Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Privatisasi pulau-pulau kecil di gugusan Kepulauan Seribu oleh segelintir orang dikeluhkan oleh para nelayan. Sulaiman, 37 tahun, nelayan setempat, memberikan analogi bapak dan ibu untuk laut dan pulau. Dia mengungkapkannya dalam konferensi pers di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, hari ini, Jumat, 28 Juni 2019.
"Laut itu bapak saya, tempat nelayan mencari kehidupan, makan, memenuhi nafkah. Kalau pulau itu adalah Ibu, tempat berlindung bagi kami," kata Sulaiman.
Baca: Warga Pulau Pari Turun ke Laut Lagi Tolak Pengeboran buat Vila
Sulaiman meyakini "ibu" masih menginginkan anak-anaknya. Dengan bersemangat, nelayan Pulau Pari yang sempat dipenjarakan oleh PT Bumi Pari Asri itu berjanji berjuang mendapatkan kembali 'ibunya" yang telah dirampas segelintir orang berkantong tebal. "Ibu kami dirampas sama orang lain. Berarti harus kami lawan."
Pusat data dan informasi dari LSM Kiara mencatat dari total 110 pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu, 80 di antaranya dimiliki baik oleh perorangan maupun korporasi. Di Pulau Pari, tempat Sulaiman tinggal, warga berkonflik dengan PT Bumi Pari Asri milik Pintarso Adijanto yang mengklaim menguasai hampir seluruh pulau.
Menurut data dari Kiara, beberapa nama yang menjadi pemilik pulau-pulau kecil di gugusan Kepulauan Seribu itu antara lain adalah Johnny Wijaya, Direktur Utama PT Adyaesta Cipatama. Dia memiliki Pulau Kudus Lempeng seluas 1.63 hektare dan Pulau Biawak 0.24 hektare. Berikutnya, Pintarso Adijanto memiliki HGU di Pulau Tikus, Pulau Burung dan Pulau Kongsi. Perusahaannya, PT Bumi Pari Asri juga mengklaim 90 persen luas Pulau Pari.
Selanjutnya adalah Bambang Trihadmojo, memiliki HGU di Pulau Bira Kecil seluas 7.2 hektare; Aburizal Bakrie memiliki Pulau Putri Gundul seluas 0,98 hektare; Ponco Sutowo, pemilik HGU di Pulau Air seluas 2.90 hektare dan Pulau Ayer 2.9 hektare dan beberapa nama lainnya disebutkan.
"Sedangkan Hengky Setiawan pemilik HGU Pulau Tengah, Pulau Burung dia Komisaris Utama dan pendiri PT Tiphone Mobile Indonesia," ujar Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, dalam konferensi pers Jumat, 28 Juni 2019.
Menurut Sulaiman, kebanyakan pulau yang diprivatisasi itu memang tidak berpenghuni. Namun, nelayan di gugusan Kepulauan Seribu, termasuk dari Pulau Pari, biasa memanfaatkan pulau-pulau kosong itu untuk berkebun, misalnya kelapa, secara turun-temurun. Sulaiman pun mengakui bahwa warga tidak memiliki dokumen atau sertifikat apa pun untuk mengklaim pulau-pulau itu.
Kini, Sulaiman dan nelayan lain tidak lagi bisa mendekat atau beraktivitas di pulau-pulau privat itu. Polisi Perairan diduga menjaga ketat kawasan tersebut. Bahkan, menurut dia, kadang dengan menenteng senjata laras panjang.
Sulaiman menceritakan, ia pernah sekali menyandarkan perahu dayungnya di dermaga Pulau Tengah yang telah dimiliki oramh secara pribadi. Saat itu dia sedang memancing ikan dan cumi. Angin ketika itu sedang kencang dan hujan akan turun sehingga butuh tempat bersandar. "Karena akses yang paling deket saat itu adalah Pulau Tengah, aku mampir ke dermaganya, mau beres-beres pancing, tapi diusir sama Pol Air."
Sulaiman menerangkan bahwa kala itu polisi tidak hanya mengusir tapi bahkan mencurigainya sebagai maling. Bahkan, sebelumnya polisi menyebut mesin boat di dermaga tersebut hilang. Selanjutnya, Sulaiman pulang dengan mendayung sampan sekitar 20 menit hingga Pulau Pari.
Kondisi bibir pantai Pulau Tengah telah dipenuhi vila-vila mewah. Sedangkan bagian tengah pulau dibiarkan kosong tanpa bangunan sedangkan pepohonan dibiarkan tumbuh. Pemilik pulau, Hengky Sertiawan, yang melakukan reklamasi di pulau tersebut lalu membangun vila di atas lahan reklamasi itu.
"Dulunya pulau itu luasnya enggak sampai 20 hektare, sekarang hampir 60 hektare," kata dia.
Baca juga: Nelayan Pulau Pari Demo Proyek Vila Terapung
Menurut Sulaiman, bangunan vila di Pulau Tengah sudah ada sejak 2015. Sebelumnya, kawasan tersebut menjadi salah satu lokasi favorit nelayan untuk mencari ikan dan cumi. Efek privatisasi lain, jarak tempuh melaut yang semakin jauh. Nelayan tidak bisa sembarangan melewati pulau-pulau di gugusan Kepulauan Seribu karena dijaga polisi sehingga harus memutar jalur untuk bisa melaut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami dulu mencari ikan dekat sekarang jauh. Bahan bakar juga bertambah."
Sulaiman setahun belakangan ini bekerja sebagai awak kapal angkut barang dari Muara Karang ke Pulau Pari dan sebaliknya. Sebelumnya, dia penjaga cottage di Pulau Pari dan dijebloskan ke penjara karena tuduhan penyerobotan lahan.
Dia dan warga Pulau Pari lainnya sedang memperjuangkan haknya untuk menetap melalui Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Raperda RZWP3K). Menurut informasi yang diterimanya dari Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, draf raperda itu sudah diserahkan kepada bagian legislasi DKI.
"Di RZWP3K Pulau Pari tidak termasuk pemukiman nelayan di Kepulauan Seribu. Terus kami mau tinggal di mana? Apa mau dijadikan wisata semua? Ini yang lagi kami perjuangan," ucap Sulaiman.
M. YUSUF MANURUNG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini