Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENDANG irama dangdut sahut-menyahut di sepanjang warung di Jalan Raya Batang, Alas Roban, Jawa Tengah, Selasa malam dua pekan lalu. Kawasan hutan jati yang minim rumah penduduk itu meriah oleh kerlap-kerlip lampu temaram dan duet sopir truk bersama para perempuan seronok di warung-warung tersebut.
Kebanyakan dari mereka mengenakan rok pendek atau celana jins setinggi pangkal paha, dengan gaya baju yang seragam: ketat dan menyembulkan belahan dada. Mereka berusia 20-40 tahun. "Sudah lima tahun saya bekerja di sini," kata salah seorang dari mereka, mengaku bernama Reni, 24 tahun.
Alas Roban, hutan jati kecil yang terletak di ujung timur Kabupaten Batang, terkenal angker sejak dulu. Di samping kejadian-kejadian misterius, di daerah tersebut juga sering terjadi perampokan. Kini daerah itu menjelma sebagai salah satu lokasi prostitusi paling ramai di Jalur Pantai Utara alias Pantura.
Di sepanjang seratus meter jalan, setidaknya ada 30 warung terbuat dari kayu yang menyediakan minuman ringan, kopi, bir, pemijat, hingga perempuan penghibur. "Cewek yang berdandan pasti bisa diajak," ujar Boy, 42 tahun, salah seorang sopir truk yang ditemui Tempo di sana, lalu tertawa.
Sekali kencan, mereka rata-rata mematok harga Rp 150-200 ribu. Hampir semua pelanggan mereka sopir truk yang singgah. Boy mengklaim selalu mendapatkan tarif paling murah karena merupakan pengunjung tetap di sana. "Sudah ada kamar kecil yang disediakan di belakang warung," katanya berbisik.
Tak sampai satu kilometer dari warung-warung itu, masih termasuk kawasan hutan jati, terletak Desa Panundan, yang dikenal luas sebagai desa prostitusi. "Di sini agak lebih mahal, Rp 250-300 ribu, karena usia mereka lebih muda," ucap Ardy, sopir truk, yang sedang beristirahat di Panundan.
Prostitusi di Alas Roban dan Panundan baru berkembang tiga dekade belakangan, sejak daerah-daerah itu menjadi tempat singgah para sopir truk sepanjang Jalur Pantura. Alas Roban merupakan titik lelah para sopir yang datang dari arah Lasem atau Indramayu, karena biasanya mereka akan kecapekan setelah mengemudi 8-10 jam. "Saat melepas lelah, kami butuh hiburan," kata Boy.
Pengusaha ekspedisi bukan tak paham perilaku para sopir mereka. Semua truk sudah dipasangi Global Positioning System alias GPS untuk memantau perjalanan truk. Mereka akan ditegur mandor bila terlalu lama berhenti di lokasi peristirahatan, apalagi di warung remang-remang. "Kalau berhenti di titik yang bukan ditetapkan sebagai tempat istirahat, kantor bisa langsung menelepon," tutur Budi Hantoro, seorang sopir truk. Tetap saja warung-warung hiburan ramai meriah.
Lokalisasi di sepanjang Pantai Utara Jawa sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Dulu mereka bertebaran di sepanjang Jalan Pos, yang dibangun atas instruksi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36, Maarschalk Herman Willem Daendels. Kala itu jalan yang menghubungkan Anyer dan Panarukan tersebut merupakan jalur utama lintas Pulau Jawa sekaligus alur distribusi logistik Jawa-Sumatera.
Jalur Pantura, yang kini menjadi favorit para sopir truk ekspedisi pelabuhan-pelabuhan utama, seperti Cirebon, Semarang, dan Surabaya, sebagian besar merupakan bekas Jalan Pos. Tapi sebagian besar lokasi prostitusi di Pantura baru terbentuk kemudian.
Menurut Wijanarto, sejarawan asal Brebes, lokalisasi zaman baheula menghilang akibat pola titik lelah para sopir yang berubah. Contohnya lokalisasi Plawangan, yang terletak antara Tegal dan Pemalang. Di sana dulu ada pabrik gula yang dibangun pemerintah Belanda. Buruhnya mencapai seribuan orang. "Pelanggannya para buruh pabrik itu juga," ujarnya.
Kalaupun ada yang bertahan, kebanyakan tidak lagi segemerlap dulu. Di pusat Kota Semarang, kata sejarawan lokal Jongkie Tio, 74 tahun, ada lokasi prostitusi lama yang bertahan. Itu karena peran Pelabuhan Tanjung Emas yang vital bagi kapal-kapal besar. Di samping itu, letaknya yang di tengah Jawa membuat Semarang selalu menjadi kota transit para pelintas Jalan Raya Pos.
Mereka biasanya menginap di daerah yang kini dikenal dengan nama Jalan Imam Bonjol dan Pemuda. "Kebanyakan mereka adalah pelaut, pedagang, dan orang Belanda," ucap Jongkie, Rabu dua pekan lalu.
Jalan Imam Bonjol kala itu merupakan terusan dari Jalan Raya Pos yang dibangun atas instruksi Daendels. Di sana terdapat banyak hotel yang menyediakan perempuan penghibur. Semua milik pengusaha Belanda. Pada masa itu, tak sembarang orang bisa menginap di sana. Mereka harus berkantong tebal atau dari kalangan bangsawan. Itu sebabnya perempuannya juga spesial. "Kebanyakan noni Belanda dan Cina," kata Jongkie.
Meski bertahan, sekarang pelaku prostitusi di Jalan Imam Bonjol bukan lagi masyarakat kelas atas. Jumlah penjaja cintanya pun tak banyak lagi. Saban malam, mereka mangkal di pinggir jalan, duduk sendirian di jok sepeda motor menunggu pelanggan.
Lokasi prostitusi yang juga masih bertahan antara lain di Desa Maribaya, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Dulu daerah ini menjadi tempat singgah yang amat ramai. Tapi, karena Tegal bukan lagi lokasi singgah favorit para sopir, tempat itu kini meredup. Sekarang tinggal empat tempat yang menyediakan jasa wanita penghibur di sana, yang kebanyakan tidak muda lagi. Mereka berkedok warung sate kambing. "Sopir sekarang lebih suka perempuan yang tercecer di jalanan," ucap Dina, 40 tahun, dalam bahasa Jawa.
Warung remang-remang sebaliknya bermunculan di Kecamatan Lasem, Rembang, yang berjarak sekitar delapan jam dari Alas Roban. "Di Jawa Tengah, Alas Roban dan Lasem kini memang menjadi titik lelah para sopir truk sekarang," kata juru bicara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Namun dia menampik tudingan bahwa pemerintah lokal membiarkan kedua daerah itu berkembang menjadi lokalisasi pelacuran. "Kalau ada praktek prostitusi, pasti kami tindak," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo