Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peraturan yang Menggusur Tionghoa

Gerakan ”pribumisasi” ekonomi menggusur pebisnis Tionghoa pada 1950-an. Awal politik rasialisme?

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPUK tangan membahana di seantero ruangan. Dari atas mimbar Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, 19 Maret 1956, suara Assaat Datuk Mudo bergema. ”Orang-orang Cina sebagai satu golongan yang eksklusif menolak masuknya orang-orang lain... terutama dalam bidang ekonomi. Mereka begitu eksklusif sehingga dalam prakteknya bersikap monopolistis....”

Orasi blakblakan Mr Assaat ini bagai mewakili perasaan banyak orang Indonesia yang sebelumnya tak pernah terucap. Mantan Penjabat Presiden Republik Indonesia ini menutup pidatonya, ”Saya percaya perlu diberikan perlindungan khusus di bidang ekonomi kepada warga negara Indonesia asli.”

Inilah yang disebut sebagai gerakan Assaat atau ”pribumisasi”. Sambutan antusias pun bermunculan dari berbagai pelosok Tanah Air, dari Pulau Jawa, Lombok, Sumatera, dan Sulawesi.

Sjafruddin Prawiranegara juga pernah menyerukan hal senada. Dalam Kongres Masyumi, Desember 1956, mantan Penjabat Presiden RI ini menyatakan perlunya dibentuk kelas pengusaha nasional yang sehat melalui ”penyaringan alami” bagi kelompok pribumi. Ia juga menganjurkan agar dalam tempo dua tahun semua toko kecil dimiliki hanya oleh orang Indonesia.

Memang, pada 1950-an itu, hampir semua toko di Indonesia dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa. Toko kelontong, bahan bangunan, makanan, dan apa saja dikuasai orang Cina. Pengamat budaya Betawi, Alwi Shahab, mengenang masa mudanya di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat. Perekonomian Jakarta waktu itu betul-betul bergantung pada pengusaha keturunan Tionghoa. ”Jangan bayangkan ada warung Padang atau yang lain seperti sekarang. Semua dikuasai orang Cina,” ujarnya.

Ketika itu, sudah banyak warga Tionghoa yang tinggal di kampung-kampung Islam setelah dibolehkan pindah dari China Town Glodok. Kostum para pemilik warung ini hampir serupa: celana pendek belacu dan kaus singlet dengan swipoa sebagai alat hitung.

Leo Suryadinata mengisahkan, di zaman kolonial orang Cina umumnya hanya pedagang kecil. Namun, setelah Indonesia merdeka, kedudukan bisnis mereka lebih kuat. Itu sebabnya, pada masa Assaat, pengusaha dan pedagang ”pribumi” merasa tidak bisa bersaing. Karena gagal dalam usaha mereka mematahkan pebisnis Tionghoa, ”Mereka ingin mengambil alih bisnis orang Tionghoa dengan kekuatan pemerintah,” kata pengajar National University of Singapore ini.

Pidato Assaat ini berujung keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yang diteken Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno—politikus dari Partai Nahdlatul Ulama. Peraturan ini melarang orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia. Dalam prakteknya, yang dimaksud ”orang asing” dalam peraturan ini hanya terbatas pada orang Tionghoa karena dari 86.690 pedagang kecil asing yang terdaftar, 90 persennya adalah orang Tionghoa.

Tak pelak, bisnis warga keturunan Cina di Tanah Air pun terpukul. Meskipun tidak ada angka pasti pedagang dan pengusaha Cina yang ambruk, sejumlah pengamat waktu itu memperkirakan kira-kira bisnis 500 ribu pengusaha Cina babak-belur.

Peraturan ini tidak sekadar diterapkan, tapi dipaksakan dengan kekuatan militer. Di beberapa daerah di luar Jawa, panglima daerah militer melarang orang Tionghoa tinggal di daerah pedesaan. Yang melanggar akan diusir dari tempat itu. Di Curut dan Cibadak, Jawa Barat, pengusiran ini memakan korban.

Tak aneh, orang keturunan Cina—termasuk yang sudah menjadi warga negara Indonesia—berbondong-bondong meninggalkan Tanah Air. Alwi Shahab mengenang pemerintah Republik Rakyat Cina bahkan sampai mengirim kapal ke Tanjung Priok untuk mengangkut warga keturunan Tionghoa kembali ke tanah leluhurnya. Ketegangan dua negara pun memuncak dan baru mendingin setelah Perdana Menteri Chou En Lai menemui Presiden Soekarno.

Rentetan peristiwa itu memunculkan tudingan bahwa gerakan Assaat adalah awal mula rasialisme anti-Tionghoa di Indonesia. Tapi Leo Suryadinata menyangkalnya. Menurut dia, tindakan diskriminatif pertama yang dilakukan pemerintah adalah Sistem Benteng untuk menggilas bisnis Tionghoa. Di awal 1950, Menteri Kesejahteraan Djuanda mengumumkan pengusaha ”pribumi” saja yang diberi izin mengimpor barang tertentu yang dikenal dengan sebutan barang Benteng. Menurut Djuanda, sistem ini dibuat berdasarkan persetujuan Konferensi Meja Bundar yang memberikan hak kepada pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan peraturan yang melindungi kepentingan nasional dan ”golongan ekonomi lemah”.

Meski begitu, gerakan Assaat juga dinilai berpengaruh besar pada gerakan anti-Cina selanjutnya. PP Nomor 10 Tahun 1959, misalnya, adalah salah satu buah dari pidato Assaat dan Sjafruddin pada 1956.

Menurut sejarawan Mestika Zed dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, keliru jika kedua tokoh itu dianggap sebagai pemicu rasialisme anti-Cina. Assaat dan Sjafruddin justru nasionalis sejati yang selalu berpijak pada fakta di lapangan. ”Ekonomi pribumi pada waktu itu lemah, terkatung-katung, dan tidak ada yang membela,” kata Mestika.

Gagasan Assaat belakangan, menurutnya, malah diterapkan oleh Tunku Abdul Rahman dan Mahathir Mohamad. Keduanya menerapkan kebijakan ekonomi untuk melindungi mayoritas Melayu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus