MUSIK yang datang dari sebuah gramopon tua terdengar jernih, nyaring, tetapi luar biasa pilunya: "Egoli lizwe laku hlupheka." Egoli, dari kata Inggris gold (emas), mengawali lagu Zulu berjudul Johannesburg, Bumi Kesengsaraan. Gramopon rongsokan itu milik seoran buruh tambang emas yang sedang menunggu kereta di stasiun Johannesburg, Afrika Selatan. Begitu sendunya lagu yang diperdengarkan, konon, sehingga menjerat minat Aggrey Klaaste, seorang wartawan. Itulah yang kemudian dijadikannya lead tulisan "Orang Buangan di Negeri Sendiri", dalam The New York Times Magazine, Juni silam. Ketika Klaaste - yang sehari-harinya staf redaksi surat kabar Johannesburg, The Sowetan - berada di peron stasiun itu, "anak-anak tambang" sedang beranjak pulang ke rumah masing-masing. "Meskipun disebut anak-anak, mereka sepenuhnya orang dewasa," tulisnya. Pertumbuhan mereka tampaknya memang tertahan oleh lingkungan pekerjaan dan mutu makanan, padahal tingkat usia mereka antara 18 tahun dan 45 tahun. Bertampang ganjil dalam pakaian seragam yang melekat di punggung yang kekar, berotot, barisan buruh itu jadi seperti arak-arakan aneh. Di kepala yang berambut keriting terpasang topi koboi. Arloji yang melingkar di lengan biasanya bersepuh keemasan atau keperakan. Di hidung yang pesek dan berkilat-kilat bertengger kaca mata hias. Semuanya barang murahan. Di stasiun Johannesburg tidak saja berjubel para pekerja tambang, yang menanti keberangkatan dengan berdebar-debar. Tempat itu juga menjadi singgahan campur aduk antara penduduk kota yang pulang petang dan orang pedalaman yang "mudik". Orang-orang desa berkulit hitam, besama para buruh tambang yang sama gelapnya, diangkut dengan kereta ke desa dan kota-kota kecil yang berdekatan - mirip angkutan Jabotabek di Jakarta dan sekitarnya. Kelompok-kelompok pekerja tambang - yang jumlahnya dibatasi 20-30 orang saja per kelompok oleh penguasa - memang mirip penduduk Jakarta asal daerah yang pulang "mudik" menjelang Lebaran. Bedanya, para penggali emas itu pulang setiap enam bulan, jangka waktu satu tahap penggalian. Klaaste kurang menjelaskan apakah "mudik" enam bulan sekali itu terjadi saban hari, secara bergiliran. Tapi, melihat pembatasan jumlah 20-30 per kelompok, tampaknya memang begitulah. "Kampung halaman" yang dituju benar-benar kerontang, berjubel, dan reyot. Harap tahu, itulah kamp penampungan khusus kuli-kuli hitam Afrika Selatan. Perjalanan pulang direncanakan dengan cermat oleh pemerintah. Berkeliaran bergerombol di peronperon bisa berbahaya. Lagi pula, para penumpang harus mendapat sedikit keleluasaan menggelandang di ruang-ruang segregasi stasiun. Wajah-wajah para penambang umumnya membiaskan kemurungan dan membersitkan senyum mengejek. Seolah-olah mereka sadar telah menjadi sasaran guyon terbesar dalam sejarah. Di dalam pancaran tatapan mata tecermin amarah dan dendam zyang tak terucapkan akan kehidupan kota yang gemerlapan dl sekitarnya. Mereka melenggang dalam keangkuhan yang dipendam, dalam upaya sia-sia menampilkan dirinya sebagai manusia. Dan, ketika gramopon mengulangi blues sendu yang itu-itu juga, salah seorang pekerja tambang memancing dahak dari dasar kerongkongan, dan, "Cuh!" Bersitan liur terbang ke kepala kelompok penduduk berkulit hitam tak jauh dari tempatnya. Mengapa sesama bangsa hitam menjadi sasaran kemarahan? Mereka, menurut Klaaste: "Begitu yakin akan diri, begitu sadar akan angan-angan superioritasnya." Aneh ! Kejadian itu mengingatkan pada teriakan panggilan nyana we sizwe ("putra bumi"), yang segera sirna dalam keputusasaan. Jeritan yang tak terlukiskan pahitnya itu terdengar ketika orang-orang seperti Nelson Mandela, pemimpin Kongres Nasional Afrika, dijebloskan ke dalam penjara Kepulauan Robben. Karena para kuli tambang juga putra bumi, semprotan dahak berbau busuk itu menjadi semacam pernyataan sikap politik. Itu adalah ekspresi kemuakan, tantangan, teror, dan - anehnya - reaksi yang tak tertanggungkan terhadap masyarakat kota berkulit hitam yang memandang dengan mata miring kepada para "anak tambang". Padahal, tulis Klaaste "Kita semua telah menjadi orang buangan di negeri sendiri." Bagaimanapun keadaannya, para pekerja tambang telah menjadi lambang pertentangan dalam masyarakat kulit berwarna di Afrika Selatan. Di sini,seperti pada hampir seluruh kehidupan dan politik Afrika Selatan, garis-garis perbedaan digoreskan. Di sana, hitam dilawankan dengan hitam dan cara seperti ini dengan liciknya disusupkan dalam sistem apartheid, menghasilkan proses yang diinginkan: memecah-belah dan memerintah. Tahun lalu, setelah beberapa dasawarsa kebal terhadap tekanan dari luar dan dalam untuk penghapusan apartheid, pemerintah Afrika Selatan secara membuta-tuli memberlakukan suatu kebijaksanaan politik baru. Referendum yang hanya diikuti oleh golongan kulit putih - padahal mereka pendatang di sana - secara mutlak, dan sepihak, memberi wewenang kepada Perdana Menteri P.W. Botha merancang konstitusi baru yang dapat menjadikan minoritas Asia dan "kulit berwarna" (Indo-Indo), dan bukan orang kulit hitam, sebagai partner muda di parlemen tricameral. Konstitusi secara hakiki memaksakan dan mengesahkan apartheid dengan lebih mantap. Ironisnya, dan hampir serempak, ketika para peserta referendum sedang memberikan suaranya, para pekerja tambang kulit hitam tampil unjuk tampang. Mereka bergabung dalam serikat-serikat karyawan. Tidak sampai satu tahun berdiri, Persatuan Buruh Tambang Nasional menjadi salah satu kekuatan paling tangguh di negeri itu. Pada saat yang sama, beberapa tambang di kawasan Witwatersrand yang berada di sekitar Johannesburg nyaris bangkrut. Sementara itu, sayangnya, para pekerja tambang cenderung melampiaskan rasa frustrasi dan dendam kesumat dengan jalan menghambur-hamburkan uang yang sebenarnya mereka dapatkan secara tidak gampang. Misalnya, dengan membeli pakaian menor-menor, yang bagi ukuran kantung mereka tidaklah murah. Celakanya, amarah yang telah berubah menjadi rasa putus asa itu mencari jalan pelepasan yang kurang pikir. Merasa betapa enaknya para penumpang kereta yang pergi dan kembali, mereka menganggap bahwa enyah dari kampung halaman sama seperti kabur dari Kepulauan Robben. Begitu yakin mereka akan impian seronok kehidupan kota, kendati cuma sebagai kotawan kelas kambing. * * * Dan beginilah jadinya. Saban hari bisa disaksikan pengungsian orang-orang desa yang ketakutan, putus asa, dan kelaparan menyerbu ke kota. Padahal, di tempat tujuan belum tentu tersedia lowongan pekerjaan atau tempat tinggal, kecuali tempat-tempat sejenis Crossroads di Cape Town. Itulah permukiman kulit hitam yang terkenal jorok dan mesumnya. Para perencana apartheid membayangkan bahwa 70% penduduk dapat dipepetkan seperti ikan kalengan tanpa mengeluh ke dalam suatu daerah yang merupakan 13% dari luas seluruh negeri. Dan daerah celaka itu tentunya bukan kawasan subur. Sistem perkampungan, jadinya, musnah. Dengan konstitusi baru, mereka bagai ingin kembali ke zaman Romawi. Yang berkulit hitam pastilah tidak masuk hitungan. Tiga jenis ras lainnya, kulit putih, kulit berwarna (di sana berarti berdarah campuran, Indo), dan orang Asia (India) diakui harkatnya. Merekalah yang duduk di kursi parlemen untuk "urusan" yang berbda, dalam tiga bahasa yang berlainan, dan kamar yang tidak sama (tricameral). Konstitusi sudah harus dapat diberlakukan pada akhir tahun ini. Yang pertama-tama harus dipilih adalah badan pembuat undang-undang untuk golongan Asia dan kulit berwarna. Pembagian kekuasaan diatur berbanding 4: 2: 1. Yang 4 mudah ditebak: kulit putih. Yang 2 kulit berwarna, dan yang 1 tentunya orang Asia. Orang kulit putih, kendati pendatang, berjumlah 41/2 juta jiwa. Orang Asia 800 ribu dan kulit berwarna 2,8 juta jiwa. Mayoritas penduduk Afrika Selatan yang tak masuk hitungan adalah orang kulit hitam yang berjumlah 22 juta orang. Mereka tidak dianggap warga-negara! Konstitusi yang direvisi itu berurat berakar pada beberapa hukum apartheid yang paling bersifat Draconia. Sesuatu yang diberi nama Akta Tata Tertib Gerak Gerik dan Permukiman Orang Kulit Hitam ditangguhkan beberapa kali, belakangan malah dimatikan. Kalaupun diberlakukan, rencananya disertai penggalakan peraturan lalu lalang, seperti pemberlakuan surat pas bagi tiap orang kulit hitam. Di dalamnya tentunya termasuk juga pengawasan terhadap masuknya orang-orang dari kawasan pedalaman dan desa-desa. Semua ini tampaknya masih belum memadai, karena ada tanda-tanda keluarnya peraturan baru untuk meningkatkan pengawasan terhadap gerak gerik orang kulit hitam. Orang kulit hitam, meskipun terus diburu, sedapat-dapatnya mencoba bertahan - dan sejauh ini mampu bertahan. Mereka hanya hengkang jika diusir. Itu pun jika permukiman mereka dikepung dan digusur dengan buldoser - untuk kemudian kembali berdiri, kendati berpencaran. Tetapi akhirnya mereka tersudut juga, lalu terjaring untuk digiring ke pembuangan di luar kota. Demikianlah, lingkaran itu berputar dan berulang kembali dan pada setiap pengulangan akan disertai meningkatnya suhu kekecewaan dan keputusasaan. Orang-orang desa yang mengais-ngais rezeki kota dan hanya tahu samar-samar tentang surat pas celaka itu berikut pembersihan pihak keamanan dan ketertiban, tentunya, kenal benar dengan tempat-tempat seperti Jalan Albert 80 di Johannesburg. Di sinilah secarik surat pas - yang resminya disebut "buku referensi" - dikeluarkan. Mengurus pas laknat itu yang menjadi semacam paksaan legal bagi yang ingin hidup di kota dan memperoleh pekerjaan - adalah pengalaman pahit yang terus berlanjut sepanjang seseorang harus terus memilikinya. Bagi Jalan Albert 80 dan semua kantor pengurusan pas sejenis di seluruh negeri, tugas "terhormat" yang dibebankan kepada mereka ternyata dapat memberikan bentuk jalan kehidupan setiap orang kulit hitam. Di sinilah, kata orang-orang, "kita mulai diajar kenal dengan kehidupan." Semua orang hitam Afrika Selatan, laki perempuan, asal di atas usia 16 tahun, harus memiliki surat pas sontoloyo itu. Tetapi sebelum mendapatkannya mereka harus bonyok dan babak belur dulu. "Penyiksaan" dimulai dengan berkali-kali memberikan sidik jari - sedikitnya lima atau enam kali. Habis itu diteruskan dengan pengambilan sinar tembus dan aneka pemeriksaan kesehatan lainnya. Cara-cara ini disebut oleh penulis karangan ini sebagai "menjebloskan si hitam ke rumah sakit gila - tak kurang seperti menjalani hukuman penjara". Bayangkan. Antrean untuk mengurus pas itu sudah dimulai pagi-pagi sekali, sekitar pukul enam. Dan panjangnya - ya, ampun - melingkar-lingkar seperti ular mengitari gedung yang angker itu. Di tiap pintu dan gerbang berdiri abdi polisi berkulit hitam, yang berusaha tampak angkuh di balik seragamnya. Beribu-ribu orang - pucat dan menakutkan bagai hantu yang gentayangan di siang hari - menanti dengan tak sabar giliran mendapatkan surat pas yang menjadi segalanya bagi kehidupan, pekerjaan, perkawinan, dan kematian. Bahkan untuk bisa dengan leluasa melenggang keluar masuk kota. Dan cukup mahal. Lihat betapa antrean merangkak perlahan, kendati di dalam gelisah. Pada sebuah pintu gerbang, seorang agen polisi yang berwajah masam dapat menjadi penentu nasib calon pemegang surat pas. Dan siapa berani menyalahkan dia? Pekerjaannya mungkin satu-satunya yang berarti yang dapat diraihnya di kota itu - karena itu boleh sombong, dong! Dan untuk membuktikannya, seorang pengantre yang salah adat sedikit dapat dikirim ke buntut antrean. Artinya, harus merangkak lagi dari awal. Izin masuk ke Jalan Albert 80 yang keramat adalah secarik kertas berwarna tanpa nama pemegangnya. Karena itu, seorang pelamar kertas pas harus memegangnya erat-erat, seperti menggenggam tali nyawanya sendiri. Kertas itu yang "memperbolehkannya" masuk, ke dalam sebuah kraal yang sesak padat dengan orang. Pemandangannya bagaikan masuk ke halaman sebuah penjara - beribu-ribu orang di dalam cengkaman ketakutan, putus asa, dan tanpa harapan. Semuanya dalam harap-harap cemas mengangguk-angguk dan membungkuk-bungkuk di hadapan para paduka petugas yang berpekerti buas. Kalau perlu dengan merugikan rekan-rekannya sendiri. Celakanya, mereka baru benar-benar berada di antrean yang betul setelah bertarung habis-habisan. Walau sudah berada di dalam antrean yang benar, belumlah berarti perjuangan sudah selesai. Di ujung antrean masih diperlukan perjuangan lain yang tak kalah seru. Seseorang diperintahkan maju ke deretan meja yang ditunggui petugas kulit putih dan hitam beberapa orang putih terang-terangan menyelipkan sepucuk pistol di pinggangnya. Detail-detail riwayat hidup dijejalkan ke dalam formulir, dirapikan menurut aturan kearsipan dan kemudian diumpankan ke komputer. Sejumlah orang malang boleh jadi harus menunggu beberapa hari lagi, antara waswas dan harap-harap cemas, sampai datang jawaban dari komputer utama di Pretoria. Bangunan dalam gedung tampak bersih dan asri ketimbang bagian luarnya yang kumuh dan lusuh. Di jajaran meja-meja, beberapa orang putih dan hitam lainnya meriakkan nama-nama - Tuhan tahu apa akibatnya jika yang bersangkutan tidak mendengarnya. Dengan sebuah coretan pulpen, si hitam mendapat pengesahan untuk dikirim ke Johannesburg atau ke Cape Town. Bisa juga ke kampung asalnya di pedalaman, atau malahan ke penjara. Tempat itu, seperti dipersiapkan, bersuhu amarah, dendam, dan ketakutan. Sekarang, jika akhirnya seseorang menggenggam surat pas di tangannya, ia seolah merasa semua kesulitan sudah berlalu. Ia mengibas-ngibaskannya bagaikan sebuah medali, dengan cara seolah-olah baru saja menaklukkan dunia. Berbentuk buku yang dibungkus dengan sampul mirip kulit, surat itu memuat segala data tentang si pemegang: nama, alamat, pasfoto, sidik jari, suku, dan pengalaman kerja. Surat pas seperti hendak merangkum seluruh catatan kehidupan seseorang hanya dalam beberapa lembar kertas. Dengan itu, seseorang menganggap dirinya sudah bebas melenggang di jalan-jalan. Buat mendapatkan pekerjaan. Atau dengan kepala tegak menunjukkannya kepada Banpol atau Hansip yang mencegatnya di persimpangan. Tetapi belum selesai. Ia harus rela disentakkan kembali ke dunia kenyataan yang keras, saat harus kembali masuk antrean untuk mendapatkan stempel atau izin kerja. Stempel jahanam itu menyatakan bahwa yang bersangkutan telah menjalani pemeriksaan kesehatan dan diperbolehkan memasuki kawasan putih Afrika Selatan untuk mendapatkan pekerjaan. Prosedur terakhir ini barangkali awal dari penghinaan ras yang paling keji. Antara 30 dan 40 laki-laki menunggu di kamar itu. Inilah saatnya ditelanjangi oleh dokter, satu demi satu. Yang mendapat giliran harus mencopot jaketnya, kemeja, dan pakaian dalam, lalu berdiri menanti, sambil termangu menatapi tumpukan pakaiannya yang bergeletakan di lantai. Antrean setengah telanjang, dari pinggang ke atas, itu bergerak perlahan, sambil meredam rasa malunya, ke arah perangkat sinar tembus. Seorang petugas muda kulit hitam berkemeja putih melangkah lamibat-lambat sepanjang antrean, lalu menarik lengan kanan atau kiri seorang di antaranya dan mengoleskan sejenis cairan obat yang rasanya pedas. Demikian seterusnya. Sementara orang yang bersangkutan mulai merasakan kekebalan pada permukaan kulitnya, seorang petugas lain datang mencucukkan sebatang jarum ke dalam dagifgnya. Tubuh-tubuh yang telanjang kemilau itu melanjutkan kembali antreannya. Kini ke arah perangkat sinar tembus. Hanya bagian dada yang akan menjadi sasaran, dan yang mendapat giliran harus cepatcepat melangkah ke landasan kecil lalu menempelkan dadanya ke peralatan yang dimaksud. Tangannya terjuntai lunglai, wajahnya tertolol-tolol sehingga harus didorong ke posisi yang benar oleh petugas. "Bernapas. Bukan. Keluar . . . keluar," kata petugas itu. Lalu, "Ya. Berikutnya!" Orang itu bernapas lega setelah selesai melalui pemotretan sinar tembus, tinggal lagi sekarang menanti kejutan berikutnya. Penghinaan mencapai puncaknya. Seorang kulit putih berkemeja putih duduk membaca secarik kertas putih. Seorang kulit hitam, kemejanya juga putih berkanji, di depannya. Akhirnya, sampai juga ke tangan para dokter - yang untuk mencapainya.harus melalui antrean panjang berhari-hari. Lelaki hitam itu memegang berkasnya, gemetar dalam ketakutan. " Vulva!" (buka) kata seorang dokter dengan suara menggelegar. Si hitam terkepak kaget, lalu mengkerut memandang tutup celananya, dan membukanya. Dengan tindihan rasa malu dan segan kepada si putih ia serahkan berkasnya kepada dokter, yang segera menyambarnya. Orang hitam yang malang itu barangkali sempat merasa girang memikirkan bahwa si putih tentunya sudah sangat muak dengan keadaan begitu-begitu saja saban hari dan jadinya tak teliti. Terutama menghadapi massa setengah telanjang, dalam berbagai bentuk dan ukuran. "Oke. Berikutnya. Vulva! Lainnya." Lelaki itu tertanya-tanya sendiri bagaimana jika ia datang dengan membawa serta penyakit. Tentulah segalanya menjadi kacau, dan berbalik ganas. Tapi ia tidak akan kaget jika ada seseorang berpenyakit kelamin tiba-tiba dilemparkan dengan keji ke luar pintu. * * * Penghinaan seperti itu jarang dibeberkan. Karena itu, tidak pernah didengar kebanyakan masyarakat putih Afrika Selatan. Tidak pula oleh para "utra bumi pertiwi" yang begitu berhasrat enyah dari kampung halamannya ke lingkungan masyarakat kota. Penghinaan yang berlangsung saban hari tidak sempat menggapai golongan yang memiliki hak "satu kepala satu suara". Bagi pemerintah Afrika Selatan, tindakan mempermalukan ini justru menjadi senacam berkah. Kaum laki-laki dengan cara itu dikebiri menjadi banci. Perlakuan yang memencilkan dan merendahkan menimbulkan rasa rendah diri. Membuat kulit hitam Afrika Selatan akhirnya terpaksa merasa "nyaman" di bawah tekanan dan penindasan. Program besar-besaran dan terencana itu' menggusur seluruh bangsa kulit hitam negeri itu ke lembah pembuangan yang paling hina. Baik secara fisik maupun psikologis. Itu adalah program pemusnahan yang bahkan si hitam yang paling awam pun tahu akan berlangsung tanpa batas waktu. Skenarionya satu dimensi. Dan bagi Afrika Selatan, yang tidak terbilang negeri susu dan madu, hasilnya bagi yang berkepentingan cukup baik. Negeri itu cukup mendapat siraman matahari, sebagian besar penduduk mendapatkan tanah yang kecil, sedang yang lainnya mendapatkan bagiannya yang jauh lebih besar. Sebagian besar penduduk kota kulit hitam - yang merupakan kelompok kecil - dan sejumlah elite hitam di luar kota, hidup cukup enak walaupun dengan cakar-cakaran. Di tempat-tempat seperti Soweto terdapat hanya sedikit pengemis. Rakyat mampu bertahan, dan - anehnya - sejumlah besar good will berhasil menembus garis warna kulit. "Sistem" - yang diucapkan dengan nada miring itu menciptakan masyarakat kelas menengah kota kulit hitam. Mereka boleh jadi akan menjadi bantal pengganjal jika pemberontakan mayoritas negeri itu - kulit hitam - pecah. Kelas menengah hitam ini mungkin akan menumpulkan pengaruh revolusioner, kecuali kalau mereka diberi kebebasan untuk membentuk serikatserikat buruh. Inilah yang kini sedang berjalan, sehingga berdirilah berbagai organisasi besar di berbagai bidang: pers, industri mobil, industri berat dan- ringan, dan sebagainya. Mereka telah sering mengisyaratkan pemogokan, yang jika terjadi akan menimbulkan situasi yang meletup-letup. "Banyak pegawai kerah putih, termasuk saya sendiri, mendirikan rumah-rumah mewah di kawasan hitam yang sudah dipersolek dan dengan ganjen diberi nama-nama sejenis 'Taman Pilihan' dan 'Taman Elite'," tulis Klaaste. Banyak orang kulit hitam memiliki mobil sendiri. Dan kaum politisi karenanya sering berceloteh tak habis-habisnya tentang kota-kota hitam sejenis Soweto yang memiliki lebih banyak mobil ketimbang banyak kota Afrika lainnya. Sejumlah kecil usaha kaum hitam mulai berkembang dan, dengan kerja sama dengan orang kulit putih, perusahaan-perusahaan dagang umum raksasa terus-menerus membuat mesin hitung uangnya berbunyi nyaring. Lebih banyak lagi para pelajar hitam masuk pendidikan tinggi, kendati pendidikan negeri buruk sekali. Sebagai penulis, demikian Klaaste, saya dapat memberikan kecaman yang agak seru terhadap sistem yang berlaku, bahkan di bawah sensor pers yang keras. Iklim demokrasi yang lancung di Afrika Selatan bisa membikin pendatang tergamanggamang, bahkan ketakutan. Para penanam modal asing dan berbagai perusahaan multinasional, herannya, tidak mengemukakan keluhannya. Negeri itu tenang-tenang saja dari segi ekonomi dan militer. Negeri itu benar-benar bisa dianggap terbaik di dunia. Tragis. Jika saya diperbolehkan "bebas" mengemukakan pendapat tanpa rasa takut dijebloskan ke dalam penjara, mengapa saya bertingkah bagaikan galisaat melihat polisi? Apartheid telah menyebabkan timbulnya psychotic paralysis (kelumpuhan akibat sakit jiwa) yang membuat Afrika Selatan tidak akan mampu memecahkan semua permasalahannya. Peraturan-peraturan seperti pemilikan buku pas adalah kenyataan yang menyakitkan. Apa perlu setiap laki-laki dan perempuan hitam disetop saban waktu dan di sembarang tempat untuk ditanyai buku pasnya - dan kalau tidak punya bisa disurukkan ke dalam penjara. Tidak perlu apa yang disebut "kampung halaman". Juga sulit diterima adanya parlemen tiga kamar (tricameral) yang begitu menghinakan hak si kulit hitam - yang hanya menciptakan perpcahan tak berujung, dan menggalakkan politik apartheid. Situasi dalam negeri yang demikian itu, yang ditopang oleh angan-angan apartheid, tambah melambung-lambung pada bulan Maret lalu. Yaitu ketika negara hitam yang bertetangga yang pemerintahnya dikuasai kaum sosialis menandatangani pakta nonagresi dengan Afrika Selatan. Dengan itu mereka percaya bahwa semua persoalan di antara mereka bisa selesai dalam sekali raup. Prakarsa damai dengan negeri-negeri bertetangga, termasuk Swaziland, ditandatangani karena harga yang lebih tinggi harus dibayar semua pihak yang berkonfrontasi akibat persoalan apartheid. Yang tampaknya hendak dibenahi adalah gejala embel-embelnya, dan bukan persoalannya yang sejati. Jadi, untuk kesekian kalinya orang kulit hitam Afrika Selatan dikelabui dan dikhianati. Sebagian besar kulit hitam Afrika Selatan dan sejumlah kulit putihnya pernah mengidam-idamkan konvensi nasional yang dapat mengikutsertakan golongan hitam ke dalam kancah politik. Dewasa ini idam-idaman itu telah hancur berantakan. Persetujuan perdamaian antara pemerintah kulit putih Afrika Selatan dan tetangga-tetangganya yang hitam mendorong lahirnya suatu kesadaran bagi kaum hitam Afrika Selatan: mereka harus berjuang sendiri demi kemerdekaan dan kebebasannya. Terutama bagi si hitam yang lebih radikal. Mereka menganggapnya sebagai ancang-ancang atau sinyal awal pertarungan hitam dengan putih di negeri itu. Afrika Selatan yang pecah-pecah suatu ketika mungkin menguntungkan bagi golongan hitam Afrika Selatan, asal mereka bersatu. Sementara itu, rasa sukacita di kalangan ras hitam yang terhina itu hanya perasaan paling tidak bahwa mereka memiliki dirinya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini