiap kabar kematian melahirkan pertanyaan seragam: “Meninggal karena Covid?” Berikutnya, tiap kematian menjadi dingin, kita mulai menerima tiap berita tanpa pertanyaan, seraya mungkin cemas kapan tiba giliran kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demikianlah. Pandemi menghadirkan pertanyaan-pertanyaan besar tentang apa peran sains; apa gunanya kontrol, karantina dan debat tentang ekonomi, serta kebebasan. Namun, dalam segi yang paling subtil, pandemi pada ujungnya berkisar pada pertanyaan tentang bagaimana kita bisa melanjutkan hidup dan bagaimana kita akan mati. Pandemi menjadikan garis linear hidup dan mati menjadi semacam dua kutub ekstrem yang patah.
Pandemi telah mengubah cara kita mati, juga mengubah cara kita merespons kematian. Sebelum pandemi, kematian selalu sempat diperingati secara sosial dan kultural. Keluarga, teman, dan kerabat punya kesempatan melakukan performa perkabungan yang normal. Doa, pidato perpisahan, dan lagu-lagu lelayu mengiringi yang mati hingga ke permakaman. Seremoni itu untuk menunjukkan ikatan organis antara si mati dan keluarga, teman dan masyarakatnya. Dalam situasi normal, seremoni kematian menandaskan hubungan unik individu sebagai bagian dari suatu organisasi sosial. Saat pandemi, seluruh seremoni itu hilang.
Pandemi mencabut representasi masyarakat, keluarga, dan lingkungan sosial dari seremoni kematian. Dengan itu kematian diringkas dan disterilisasi menjadi urusan teknikal medis biologis belaka. Lepasnya dimensi sosio-kultural dalam kematian pandemi menambah bobot kesedihan, bahkan bagi sebagian komunitas, ia menghasilkan kehilangan dan keganjilan yang tak tertahankan yang diekspresikan dalam tindakan histeris: merebut dan membawa pulang jenazah keluarga yang meninggal dengan mengabaikan risiko tertular virus corona.
Basis histeria kematian pandemi secara brutal dan puitis ditampilkan dalam foto Joshua Irwandi di National Geographic tentang jasad seorang pasien Covid. Dia menggambarkan kesunyian dan horor kematian sebagai akibat dicerabutnya yang personal dari akar sosial dan kultural. Jenazah yang terbungkus plastik berlapis: di dalam ia dibalut plastik kuning yang tebal, di lapisan paling luar ia dibungkus rapat lagi dengan plastik tipis transparan. Balutan yang ketat-rapat mengekspresikan kuatnya upaya menarik dan menjauhkan jasad dari dunia sosial yang ditinggalkannya.
Ia tidak lagi memiliki privilese dan penghormatan orang yang hidup. Justru, di saat akhir itu, ia mengalami dehumanisasi dan desubstansialisasi. Jendela kaca di samping ranjang rumah sakit dengan langit gelap di belakangnya memperdalam kesunyian kematian.
Berhadapan dengan horor kematian pandemi, para birokrat dan pengambil kebijakan menenangkan hati orang banyak menggunakan statistik yang mengatakan bahwa tingkat fatalitas Covid cuma berkisar 3-4 persen. Hiburan lain adalah dengan membanding-bandingkan kematian satu dengan yang lain dengan mengatakan masih lebih banyak orang mati akibat kecelakaan dan tuberkulosis dibanding karena Covid.
Cara lain lagi adalah dengan mengotak-atik definisi kematian medis: mati karena atau mati dengan Covid. Di negara-negara yang otoriter, angka kematian disembunyikan dengan maksud menenangkan hati banyak orang dan menekan protes. Namun, dari berita dan obituari yang datang silih berganti, kita tahu ada sejumlah orang yang terlihat kuat dan baik-baik saja tetap meninggal karena Covid. Ada yang bilang karena penyakit penyerta atau karena kelemahan genetis. Di sini kita berhadapan dengan apa yang disebut Kierkegard sebagai “ketakpastian dari kepastian kematian”.
Kita tahu kita pasti mati. Namun kapan, di mana, dan mengapa kita mati tak pernah jelas. Pandemi mempermainkan psikologi kita. Setiap hari ia mendekatkan kita pada kepastian akan kematian sambil tetap menyimpan rahasia kapan dan bagaimana ia datang, hingga dengan itu membuat kita ceroboh. Siapa yang bisa memastikan apakah kita masuk kelompok risiko yang fatal ataukah di luar yang fatal? Periode hidup kita diperpendek per dua mingguan, mengikuti umur inkubasi Covid-19.
Pandemi menghasilkan paradoks karena secara diam-diam menghapus kematian autobiografis yang biasa disimbolkan dengan pernyataan semi-puitis “kematianku”. Istilah “kematianku” menyiratkan kontrol dan kendali atas kematian sendiri, seakan-akan ia bisa kita pegang sebagai obyek. Dalam kata “kematianku”, kita memiliki kesadaran akan kematian, kita mampu memproyeksikan kematian atas diri kita sendiri sehingga bisa memberi arti akan kematian secara personal.
Pandemi merampok kematian autobiografis: di satu sisi ia memang makin mendekatkan kita kepada kematian, tapi kematian yang datang itu sepertinya bukan “kematianku” lagi, melainkan kematian antah-berantah. Kematianku bukan lagi personal buatku. Yang jadi pertanyaan kemudian, di manakah tempat negara dalam urusan yang serba subtil seperti kematian?
Pada akhirnya, melalui brutalitas kematian, pandemi menguji tingkat kedalaman dan kepekaan suatu masyarakat terhadap sakralitas kehidupan. Dengan itu, ia juga menuntut setiap pemerintahan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip humanitas dan penghormatan akan nilai hidup manusia. Sikap dan kualitas etis suatu negara atas bidang yang paling fundamental, yakni eksistensi hidup manusia, dipertaruhkan. Karena itu, kita jijik setiap kali membaca argumen-argumen pemimpin sayap kanan seperti Jair Bolsonaro di Brasil atau Donald Trump dulu di Amerika, yang menganggap enteng kematian ribuan orang dengan apologia fatalistis.
Kepada rakyatnya yang berkabung, Bolsonaro menghardik, “Berhentilah merengek dan keluar, jangan diam saja.” Kita jijik karena, secara eksplisit, politikus bejat ini meletakkan sakralitas hidup di bawah kaki ekonomi. Memprioritaskan ekonomi bisa diterima sejauh hidup manusia tidak dalam kondisi dipertaruhkan. Tapi, dalam kondisi ketika hidup yang semata wayang itu terancam, tindakan moral pertama adalah menyelamatkan hidup, ekonomi selanjutnya.
Di titik ini, pandemi mengembalikan lagi semua jenis politik menjadi politik kehidupan (politics of life) yang generik sekaligus fondasional. Ia menandaskan, secara prinsipiil semua kebijakan negara mesti dipikirkan dengan pertama-tama meletakkan keselamatan hidup manusia sebagai postulat awal. Asal usul kerangka dasar politik kehidupan ini merujuk pada laporan William Beveridge pada 1942 yang termasyhur dan sering disebut dengan From Cradle to Grave.
Beveridge memandang hidup sebagai periode yang mencakup lintasan tahap dari saat orang lahir hingga masuk ke liang kubur. Dari sini ia merumuskan kewajiban negara: bahwa sejauh setiap warga berkontribusi secara sosial, negara wajib mengurus mereka sejak lahir hingga masuk ke liang kubur: from cradle to grave. Pandangan Beveridge berpedoman pada pengalaman bahwa hidup itu rentan. Hidup manusia adalah potensi luar biasa, tapi pada saat yang sama hidup itu sendiri rentan dan dengan mudah serta tiba-tiba hilang. Karena itu, negara mesti memikul tanggung jawab untuk menjaga dan mengurangi risiko serta bahaya yang memperparah kerentanan kehidupan tersebut.
Cradle to Grave didasari ide dan analisis konkret bahwa setiap orang mesti dilindungi dari risiko yang timbul sebagai konsekuensi dari kebutuhan nyata dari episode kehidupan: lahir, remaja, dewasa, hingga tua dan mati. Setiap skenario memiliki risiko dan kebutuhannya sendiri: bayi yang lahir memerlukan perawatan, anak-anak membutuhkan pendidikan, orang dewasa memerlukan jaminan pekerjaan, orang tua memerlukan perawatan hingga ia mati.
Dengan itu, basis dari setiap kebijakan negara disusun secara paralel dengan alur hidup manusia. Dalam kondisi normal, kerentanan hidup itu datang dari kemiskinan, penyakit, nasib buruk, ketidakadilan, dan kekerasan. Di dalam pandemi, kerentanan hidup terhampar sebagai realitas yang transparan di hadapan mikroorganisme: kerentanan itu dilambangkan secara dramatis dengan patahan-patahan garis kurva angka kematian yang makin menanjak.
Kita telah memasuki masa satu tahun pandemi. Selama melewati masa itu, barangkali kita telah mulai terbiasa dengan obituari dan diam-diam belajar menerima kematian. Namun diam-diam kita juga memerlukan sebuah titik balik: titik balik dari kematian menuju hidup di alam baru.
Dalam suatu kesempatan Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia beruntung karena telah lebih dulu mengupayakan vaksin. Dengan itu, Presiden ingin memberi dorongan bahwa vaksinasi akan menjadi titik balik pandemi. Vaksin jelas membawa harapan baru, tapi titik balik dari pandemi masih memerlukan syarat dan tanda-tanda lain di luar vaksin. Tanpa sistem dan otoritas medis yang kokoh, titik itu belum tentu akan berbalik dan kurva-kurva belum tentu akan terjun ke bawah.
Lebih dari itu, dari pengalaman, kita juga tahu bahwa politik yang memberi hormat kepada kehidupan sebenarnya juga mampu menangkis kengerian kematian yang dibawa oleh pandemi. Di negara-negara tempat penghormatan atas hidup dijunjung, di situ kematian pandemi lebih mudah dipatahkan. Indonesia memerlukan titik balik, Indonesia perlu memulai politik yang meletakkan martabat hidup manusia sebagai titik mula.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo