Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nasution, Jalan Tengah, dan Politik Militer

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andi Widjajanto

  • Pengajar Universitas Indonesia

    Ada dua perspektif akademis yang dapat dipakai menjelaskan pelibatan militer dalam politik di Indonesia. Perspektif pertama melihat hal itu sebagai reaksi atas kegagalan politikus sipil mengelola negara. Pandangan yang diusung Ulf Sundhausen ini melihat kegagalan eksperimentasi demokrasi liberal pada 1950-an memaksa militer Indonesia keluar dari barak dan aktif terlibat menyelesaikan masalah-masalah negara.

    Sudut pandang berikutnya, militer Indonesia memang sejak awal kelahirannya sudah memiliki ambisi politik kekuasaan. Organisasi militer Indonesia dibentuk memenuhi ambisi politik tersebut. Perspektif yang diusung Daniel S. Lev ini menempatkan ambisi politik TNI sebagai salah satu penyebab gagalnya implementasi demokrasi parlementer.

    Tulisan ini menawarkan interpretasi rekonstruktif yang melihat pelibatan aktif militer dalam politik sebagai kegagalan pimpinan militer (terutama Angkatan Darat) untuk menjaga otonomi politik militer seperti yang dipraktekkan Panglima Sudirman selama Perang Kemerdekaan. TNI yang seharusnya menjaga karakter militer sebagai aset nasional tergoda bertarung di arena politik praktis dengan kekuatan politik lainnya.

    Keinginan Panglima Sudirman menjaga otonomi politik TNI sebenarnya sangat disadari A.H. Nasution. Dalam penilaian Nasution (lihat Kepemimpinan Pak Dirman), Sudirman tidak pernah menghindar dari keharusan terlibat di arena politik nasional. Namun peran-peran politik Sudirman adalah agar TNI tidak dicabik-cabik oleh pertarungan kekuatan politik.

    Keinginan Nasution menjaga otonomi politik TNI tampak jelas dalam pemikiran awal konsep Jalan Tengah. Konsep ini dipaparkan KSAD Kolonel A.H. Nasution dalam pidato tanpa teks di Akademi Militer Magelang pada 13 November 1958.

    Nasution menggulirkan konsep Jalan Tengah setelah melalui pergolakan politik panjang yang berlangsung sejak 1952. Pertikaian internal AD yang dalam sejarah Indonesia memunculkan Peristiwa 17 Oktober 1952, Peristiwa 27 Juni 1955, dan Pemberontakan PRRI-Permesta, akhirnya justru memunculkan Nasution dan AD sebagai kekuatan politik yang signifikan.

    Pada saat Kabinet Burhanuddin Harahap mengangkat Kolonel A.H. Nasution sebagai KSAD pada November 1955, Nasution menghadapi dua beban besar. Yaitu, pertarungan antarpartai politik nasional di parleman yang beberapa kali memunculkan mosi tidak percaya tentang politik pertahanan. Beban yang lain, masalah konsolidasi internal AD yang berujung pada beberapa pemberontakan bersenjata.

    Namun, pada 1958, Nasution menemukan dirinya dalam posisi yang sangat kuat. Keberhasilan TNI memadamkan pemberontakan bersenjata, penguasaan AD atas aset ekonomi daerah, serta turunnya pamor partai politik secara nasional (karena keterlibatan Masyumi dan PSI dalam pemberontakan bersenjata) mengangkat posisi tawar Nasution vis-à-vis Presiden Soekarno.

    Posisi tawar baru ini dimainkan dengan baik oleh Nasution dengan menciptakan kolaborasi strategis antara Soekarno dan Angkatan Darat. Bagi Herbert Feith (lihat Sukarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin), kolaborasi antar dua kompetitor politik ini muncul karena keduanya memiliki tujuan politik sama: menumbangkan demokrasi liberal, intervensi Barat, sistem parlementer, serta sistem kepartaian.

    Resistensi TNI terhadap politik liberalisme 1950-an dapat dipahami dengan melihat rangkaian mosi tidak percaya yang digulirkan pada 1952. Bagi Notosusanto (lihat Pejuang dan Prajurit), mosi tidak percaya yang substansinya berkisar tentang pergantian Menteri Pertahanan, perubahan organisasi TNI, pergantian Kepala Staf, dan penghentian kerja sama militer, menimbulkan trauma politik bagi TNI tentang intrusi sistem liberal parlementer terhadap soliditas organisasi TNI.

    Konsep Jalan Tengah memberikan legalitas bagi terjadinya kolaborasi politik strategis antara TNI dan Soekarno. Konsep ini juga memberikan kerangka formal bagi perwira TNI untuk secara individual terlibat dalam politik nasional seperti dilakukan tiga perwira militer aktif yang menjadi menteri dalam Kabinet Karya yang dibentuk pada 9 April 1957.

    Konsep Jalan Tengah akhirnya juga memberi jalan bagi pelibatan organisasi TNI ke arena politik nasional saat Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional berdasarkan UU Darurat No. 7 Tahun 1957. Dewan Nasional, yang disahkan Dewan Menteri pada 19 Februari 1959, menempatkan organisasi TNI terlibat dalam politik nasional, sebagai wakil golongan fungsional Angkatan Bersenjata.

    Pelibatan militer dalam politik menjadi makin dalam saat konsep Jalan Tengah dipadukan dengan pengembangan doktrin perang gerilya dan doktrin perang teritorial. Dalam pengembangan kedua doktrin ini, lagi-lagi Nasution memainkan peran penting. Kedua doktrin ini dikembangkan berdasarkan gagasan Nasution yang dituangkan dalam Pokok-pokok Perang Gerilya. Kedua doktrin ini juga dioperasionalkan dalam gelar komando teritorial AD yang juga dibentuk Nasution.

    Pada Oktober 1959, Nasution membentuk 16 Kodam untuk mengganti keberadaan Tujuh Tentara & Teritorium (yang juga dibentuk Nasution pada 20 Juli 1950). Keberadaan Kodam ini dilengkapi dengan Doktrin Perang Wilayah yang mengharuskan AD membentuk Kodim, Koramil, dan Babinsa.

    Bagi Nasution, doktrin perang gerilya tidak hanya memiliki dimensi militer. Dimensi politik perang gerilya mengharuskan TNI menumbuhkan militansi rakyat untuk berjuang bersama TNI. Hal ini dapat dicapai jika TNI mengedepankan suatu ideologi politik yang bisa mengangkat semangat juang rakyat. Pemenangan perang gerilya juga ditentukan keberadaan kepemimpinan nasional dan daerah yang kuat. Karena itu, bagi Nasution, TNI memiliki tanggung jawab mengangkat kualitas kepemimpinan sipil dalam mengelola negara.

    Keharusan mendapatkan kepemimpinan nasional yang kuat ini mendorong Nasution memperjuangkan gerakan kembali ke UUD 1945. Bagi Nasution (lihat Tjatatan2 (sic!) Sekitar Politik Militer Indonesia), UUD 1945 akan menciptakan sistem presidensial yang menghilangkan perebutan pengaruh politik militer antara Presiden, Perdana Menteri-Menteri Pertahanan, dan DPR. UUD 1945 akan menyatukan kembali kepemimpinan politik dan militer di tangan satu tangan, yaitu Presiden. Penyatuan ini dinilai Nasution sebagai sistem terbaik yang dibutuhkan untuk memenangkan perang gerilya.

    Keberhasilan Nasution mengkombinasikan konsep Jalan Tengah, doktrin perang, dan kepemimpinan politik, secara telak menghancurkan demokrasi liberal, sistem parlementer, dan kepartaian. Namun, sejarah menunjukkan, seluruh persyaratan politik yang diinginkan Nasution untuk menopang doktrin perang gerilya dan wilayah berkembang menjadi tujuan politik, bahkan terdegradasi sekadar menjadi tujuan kekuasaan.

    Pada saat keberadaan TNI dalam golongan fungsional menguat, otonomi politik militer hilang dan TNI berubah menjadi suatu kekuatan politik praktis yang harus bertarung dalam suatu politik perimbangan Soekarno melawan kekuatan besar seperti PNI, NU, dan PKI.

    Demikian juga, ketika jaringan komando teritorial AD makin kuat membayangi pemerintahan daerah, otonomi politik militer hilang dan TNI terdegradasi menjadi bagian dari pertarungan kekuasaan lokal yang harus berkompetisi dengan aparat birokrasi untuk menguasai sumber daya lokal.

    Hilangnya otonomi politik militer ini terutama disebabkan TNI gagal mengendalikan mesin politik yang diciptakannya. Sejarah menunjukkan, saat Orde Baru, TNI terjebak menjadi bagian instrumental dari mesin politiknya.

    Jadi, reformasi militer yang diinisiasi sejak 1998 berusaha mengeluarkan TNI dari jebakan mesin politik. Reformasi militer harus dapat kembali meletakkan TNI sebagai milik nasional yang utuh yang berada lepas dari pertarungan kekuatan politik.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus