Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELESAI berdandan, wajah Nunung Alvi yang sembap lantaran begadang semalaman kembali segar. Selasa siang dua pekan lalu, perempuan 39 tahun itu bersiap untuk manggung ke desa tetangga, sekitar dua jam dari tempat tinggalnya di Desa Gintung Lor, Kecamatan Susukan, Cirebon, Jawa Barat. Rencananya, Nunung naik panggung sekitar pukul 13.00. "Dia bintang tamu, akan tampil di acara puncak," kata Zaqy Komarudin, 53 tahun, suami sekaligus manajer Nunung.
Nunung tersohor dari Banten hingga Jawa Timur sebagai bintang dangdut tarling lewat orkes Nada Ayu yang ia pimpin. Sejak awal milenium, ia laris diundang para penggelar hajatan. Rata-rata Nunung tampil tiga kali dalam sepekan. Dua pekan lalu itu, misalnya, ia manggung dua hari nonstop Senin dan Selasa.
Sekali manggung, Nunung dibayar Rp 8 juta. Bila bersama orkes, untuk kawasan Cirebon dan Indramayu, ia mematok harga Rp 24 juta. "Tahun lalu pendapatan kotor kami hampir Rp 1 miliar," ujar Zaqy, yang juga dosen bahasa Inggris dan orientalis di Universitas Islam Negeri Bandung.
Tak mengherankan bila Zaqy dan Nunung menjadi orang terkaya di desa mereka. Rumah pasangan ini ada tiga. Orkes mereka memiliki berbagai properti, dari genset hingga panggung besar, yang nilainya mencapai Rp 1 miliar. Padahal, 15 tahun lalu, mereka hanyalah pasangan beranak satu yang hidup pas-pasan di rumah kontrakan. Nunung saat itu menyanyi dangdut dari kafe ke kafe sepanjang Indramayu dan Cirebon.
Hidup mereka berubah setelah Nunung masuk studio rekaman. Blackboard mengganjarnya dengan Platinum Award pada 2002 lewat album Aja Melang, yang artinya "Jangan Khawatir". "Dangdut tarling mengubah rezeki kami," kata Nunung. Sejak itu, ia kerap diundang menyanyi di stasiun televisi nasional di Jakarta.
Dangdut tarling mulai berkembang pada 1980-an. Sebagian orang menyebutnya dangdut Pantura. Tarling yang asli sudah dikenal dari awal 1900-an. Sejatinya musik ini hanya diiringi gitar dan suling serta lagunya berisi nasihat hidup. "Musiknya enak dinikmati untuk merenungkan kehidupan," ucap Wawan, salah seorang pengusaha kafe di Kota Cirebon.
Orkes Nada Ayu, kata Zaqy, mempertahankan seni tarling tradisional. Setiap diundang, mereka tampil dalam tiga babak. Babak pertama: dangdut tarling; babak kedua: tarling tradisional; dan terakhir semua lagu dangdut, termasuk lagu terlawas mereka bawakan. Itu sebabnya kru dan artis orkes Nada Ayu mencapai 65 orang.
Menurut Zaqy, dangdut tarling tumbuh karena mengikuti selera para pesinggah yang hilir-mudik dari barat dan timur Jalur Pantura. Maklum, Desa Gintung Lor terletak persis di tepi jalur tersebut. "Tempo musik yang bisa bikin bergoyang seperti dangdut mengakomodasi selera mereka," ujarnya.
Bukan cuma musiknya yang disesuaikan dengan minat para musafir, liriknya juga. Lirik dangdut tarling selalu mengenai kehidupan cinta: perilaku suami atau istri, bahkan duda atau janda yang mencari jodoh lagi. "Isi liriknya nakal-nakal," kata Zaqy, lalu tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo