Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lahirnya taro san, si jepang muda

Ranan r. lurie, karikaturis kenamaan dikontrak koran jepang, asahi shimbun. ia melahirkan tokoh taro-san yang diharapkan akan diakui sebagai lambang karikatur nasional jepang. (sel)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ada karikaturis yang paling berpengaruh dan paling sukses di dunia, tak pelak lagi, dialah Ranan R. Lurie yang dapat dikenali dari gambar matahari kecil dalam tiap karikaturnya. Salah satu bukti ukuran sukses Lurie ialah, namanya tercantum pada Guinness Book of Records. buku yang mencatat segala sesuatu yang serba ter . . . di dunia. Dalam edisi 1984 Guinness Book of Records mencatat Lurie sebagai karikaturis yang karya-karyanya paling luas disiarkan di dunia. Lewat sindikat pers, karikaturnya dimuat oleh 400 surat kabar, di 51 negara, dengan seluruh sirkulasi 62 juta! Karikatur Lurie bersifat politik: pelbagai masalah internasional yang sedang hangat. Ciri khas karikaturnya: lucu tapi amat tajam, sedang garis-garisnya sederhana saja. Dan jarang sekali ia memberi keterangan tambahan (teks) pada karikaturnya. Dengan kata lain, gambar yang dibuatnya sudah cukup kuat membawa pesan yang hendak disampaikannya. Edisi internasional majalah berita mingguan Newsweek pada tahun 1970-1972 tiap minggu menyediakan satu haIaman penuh untuk karikatur politik Lurie, dan sekali-sekali koran-koran. Indonesia sampai kini suka juga memuat karikaturnya. Dengan prestasinya ini, tak mengherankan Lurie dianggap sebagai "raja" karikatur dunia. Sehingga, kwan Israel Jerusalem Post berseloroh, "Seandainya bentuk kerajaan diberlakukan kembali pada ketatanegaraan Israel, maka calon paling kuat penyandang mahkotanya tak lain tak bukan ialah Ranan R. Lurie." Dia memang orang Yahudi meski dilahirkan di Port Said (Mesir) pada 26 Mei 1936 Kedua orangtuanya adalah warga negara Israel, dan Lurie dibesarkan di Tel Aviv. Setelah menyelesaikan pelajarannya di Jerusalem Art College tahun 1951, ia bekerja di berbagai surat kabar Israel di Tel Aviv sebagai karikaturis politik dan redaktur features. Sampai kini ia sudah 22 kali memamerkan karyakaryanya di AS, Kanada, dan Israel sendiri. Selama delapan tahun berturut-turut (1971-1978) ia meraih gelar Karikaturis Tajuk Rencana Terbaik dari Perhimpunan Karikaturis Nasional di AS, negeri yang jadi tempat tinggalnya sejak 1968. Enam tahun kemudian ia mendapat kewarganegaraan AS. Sejak 1981 ia pindah ke London dan bekerja untuk surat kabar Times. Februari tahun lalu ia dikontrak selama setahun oleh surat kabar Jepang berpengaruh Asahi Shimbun, sebagai analis politik senior dan karikaturis. Ia benar-benar diperlakukan sebagai raja oleh surat kabar itu, seperti ditulis Alan Booth di majalah Winds. Tidak seperti redaktur lainnya, kepadanya diperbantukan seorang sekretaris berkebangsaan Jepang yang pandai berbahasa Inggris. Anggaran belanja untuk dia setingkat dengan pimpinan perusahaan. Celakanya, sekretarisnya begitu tertarik kepada Lurie, sehingga ia minta cerai dari suaminya dan minta kawin dengan Lurie. Sayang, gagal, dan akhirnya si sekretaris digantikan oleh orang lain. Fasilitas lain yang disediakan: sebuah limusin berikut sopir yang bisa dipakai setiap saat, di samping hak menggunakan pesawat helikopter perusahaan. Kontak-kontak sosial yang dilakukannya termasuk makan siang berdua saja dengan PM Jepang Nakasone. Pada suatu jamuan makan malam untuknya disediakan tempat di sebelah tempat duduk Pangeran Mikasa, saudara Kaisar Hirohito. Kegiatannya sebagai wartawan termasuk wawancara khusus dengan presiden Korea Selatan Chun Doo Hwan (tapi, kata Lurie, akhirnya dialah yang diwawancarai sang presiden) dan Ferdinand Marcos dari Filipina. Dalam pertemuannya dengan Marco terjadi insiden karena Lurie meminta kepala negara itu diuji dengan lie detector (alat pencatat kebohongan). Tindakan ini menyebabkan dia dicaci maki "kurang ajar". Bulan Maret lalu Lurie mengakhiri kontraknya dan mendapat penghargaan istimewa dari Asahi Shim bun yang lazimnya hanya diberikan kepada pegawai yang sudah bekerja selama 25 tahun. Ia juga orang pertama yang mendapat gelar Anggota Kehormatan Luar Biasa seumur hidup surat kabar itu. Lurie menyatakan "sangat puas" dengan pengalamannya setahun tinggal di Jepang dan bekerja di Asahi Shimbun. Tujuan Asahi Shimbun mengontraknya memang untuk promosi koran itu, yang sirkulasinya untuk edisi bahasa Jepang (pagi dan sore) berjumlah lebih dari 12 juta, sedangkan untuk edisi bahasa Inggris 37.500 eksemplar sehari. Di bawah tanda tangan Lurie pada tiap karikaturnya selalu dicantumkan nama Asahi Shimbun, dan karena karikatur Lurie disiarkan pula oleh ratusan koran di seluruh dunia, nama Asahi Shimbun pun ikut termuat. Keputusan surat kabar Jepang terkemuka itu untuk mengontrak Lurie dinilai sebagai tindakan berani. Masyarakat Jepang yang masih teguh pada tradisi dan tebal sifat ketimurannya itu memang tidak mudah menerima gaya karikatur Lurie yang serba tajam. Profei karikatur politik adalah suatu profesi yang serba ekstrem, kata Lurie suatu profesi dengan ketajaman mata pisau. Ia merupakan profesi yang menyusup, yang menusuk balon - balon kemasabodohan, balon keangkuhan. Ia merupakan profesi yang "serba pertama" yang harus siap lebih dulu sebelum orang lain. Karikatur politik merupakan profesi yang paling individualistis di kalangan media. Dalam karikatur itu kita harus memberikan pernyataan, mengambil risiko. Sebuah karikatur berlawanan dengan konsensus, musyawarah, yang di Jepang masih merupakan ciri kuat masyarakat dan persnya. Mana mungkin lukisan Mona Lisa, misalnya, dibuat berdasarkan musyawarah? Seorang karikaturis politik adalah bagaikan Indian pemandu jalan, dan apabila si pemandu berusaha menemukan jalan untuk seluruh pasukan, ia harus merambah jalan sendiri di hutan. Tak ada yang akan menolongnya. Ia harus punya pisau yang tajam, yang sama dengan interpretasi tajam atas peristiwa-peristiwa yang harus dimiliki seorang karikaturis... Sedangkan masyarakat dan pers Jepang tidak suka hal-hal yang serba tajam. Orang-orang Jepang tak suka menjadi "yang pertama". Seorang karikaturis di Jepang, tambah Lurie, akan menyerahkan karyanya kepada seorang redaktur dan dari sana akan menuju ke redaktur lainnya, lalu ke redaktur layout (tata muka), ke redaktur politik, lalu ke redaktur pelaksana - dan setiap orang dari mereka ini punya hak menolak karikatur itu. Jadi, karikaturis Jepang yang malang itu walaupun berpikir mendahului waktunya akhirnya menghasilkan karya yang saya sebut karikatur "yang bundar" yang tidak menyinggung pihak mana pun dan sesuai dengan sikap surat kabar itu. Kalau saya perhatikan karikatur Jepang, saya merasa seakan seseorang yang menemukan mobil Rolls Royce yang cantik diparkir di halaman rumah. Dan orang menggunakan mobil itu untuk menggantungkan jasnya, seakan lemari pakaian besar yang beroda. Sedangkan surat kabar yang baik menurut pengertian Barat, ujar Lurie masih mengemukakan pendapatnya, bagaikan peramal cuaca yang berusaha meramalkan cuaca secara tepat, sehingga pembacanya bisa tahu apakah mereka perlu memakai payung atau mereka bisa keluar rumah dengan pakaian renang saja. Surat kabar Jepang adalah peramal yang ingin membuat pembacanya merasa senang dan tenteram, dan karena itu selalu meramalkan cuaca yang biasa-biasa saja. Akibatnya, pembaca keluar rumah tanpa membawa payung, dan kena pilek. .. Kehadiran Lurie di Asahi Shimbun sebenarnya agak janggal. Surat kabar itu pada umumnya dianggap yang paling liberal (bisa juga dikatakan termasuk "sayap kiri" kalau istilah itu memang punya arti di kalangan masyarakat Jepang) di antara surat-surat kabar terkemuka Jepang dewasa ini. Sedangkan pandangan politik Lurie benar-benar konservatif. Ia sendiri mengaku bahwa ia termasuk salah seorang dari sedikit pendukung PM Nakasone di staf Asahi. Menurut Lurie, Jepang merupakan bagian dari Barat dan bergantung kepada Barat. Asahi Shimbun beranggapan, Jepang seharusnya bersifat netral mutlak dan bersikap hati-hati memanfaatkan keuntungan yang diperolehnya dari Barat. Lurie menyatakan, Jepang sangat beruntung karena tak perlu mengeluarkan lebih dari 1% dari GNP (Pendapatan Nasional Kotor)-nya untuk pertahanan, yang memungkinkannya bersaing dengan mudah di pasaran Barat sambil menikmati payung perlindungan Barat yang strategis. Di samping itu, Asahi Shimbun di mata Lurie adalah surat kabar yang sangat nasionalistis dan, sebagaimana galibnya pers Jepang, sangat mahir mengubah ambisi-ambisi ekonomi yang hampir murni menjadi kebenaran politik. Pada minggu-minggu pertama, Lurie mengalami banyak kekecewaan dengan cara kerja koran itu. Pemuatan karikatur sering ditunda, menunggu tulisan yang sesuai. Sedangkan bagi Lurie, jika karikatur yang bersifat tajuk rencana tidak segera dimuat, ia akan jadi seperti sop kemarin sore. "Dan kadangkadang penundaan itu bisa mengakibatkan sop itu jadi racun," tambahnya. Ia memberi contoh, karikatur yang sebaiknya dimuat tanggal 1 Maret, tapi baru dimuat 30 Maret, sudah akan sangat berlainan artinya. Suatu ketika, karikaturnya mengenai rencana penggabungan perusahaan mobil General Motors (AS) dan Toyota (Jepang) ditunda pemuatannya selama sepuluh hari. Baru dimuat sebagai ilustrasi artikel yang ditulis koresponden mereka di Amerika. Ia menyesalkan kenapa sebelum memuat karikatur itu, redaksi tidak memberitahu dia, sehingga ia bisa membuat penyesualan. Kesulitan lebih serius timbul karena kebijaksanaan Asahi yang tak ingin menyerang orang-orang penting, sehingga salah satu karikatur Lurie dirombak untuk mematuhi ketentuan itu. Ia terpaksa mendamprat pimpinan redaksi sambil mengingatkan bahwa, berdasarkan kontrak, campur tangan seperti itu tidak dibenarkan. Padahal, yang diubah hanyalah kata-kata Lurie, "Qadhafy yang Sinting" (Kolonel Qadhafy merupakan salah satu sasaran karikaturnya), menjadi hanya "Qadhafy" saja. Ini terjadi ketika ia belum lama bekerja, dan setelah mengajukan protes, barulah Lurie puas dengan janji bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi lagi. Tapi menjelang kontraknya berakhir, karikaturnya tentang kematian Andropov dicabut. Karikatur itu melukiskan jasad seseorang diangkat dari sebuah usungan untuk digantikan dengan jasad lain, diiringi teks "Sang Kamrad sudah wafat Hiduplah sang Kamrad!" Alasan pencabutannya adalah karena Asahi tidak pernah menyerang kepala negara . Secara keseluruhan, kata Lurie, "Hanya sekitar tiga persen karikatur saya yang menimbulkan pertentangan di kalangan redaksi, sementara yang lainnya tetap dimuat, meski bertentangan dengan sikap koran itu." Dikatakannya, Asahisangat fair96% atau 97% -, meskipun untuk itu ia harus bersikeras. "Tapi mereka sangat luwes," tambahnya, "dan saya kira, untuk jangka panjang, kami saling belajar." Ada satu hal yang disepakati Asahi dan Lurie dianggap prestasi puncak kerja sama mereka. Kesepakatan itu: lahirnya tokoh Taro-san. Mereka berharap, tokoh karikatur yang diciptakan Lurie ini akan diakui dunia sebagai lambang karikatur nasional Jepang - sebagaimana John Bull diakui menokohkan Inggris dan Paman Sam mewakili Amerika Serikat. Sebelum Taro-san lahir, Jepang memang tak punya tokoh karikatur nasional. Personifikasi Jepang yang ada dalam karikatur negeri itu merupakan stereotip propaganda zaman perang: sosok kecil, culas dan muram, bersembunyi di balik kaca mata besar dengan gigi yang mencuat. Sejak semula Lurie sudah menyatakan niatnya untuk mengubah tokoh itu secara menyeluruh. Ketika Taro-san masih berupa rkonsep, ia menggambarkan tokoh baru itu sebagai "pembawa misi." Katanya, "Ia akan merupakan perlambang Jepang yang bertampang menyenangkan dan baik.". Menurut dia, Jepang berhak punya gambaran serupa itu, "Karena mereka memang lebih menyenangkan daripada yang kita kenal dari luar." Sebelum Taro-san lahir, Lurie menggambarkan tokoh Jepang dalam berbagai cara. Ia paling sering menggunakan karikatur PM Nakasone untuk menggambarkan golongan Jepang yang mapan. Dalam karikaturnya yang pertama di Asahi, ia menampilkan Nakasone berpakaian lapis baja samurai sambil berkata: "Amerika adalah tombaknya, kita perisainya." Lahirnya Taro-san sedikit banyak didorong oleh reaksi kurang sedap yang diterima Lurie terhadap upayanya menggambarkan Jepang dalam karikatur. Pada bulan Juni 1983, dua karikaturnya muncul selama dua hari berturut-turut. Yang pertama memperlihatkan lomba lari di lapangan yang bertuliskan "Pertumbuhan Ekonomi". Para pesertanya, Inggris, AS, dan Jerman Barat, digambarkan sebagai atlet bermuka murung sedangkan Jepang sebagai robot sedang tersenyum. Karikatur keesokan harinya memperlihatkan bayangan wajah di belakang pintu terkunci rapat bertuliskan "Jepang" mengat?kan "Selamat Datang! Selamat Datangl'' kepada seseorang yang membawa barang impor dengan tampang bingung. Mungkin karena menyadari bahwa karikatur semacam itu dapat melahirkan rasa kurang senang di kalangan Jepang, Lurie mulai mencari "tokoh baik". Dan ini dilakukannya bulan itu juga. Usahanya tentu menggembilakan para redaktur Asahi. Bersamaan dengan hari Lurie mengumumkan rencananya, Wakil Redaktur Pelaksana Kensuke Shirai menulis: "la berhasrat sekali menciptakan tokoh karikatur Jepang yang representatif, yang mencerminkan kehalusan, kecakapan, tradisi, sikap modern..." Padahal, beberapa rekan Jepang'nya setelah rencana itu agak jelas - jadi khawatir, jangan-jangan Lurie akan menciptakan tokoh "manis" yang jauh berbeda dari kenyataan. Tapi ini segera disadari, "Kalau orang Jepang menemukan sendiri simbol karikatur nasional Jepang yang mereka anggap ideal," kata seorang wartawan, "mungkin yang mereka dapatkan adalah Clark Gable." Ketika "tanggal lahir" tokoh karikatur Taro-san makin dekat, kalangan politisi dan diplomatlah yang memperlihatkan reaksi gembira, sementara pihak lain menunjukkan salah pengertian. Pada 12 Agustus, dalam acara makan siang pribadi, Perdana Menteri Nakasone merupakan orang pertama yang melihat simbol itu dan langsung mengumumkan bahwa tokoh itu akan menjadi duta yang sangat penting bagi Jepang. Nakasone tampaknya demikian gembira, hingga salah seorang pembantu dekatnya menyarankan secara pribadi kepada Lurie agar tokoh simbol itu dinamai "Nakasone". Tapi ketika makan siang itu, Perdana Menteri diminta memilih dua nama: "Sato-san" dan "Taro-san". Yang dipilih yang terakhir. "Sato" adalah nama keluarga, sedang "Taro" nama kecil. Meski nama kecil jarang dipakai di Jepang kecuali antara kawan akrab, pilihan PM Nakasone tampaknya dipe, iaruhi kebiasaannya menggunakan nama kecil yang tersiar luas dalam hubungannya dengan Presiden Reagan. Mungkin juga ia tak setuju nama "Sato" karena itu nama salah seorang PM Jepang pendahulunya. Tapi yang lebih penting, "Taro" adalah nama yang paling sering dipakai untuk tokoh pahlawan dalam dongeng Jepang. Misalnya Momo-Taro, yang lahir dari buah persik, atau Urashima-Taro, yang mengunjungi kerajaan bawah laut. Jadi, nama itu lebih mengena bagi orang Jepang - termasuk PM Nakasone - sebagai pencerminan kepahlawanan yang suci. Ciri ini sangat kentara pada karikatur Taro-san pertama yang terbit 25 Agustus. Digambarkan John Bull, Paman Sam, dan Marianne dari Prancis, semuanya kurus kering dan loyo, dan berkata "Silakan di tempatmu, Taro-san" (atau, dalam versi Jepang, "Bantulah kami, Taro-san") ketika mereka berusaha mengangkat barbel dengan sebuah bola dunia di kedua ujungnya. Taro-san menghampiri mereka sambil berjingkrak-jingkrak, penuh semangat, wajahnya tersenyum lebar, mengacungkan kedua tangannya dengan jari-jari membentuk huruf "V" ( Victory atau Kemenangan). Dari situ jelas pula, seperti kata Lurie, bahwa Paman Sam dan John Bull pada dasarnya diciptakan oleh musuh-musuh Amerika dan Inggris. Taro-san diciptakan oleh sahabat Jepang. Reaksi publik sudah bisa diduga. Bulan Oktober Yoichi Funabashi, kolumnis ekonomi untuk Asahi Shimbun, menulis, "Taro-san merupakan penemuan menyegarkan yang kepadanya orang-orang Jepang mulai merasakan sikap kekeluargaan yang bersahabat . . . " Sebuah karikatur Lurie lain berjudul "Para Pemenang Masa Depan" menggambarkan Paman Sam dan Taro-san naik ke ring tinju dan memukul KO "kemiskinan," "proteksionisme", dan "rintangan perdagangan". Dalam tanggapannya, Presiden Ronald Reagan menyatakan, Taro-san sebagai "duta itikad baik" yang akan membantu Jepang dan AS "jalan terus sebagai rekan di Pasifik." Duta besar AS di Tokyo, Mike Mansfield, yang disebut Lurie "salah seorang pendukung terkuat Taro-san", menggambarkan tokoh baru itu sebagai "sahabat kecil yang mewujudkan kelahiran kembali bangsa kuno ini. Perangainya mungkin menunjukkan jiwa muda dan semangat bebas, tapi di tangan Lurie tak pelak lagi ia akan tetap sadar akan masa lampau Jepang yang besar, agung dan mulia." Sementara itu, di pihak lain, para duta besar negara-negara yang karena alasan sejarah tak mempercayai Jepang secara sendiri-sendiri mengeluh kepda Lurie bahwa ia, "Telah memberikan servis yang luar biasa kepada Jepang yang sebenarnya tak berhak memperolehnya". Mereka mengatakan bahwa Taro-san terlalu ganteng, terlalu suci, terlalu bersahabat. Mereka bilang juga, "Ini bukan Jepang." Mereka mengeluh lagi bahwa Taro-san tampak terlalu terbuka, terlalu terus-terang. Lurie menangkis semua itu dengan mengatakan, "Hendaklah diperhatikan bahwa Taro-san terutama mewakili angkatan muda Jepang yang sudah berubah dan tentu saja akan terus berubah lagi. Dari kalangan Jepang pun ada kecaman. Bulan November Pengarang Hisashi Inoue menulis: "Bagi kita, Taro-san tampak seperti orang asing. . . Kita berpendapat bahwa hakikat orang Jepang tak dapat diungkapkan, dan karena itu tak dapat dipahami orang asing . . . Taro-san mengejutkan saya sebagai sosok tanpa watak. . ." Beberapa keberatan lain yang dicatat Lurie dari kalangan orang Jepang: "la terlalu muda, matanya terlalu kecil, rambutnya acak-acakan, dan ia memakai hachimaki, kain pengikat kepala. Di lepang pemakaian kain ikat kepala ini bisa menimbulkan macam-macam tafsiran. Kalau kain itu berupa handuk kecil biasa, berarti Taro-san berasal dati kalangan buruh kasar, sementara 90% orang Jepang ingin dirinya dianggap termasuk kelas menengah. Jika bukan handuk kecil melainkan secarik kain putih biasa, Taro-san bisa dianggap mencerminkan tokoh yang "agresif" dan "militeristis". Akhirnya ribut-ribut mengenai hachimaki ini dibungkam pada bulan Februari oleh presiden Asahi Shimbun, Seiki Watanabe, yang menandaskan, "Ikat kepala yang dipakai Taro-san tampaknya merupakan cara Lurie mengatakan betapa orang Jepang rajin dan suka kerja keras...." Tapi Lurie tak ingin membiarkan orang Jepang terlena dengan Taro-san. Sebab, makna suatu lambang, walau bagaimanapun, tergantung pada cara kita menggunakannya. "Janganlah kita menipu diri sendiri," kata Lurie kepada para redakturnya. Apa pun bisa terjadi pada Taro-san. Setiap karikaturis di dunia bisa saja menggunakan Taro-san dalam karya mereka untuk... menghantam Jepang. Ini bisa dilakukan dengan menambah beberapa sifat negatif pada figur Taro-san - dengan beberapa kerut muka, membuatnya bertampang jahat atau negatif sesuai dengan yang diinginkan. Tak ada jaminan bahwa Taro-san akan tetap berupa pemuda bertubuh kecil yang lincah." Sinyalemen Lurie ternyata benar. Beberapa karikaturis di negara lain sudah membuktikan bahwa hal itu bukan tak mungkin. Harian The Sun di ,ydney menampilkan Taro-san (yang ditulis salah menjadi "Taro-sam") sedang menimbuni perumahan di Australia dengan adukan semen. Karikaturis Horst Heitzinger dari Jerman Barat menggambarkan Taro-san (yang memakai jas dan giginya tonggos) mengendarai mobil Jepang-nya di bumi Eropa yang tergencet. Lebih konyol koran Malaysia New Strait Times menggambarkan Taro-san (juga pakai jas) mendemonstrasikan robot monyet yang dikendalikan dengan radio sedang memetik kelapa. Ini dilakukan di hadapan seorang wanita Malaysia yang terheran-heran disertai beruknya sendiri yang berwajah murung. Gambaran Lurie sendiri tentang Taro san juga mengalami perubahan mencolok. Dari karikatur-karikaturnya yang pertama tentang Taro-san diperlihatkan seseorang yang merasa beruntung berada di papan jungkat-jungkit dan mengangkat PM Nakasone yang berkata "Terima Kasih Taro-san" untuk "Peranan Internasional Jepang." Ini terjadi bulan Agustus. Namun, pada akhir September, Taro-san lebih sering mencerminkan pendapat umum Jepang yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah. Tanggal 27 September tampil karikatur yang memperlihatkan Taro-san di PBB mendesak menteri luar negeri Jepang Abe (yang di punggungnya terpasang kunci bertuliskan "Nakasone"): "Jangan lupa, Anda seharusnya berbicara pula untuk rakyat lepang." Bulan November Taro duduk makan malam bersama Kanselir Helmut Kohl dari Jerman Barat, mengiris ayam kalkun bermerk "Pasaran AS" dan berkata tak senang, " Well, Sahabat Jerman-ku, bagian mana yang Anda sukai?" Jadi, sementara para diplomat dan politisi mungkin memandang Taro-san hanya sebagai "duta itikad baik" dan sementara sebagian besar orang Jepang tak pelak lagi merasa disanjung oleh tampang Taro-san dan pembawaannya yang tampak tulus, Lurie jelas menganggap karyanya itu bagai senjata bermata dua dengan kedua matanya terasah tajam. Bukti paling jelas tampak pada 1 Februari tahun ini ketika Lurie menanggapi permintaan seorang pembaca Jepang. Pembaca itu menyarankan karikatur yang menggambarkan, "Paman Sam berbicara dengan anak muda bernama Taro. Mereka berada di jalan yang bersimpang dua, satu menuju ke Negeri Bencana, yang lainnya ke Negeri Damai . . . Paman Sam memberi Taro sebuah pisau besar, dan berusaha meyakinkannya bahwa jalan menuju Negeri Bencana-lah yang terbaik . . . Taro tak pernah menghadapi keadaan seperti itu dan kebingungan memilih atau menentukan apa yang harus diperbuatnya .... " Tanggapan Lurie bisa membuat si pembaca mengernyitkan,, alisnya. Digambarkannya Paman Sam bertubuh besar dan bercucuran keringat, mengenakan pakaian petinju. Tangan kanannya yang bertuliskan "Perekonomian AS" mengacungkan tinju bertuliskan "Pertahanan" pada sarwng tangannya. Sebagian lengan kiri Taro-san masuk ke dalam sarung tinju itu. Bergantung seperti itu, Taro-san, yang kecil dengan muka menunjukkan rasa puas-diri, sama sekali tidak merupakan beban berat bagi tangan Paman Sam yang perkasa. Judul karikatur itu mengingatkan orang pada kata-kata yang diucapkan Presiden Reagan menyambut kelahiran Taro-san, "partner". Menyimpulkan kehadirannya selama setahun di Asahi Shimbun, Lurie menekankan, bahwa kesenangan dan tantangan yang dihadapinya jauh melebihi kekecewaannya. "Saya memperoleh petualangan intelektual, petualangan geografis, petualangan profesional," katanya. "Saya mengalami tahun yang sangat menarik berupa kesenangan dan gaya - di planet yang berbeda." Maret lalu Lurie meninggalkan Jepang dan tetap meragukan ada konsensus yang melahirkan kreativitas dan penemuan baru. "Jepang mengingatkan saya pada sebuah gerobak yang ditarik banyak, banyak sekali kuda," katanya. "Jika Anda seekor kuda yang lemah dan lamban, Anda akan ditarik oleh kuda-kuda yang lain. Tapi jika Anda kuda yang berani dan sedikit binal dan mencoba lari agak kencang, kuda-kuda lain akan menahan Anda." Tapi ia menghargai ketulusan dan sopan santun orang Jepang. "Sulit bagi saya membayangkan seorang Jepang yang kasar, kecuali jika ia dibesarkan di New York," katanya. Ia juga memuji "teknik kehidupan" yang jadi minyak pelumas masyarakat Jepang. Di pihak Asahi, mereka tak pernah bisa menentukan bagaimana cara menjelaskan pekeriaan Lurie dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Inggris sebutan profesionalnya ialah Senior Political Analyst and Cartoonist, dan tiap-tiap kata itu ada padanannya yang sempurna dalam bahasa Jepang. Tapi ketika kartu nama Lurie akan dicetak dalam bahasa Jepang, para redaktur Asahi memutuskan melafalkan saja istilah Inggris itu ke dalam huruf katakana Jepang. Maka, dalam bahasa Jepang, Lurie adalah Shinia Poriteikaru Anaristo & Kartyuunisuto. Akibatnya, orang-orang Jepang yang diberinya kartu namanya banyak yang kebingungan pada apa sebenarnya pekerjaan Lurie. Kata-kata asing dalam huruf Jepang itu tak mereka mengerti, seakan-akan ditulis dalam bahasa Parsi. Kebingungan yang dirasakan Lurie dialaminya suatu hari ketika ia sedang jogging - kebiasaannya tiap hari. Pada jarak kurang lebih 100 meter seorang anak berusia 3 atau 4 tahun beserta ibunya yang cantik menghampirinya. Pada jarak itu ketiga orang itu sudah beradu pandang. Si anak dan ibunya tersenyum pada Lurie dan dibalasnya. "Anak kecil itu tampaknya senang pada saya - sedangkan saya senang pada ibunya," kata Lurie. "Kurang lebih pada jarak 40 meter dari mereka saya terjatuh kepala saya terbentur dan berdarah. Mulut saya penuh darah. Saya merasa sakit dan saya kira saya tak sadarkan diri selama beberapa detik. Saya mengangkat kepala dan ketika itu melihat si anak dan ibunya makin mendekat. Tapi si ibu melengos saja ketika melewati saya. Ia lewat begitu saja seakan-akan tak terjadi apa-apa. Tapi yang lebih mengesankan saya ialah si bocah pun berbuat persis seperti ibunya. Tiba-tiba ia buang muka dari saya. Dan saya berpikir, 'Di mana dan kapan dia belajar bersikap seperti itu?' Itulah, menurut saya, sesuatu yang bersifat Jepang".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus