PENDUDUK Bandung terancam kekurangan air bersih kalau tata guna lahan tidak dipolakan secara tuntas. Ancaman itu datang dari utara. Sebab. kawasan di kaki Gunung Burangrang, Tangkubanperahu, serta Bukittunggul kini makin gundul dan berkembang jadi kawasan permukiman. Kota satelit itu di antaranya terletak di Bukit Awi Ligar - sekitar 3 km sebelah utara Taman Makam Pahlawan Cikutra. Kawasan permukiman yang berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut itu adalah salah satu contoh betapa semakin melebarnya Kota Bandung. Padahal, Ditjen Cipta Karya DPU tiga tahun lalu telah memperingatkan cara mengamankan daerah Bandung Utara dari ancaman yang bisa mengganggu pelestarian sumber-sumber air tanah. Hal ini mengingat perkembangan daerah pinggiran kota yang sporadis itu telah mencapai daerah peresapan air. Mengingat reservoir alami itu merupakan salah satu sumber penyediaan air bersih bagi penduduk Bandung dan sekitarnya, Ditjen Cipta Karya menyarankan agar Pemda mengambil langkah penghijauan di kawasan 750 m sampai 950 m di atas permukaan laut itu. Cara penyelamatan yang produktif ialah menanam jenis tumbuhan yang sesuai dengan pola tata guna tanah. Saran itu disambut Pemda Jawa Barat dengan mengeluarkan SK No. 181.1/1982. Dalam SK itu, Gubernur Aang Kunaefi menetapkan kawasan Bandun Utara sebagai lahan hutan lindung, lahan tanaman keras, dan lahan pertanian nontanaman keras. Untuk permukiman hanya terbatas pada desa yang memang sudah lama didiami penduduk kawasan itu. SK Gubernur itu ternyata cukup vokal. Akibatnya, kompleks perumahan dosen di Bukit Dago Pakar dan kampus Unisba (Universitas Islam Bandung) di Ciburial dihentikan pembangunannya. Sayangnya, selang setahun keluar pula SK lain tentang kawasan itu dari Pemda Ja-Bar. Isinya bertentangan dengan SK sebelumnya. Gubernur membolehkan beberapa pengusaha real estate "membebaskan" tanah di sana untuk dijadlkan kawasan perumahan. Luas areal yang dibebaskan lebih dari 100 hektar. Mengapa bisa begitu? Kepala Biro Humas Pemda Provinsi Ja-Bar Yusacc mengatakan, kawasan itu memang tertutup, tapi tidak 100%. "Ada syarat ketat bagi mereka yang membangun," ujarnya. Antara lain, permukiman hanya diperbolehkan di lereng yang mempunyai kemifingan 0%-8% - areal ini cuma 20% dari luas kawasan Bandung Utara. Namun, kenyataannya tak demikian. Pembangunan perumahan di kawasan itu tetap melebar. Akibatnya, debit air reservoir besar di sebelahutara TMP Cikutra makin turun. Reservoir itu, yang dibangun sekitar dua tahun lalu, ketika diresmikan debit airnya 315 liter per detik. Kini, pada musim hujan sekalipun, cuma 260 liter per detik. Pengaruhnya ternyata tak cuma terhadap reservoir itu saja. Juga terhadap Sungai Cikapundung, yang berhulu di Bandung Utara. Pada tahun 1960-an debit air Sungai Cikapundung tercatat 12.000 liter per detik di musim kemarau. Kini, paling banter cuma 60-100 liter per detik. Kota Bandung teiah berubah, memang. Misalnya, tahun 1916 jumlah penduduk Bandung, waktu itu luasnya 2.150 hektar, cuma 70.000 oran. Sumber airnya 9 buah. Sehingga, 80% penduduk bisa dilayani oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Dan, masa itu, air Sungai Cisangkuy belum di "minum". Kini, Bandung berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa. Luas kota menjadi 8.000 hektar. Tapi sumber airnya cuma 10 buah mata air, 1 I buah sumur artesis, dan sebuah penjernihan dari air Sungai Cisangkuy yang alrnya )uga tergantung dari Sungai Cikapundung. Dengan kapasitas itu, PDAM cuma bisa melayani 30% penduduk. Kepanikan kekurangan air inilah yang dianggap penyebab utama tumbuhnya kawasan Bandung Utara jadi daerah permukiman. Melihat kenyataan itu, DPRD Provinsi Ja-Bar menghendaki agar SK 1983 itu dicabut saja. "Sebab, bisa memberi peluang untuk dilanggar," ujar Boy Miswar Nurmawan dari Fraksi Karya. Direktur PPLH ITB Dr. Hasan Purbohadiwidjojo mengatakan, "Idealnya, Bandung Utara itu dihutankan." Tapi Hasan, yang juga dosen Jurusan Arsitektur ITB, pesimistis saran itu dituruti. Sebab, tanah Bandung Utara dimiliki orang-orang kota, yang sebagian besar juga pejabat pemerintah. "Peraturan ada dan cukup baik, tapi pelaksanaannya kok sebaliknya," ujar Hasan. Apa jalan keluar agar Bandung tak mengalami paceklik air nanti ? Kunci persoalannya adalah SK Gubernur 1983.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini