Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERAHU itu bernama Me Sang Moi. Ukurannya sedang dengan kapasitas mengangkut seribu orang. Di tengah laut, berkali-kali perahu bikinan Inggris ini doyong kian-kemari dihajar ombak. Kadang Me Sang tersapu gelombang. Namun perjalanan ini harus ditempuh. Tujuan kami adalah kembali ke tanah leluhur: Cina. Untuk itu, kami membelah Laut Jawa dan menelusuri Laut Cina Selatan. Sampai pada akhirnya Shen Sen menjadi tujuan akhir. Kota ini memang tak pernah terdengar.
Selama perjalanan, hampir semua penumpang—yang memang tidak biasa bepergian dengan kapal laut—mabuk laut. Kapal tak mampu menahan guncangan dan ombak yang menguras perut. Penderitaan itu baru berakhir ketika memasuki hari ke-12. Lega rasanya, meski kami tak pernah tahu dan tak bisa membayangkan seperti apa kelak hidup kami di sana.
Di kejauhan, terlihat lambaian kain-kain berwarna merah—yang setelah dekat baru jelas wujudnya. Itulah bendera Republik Rakyat Cina. Sayup-sayup terdengar lagu-lagu berbahasa Cina. Tak jelas betul lagu itu. Barangkali lagu kebangsaan. Sambutan meriah. Tapi Shen Sen, kota pelabuhan itu, ternyata hanya tempat persinggahan. Kendaraan mengangkut kami menuju stasiun kereta. Dari sana, kami terus ke Fuk Chow. Lagi-lagi perjalanan yang menyebalkan. Kami berada di kereta api selama dua hari.
Setelah dua minggu, perjalanan kami berakhir di sebuah rumah yang mirip bangsal. Bentuknya memanjang dengan dua tingkat. Dindingnya terbuat dari bambu yang dilapisi adonan tanah. Di rumah itulah sepuluh keluarga tumplek menjadi satu. Di sini, kami akan menjalani kehidupan yang baru.
Namaku Lisa Liong. Usiaku kini 63 tahun. Kepergian bersama keluargaku 48 tahun silam itu tak akan terlupakan. Saat itu aku hanyalah anak gadis dari seorang pria Hoakiau yang menikahi perempuan dari Legok, Tangerang. Aku bukan murni orang Cina. Saudara-saudara Ibu adalah orang Indonesia. Beberapa di antaranya sudah menunaikan ibadah haji.
Tapi peraturan dari pemerintah membuat kami harus angkat kaki dari kampung halaman. Saat itu aku baru berumur 14 tahun dan masih belajar di sekolah. Sebenarnya kami tinggal di kawasan Gajah Mada. Artinya, kami seharusnya tidak terkena peraturan yang melarang orang asing menjalankan usaha di daerah pedalaman.
Namun sepertinya Papa tidak betah lagi. Dia mendaftarkan kami sekeluarga di Kedutaan Belanda—di Mangga Besar. Kami tinggal di penampungan di sana selama dua tahun. Makanan dijatah tiga kali sehari. Selama di penampungan, layaknya remaja lain, aku menghabiskan waktu dengan makan dan tidur. Sesekali bermain basket. Kami boleh keluar dari wilayah penampungan, tapi harus mendaftar dulu karena alasan keamanan.
Menjelang keberangkatan, kami sempat ditawari untuk tetap tinggal di Indonesia. Namun Papa dan Kakak memilih pulang. Pada Desember 1960, kami meninggalkan kampung halaman beserta semua kenangan yang ada bersamanya.
Keluarga Lisa Liong dan sejumlah besar warga keturunan Cina lainnya di Indonesia harus ”pulang ke Cina” setelah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 diberlakukan. Mereka hijrah dari rumahnya sendiri. Sebenarnya peraturan itu berisi larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran untuk orang asing di luar ibu kota daerah. Dalam prakteknya, peraturan ini hanya berlaku pada orang Tionghoa.
Aturan diskriminatif itu punya latar belakang yang panjang. Sejak masa kolonial, kedudukan ekonomi orang Cina selalu di atas pribumi. Setelah Indonesia merdeka, kalangan Cina menjadi pihak yang kerap dicemburui karena mereka tetap terdepan dalam ekonomi. Maka peraturan di atas disebut-sebut dilakukan sebagai upaya melestarikan politik pecah belah.
Kebijakan berbau rasis kemudian muncul dalam pemerintahan. Menteri Kesejahteraan Insinyur Djuanda menerapkan program ”benteng” importir, yang hanya memberikan lisensi impor kepada golongan pribumi. Hal ini kemudian melahirkan istilah Ali Baba atau kongsi kaum pribumi yang memiliki akses ke birokrasi dengan pengusaha Cina.
Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo, muncul gerakan yang menuntut penghentian keterlibatan orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dipandang menguntungkan. Kasak-kusuk mereka di parlemen membuahkan hasil. Pada November 1959, Presiden Soekarno menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 10. Mereka harus menutup perdagangannya sampai batas 1 Januari 1960.
Hal ini tentu saja amat meresahkan dan membuat kaum Tionghoa bingung. Termasuk yang manakah mereka: asing atau warga negara Indonesia? Masalahnya, Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1958 belum dilaksanakan. Tapi waktu bergerak dengan cepat. Singkat kata, pelarangan kegiatan usaha menjalar menjadi pengusiran orang-orang Cina. Penguasa militer di daerah-daerah mengusir mereka yang masih menjadi warga negara asing dan mereka yang telah memiliki kewarganegaraan Indonesia berdasarkan UU Kewarganegaraan Tahun 1946.
Di Cimahi, Jawa Barat, terjadi pengusiran orang Tionghoa. Bahkan tentara menembak mati dua perempuan Tionghoa. Dalam situasi demikian, hubungan persahabatan antara pemerintah RI dan pemerintah RRT (Republik Rakyat Tiongkok) menjadi terganggu. Pemerintah RRT mengirim kapal-kapalnya untuk mengangkut orang Cina yang ingin meninggalkan Indonesia. Kira-kira lebih dari 100 ribu warga keturunan Cina meninggalkan Indonesia.
Salah satu dari mereka adalah Willy Wong, 68 tahun, yang lahir dan besar di Tarakan, Kalimantan Timur. Simak kisahnya di bawah ini.
KABAR tentang kerusuhan di Cimahi, Jawa Barat, akhirnya sampai ke telinga kami. Tentara menembak perempuan Cina yang tengah hamil! Di Balikpapan juga terjadi insiden serupa dengan kasus berbeda. Penembakan di Balikpapan dilakukan seorang tentara yang kesal karena tak boleh mengutang rokok. Pemilik warung rokok itu diberondong peluru. Lebih dari 20 peluru menembus tubuhnya.
Untung, tidak ada kerusuhan. Tapi kami sekeluarga memilih pergi ke Cina. Sebenarnya saya ingin tinggal, tapi Mama dan Kakak ingin pergi dari sana. Kami terpaksa meninggalkan bengkel motor dan mobil milik Papa. Saat itu saya masih belajar di sekolah dan sering membantu Papa di bengkel untuk betulin motor atau mobil. Umur saya ketika itu 19 tahun.
Kedua orang tua saya memang masih menjadi warga negara asing. Kami juga mendengar pengumuman peraturan di atas dari kedutaan (RRT) di Jakarta. Semboyan waktu itu: ”Kembali ke Kehangatan Ibu Pertiwi”.
Kami tidak sendirian. Setidaknya 200 orang memutuskan untuk pulang. Kami berangkat pada 6 Juni 1960. Tujuh hari kemudian, kami tiba di Hong Kong. Kami tidak boleh turun dan langsung dibawa ke Shen Sen, dilanjutkan ke Guangzhou dengan kereta api.
Dari sana kemudian kami diangkut lagi dengan kereta api selama dua hari satu malam menuju Fuk Chow. Di sanalah kami ditempatkan. Kami sekeluarga, delapan orang, mendapat sebuah rumah bangsal memanjang yang dibagi menjadi enam sekat. Bangsal itu ditempati enam keluarga.
Cina bukanlah seperti sekarang yang sudah menuai hasil industrialisasi. Ketika itu, Negeri Tirai Bambu masih mengandalkan perekonomian dari sektor pertanian. Beruntung negara memperhatikan mereka. Para pendatang mendapat jatah kebutuhan hidup dua kali lipat. Hal itu berlangsung selama tiga tahun. Setiap bulan mereka menerima seperempat kilogram daging, gula setengah kati, serta kain 2 meter per tahun.
Semua barang tersebut baru bisa dibeli kalau yang bersangkutan memiliki karcis (kupon) yang dibagikan oleh kepala kampung. Kadang terjadi jual-beli kupon antarwarga dengan cara sembunyi-sembunyi. Baru dua bulan mereka menetap di sana, tanggul air jebol. Seluruh perkampungan terendam air. Rumah rata dengan air. Pohon laiche tinggal kelihatan pucuknya. Seluruh harta milik mereka ludes.
Akhirnya, mereka dipindahkan ke Chang Long (dalam bahasa Cina berarti ”naga panjang”)—sebuah pedesaan yang terpencil. Suhunya bisa menukik hingga nol derajat di musim dingin. Ini siksaan bagi mereka yang datang dari Indonesia.
Dalam hal makanan, mereka harus berlatih ekstrakeras. ”Di Indonesia, mana pernah kita makan tidak pakai nasi. Di sana kami makan ubi kering dicampur sedikit beras. Kami menyebutnya bubur goyang,” kata Lisa. Adonan nasi ini memang gawat. Komposisinya 80 persen beras dan 20 persen ubi kering. ”Di desa-desa lebih parah lagi, bisa terbalik, 80 persen ubi kering dan 20 persen beras.”
Ini hidup yang jauh dari cukup dibanding saat mereka di Indonesia. Banyak di antara mereka yang mencoba kembali ke Indonesia atau setidaknya bisa keluar dari Cina.
Beruntung hal itu tak berlangsung lama. Willy meneruskan pekerjaannya sebagai montir. ”Tugas saya membetulkan mesin-mesin traktor,” ujarnya. Setiap bulan dia menerima upah 50 yuan. Jumlah tersebut menurut dia cukup untuk ukuran hidup di sana. Toh, Willy tetap ingin keluar dari Cina.
Pada 1974, Willy menikah dengan Lisa—setelah melalui masa pacaran. Mereka pun mendaftar ke pemerintah untuk pergi dari Cina. Prosesnya cukup alot. Beberapa tahun kemudian, pemerintah Cina mengizinkan Lisa, tapi tidak untuk Willy. Negara masih membutuhkannya sebagai tenaga montir.
Suami-istri ini terus berusaha. Hingga akhirnya mereka diizinkan keluar dari Negeri Tirai Bambu. Pada hari raya Imlek 1980, mereka masuk Hong Kong. Willy bekerja di bengkel bus. Lisa menjadi pegawai di pabrik boneka. Hidup mereka relatif lebih nyaman.
KINI saya tinggal di Hong Kong dan hidup dari uang pensiun masing-masing. Semua anak kami sudah berkeluarga. Saya masih memiliki keinginan untuk pulang ke Indonesia. Kebanyakan dari mereka yang pergi pada 1960-an ingin kembali ke Indonesia. Saya yakin 60 persen teman yang senasib di sini akan memilih pulang kampung (baca: Indonesia).
Hingga kini, kami selalu merindukan Tanah Air. Di kala senggang, kami sering kongko bersama teman-teman. Salah satunya di Warung Bandung (warung makan ini milik Liem, warga Tionghoa asal Bandung yang mengaku tak bisa pulang ke Indonesia setelah pemberlakuan PP 10 Tahun 1959). Di Hong Kong, banyak tenaga kerja wanita asal Indonesia, sehingga kami masih bisa merasakan suasana Indonesia.
Dulu, ketika tinggal di Cina, istri saya malah sering berkumpul saat bulan purnama. Bersama teman-temannya, dia menyanyikan lagu-lagu Indonesia. Sehari-hari kami berbicara dengan bahasa Indonesia. Begitu pula anak-anak kami. Bahkan cucu kami yang baru berusia 5 tahun sudah kami ajari bahasa Indonesia.
Sampai sekarang, di Chang Long (desa di mana Lisa ditempatkan), hampir semua orang, termasuk anak-anak mereka, masih bisa berbahasa Indonesia dengan baik.
Saya sangat merindukan kembali ke Indonesia. Mungkin saya tinggal di Jakarta atau Manado. Tapi saya pesimistis bisa terjadi. Tiga tahun yang lalu, permintaan seorang kawan untuk kembali ditolak pemerintah Indonesia. Alasannya, dia keluar dari Indonesia karena kasus PP 10. Padahal dia sudah keluar uang banyak untuk itu.
Istri saya masih ragu. Katanya, ia takut kerusuhan Mei 1998 terjadi lagi. Tapi beberapa kali dia sempat pulang ke Jakarta. Imlek tahun lalu, dia pergi ke Mangga Besar dan bertemu dengan teman-temannya. Dia masih tetap menyimpan keinginan untuk tinggal di Jakarta, atau mungkin di Legok, Tangerang. Ibunya kan dari sana.
WILLY, seperti halnya ribuan orang yang terusir itu, sampai kini masih menyimpan keinginan untuk pulang. Mereka tetap ingin diterima sebagai warga negara Indonesia, sesuatu yang belum sempat mereka dapatkan saat pergi dari negeri ini—setelah 50 tahun lewat. ”Sampai sekarang, saya masih menyimpan semua dokumen, termasuk surat lahir dan KTP Indonesia,” kata Willy. Mereka terus menanti celah di waktu lain. Mereka ingin mati di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo