Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan di gedung DPR yang Dikunci.
Pimpinan DPR mengklaim tidak ada pasal selundupan.
Penelusuran Tempo menunjukkan terjadi berbagai perubahan substansial dalam omnibus law.
TIGA pintu menuju gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan terkunci rapat pada Kamis, 8 Oktober lalu, sekitar pukul 21.30. Tak ada petugas pengamanan dalam atau pamdal berjaga di sekitar pintu masuk. Berbeda dengan Nusantara II yang terkunci dan gelap total, lampu di lobi bangunan itu masih menyala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tenaga ahli Dewan Perwakilan Rakyat bercerita, sekitar pukul 19.30 mereka diminta keluar oleh petugas pamdal. Alasannya akan diadakan penyemprotan disinfektan untuk mencegah penyebaran virus corona. Namun seorang anggota staf yang malam itu masih berada di gedung tersebut mengatakan, setelah terjadi “pengusiran”, sejumlah orang masih bekerja di ruang Badan Legislasi, yang berada di Nusantara I.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Bagian Sekretariat Badan Legislasi Widiharto membenarkan adanya pertemuan untuk menyisir pasal-pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law yang disahkan tiga hari sebelumnya. Menurut dia, penyisiran itu dilakukan di bawah pengawasan Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas. Namun Widiharto membantah kabar bahwa akses masuk ke gedung Nusantara I dibatasi. “Gedung Nusantara I tidak dikunci,” kata Widiharto pada Jumat, 16 Oktober lalu.
Para Menteri dan Pimpinan DPR RI usai rapat paripurna penutupan masa persidangan I tahun sidang 2020-2021 sekaligus usai mengesahkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 5 Oktober 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Penyisiran dan perbaikan minor naskah memang dimungkinkan mengacu pada Pasal 164 ayat 5 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Klausul ini menyebutkan Dewan memiliki waktu tujuh hari untuk merapikan draf undang-undang sebelum diserahkan kepada presiden. Rampung disisir, naskah final Undang-Undang Cipta Kerja diserahkan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar kepada Kementerian Sekretariat Negara pada Rabu, 14 Oktober lalu.
Indra Iskandar menyerahkan draf ini kepada Asisten Deputi Bidang Perekonomian Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Kementerian Sekretariat Negara, Lydia Silvanna Djaman, secara tertutup lewat pertemuan selama dua jam. Keduanya sempat membaca draf itu. “Sambil dilihat-lihat isinya. Secara prinsip, tidak ada masalah,” ucap Indra. Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan presiden memiliki waktu 30 hari untuk meneken undang-undang yang diserahkan. Lewat dari itu, regulasi tersebut secara otomatis akan berlaku.
Setelah omnibus law disahkan dalam rapat paripurna pada Senin, 5 Oktober lalu, muncul sejumlah versi naskah aturan tersebut. Pada 5 Oktober, misalnya, muncul draf setebal 905 halaman. Empat hari berselang, beredar naskah sebanyak 1.052 halaman. Jumlah halaman kembali berubah pada 12 Oktober dengan menjadi 1.035 halaman. Hari itu juga muncul naskah lain setebal 812 halaman. Draf inilah yang belakangan diserahkan DPR kepada presiden.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar sebelumnya menyatakan bahwa naskah yang beredar pada 5 Oktober sebagai draf yang benar. Ketika naskah 1.035 halaman muncul, dengan judul berhuruf kapital “RUU Cipta Kerja-Kirim ke Presiden”, Indra pun menyatakan draf itu benar dan substansinya sama dengan naskah 905 halaman. Menurut dia, penambahan halaman terjadi karena perbaikan format dan penyempurnaan redaksi. Pada 12 Oktober malam, naskah final menyusut menjadi 812 halaman. Indra menyatakan perubahan terjadi karena ada penyesuaian format kertas dari A4 menjadi legal.
Meskipun ada berbagai versi naskah, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengklaim tak ada pasal selundupan dalam omnibus law. Dia mengatakan semua pembicaraan, termasuk interupsi, tercatat dalam bentuk notulensi rapat dan ada rekamannya. “Saya jamin sesuai dengan sumpah jabatan saya, kami tidak berani dan tidak akan memasukkan selundupan pasal,” katanya.
Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, juga mengklaim, setelah omnibus law disahkan, tak ada lagi pembahasan soal substansi. Pertemuan yang digelar Badan Legislasi hanya untuk menyisir ulang pasal-pasal dalam aturan itu. “Ketua kelompok fraksi juga ikut memantau,” ujar Firman.
Nyatanya, perubahan substansi tetap terjadi meski omnibus law telah disahkan. Salah satunya terkait dengan kluster ketenagakerjaan yang mengubah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada draf berisi 905 halaman atau naskah pertama setelah omnibus law disahkan, pasal 79 soal cuti dan 88A tentang pengupahan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya berisi lima ayat. Sedangkan pasal 154A mengatur soal 14 kondisi yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja.
Pada draf berisi 1.035 dan 812 halaman—muncul sepekan setelah pengesahan—ada penambahan satu ayat pada pasal 79 dan tiga ayat pada pasal 88A. Pada pasal 79, penambahan itu berisi ketentuan lebih lanjut soal perusahaan tertentu yang bisa memberikan istirahat panjang akan diatur melalui peraturan pemerintah. Sedangkan pada pasal 88A, penambahan itu terkait dengan denda bagi perusahaan dan pekerja soal kelalaian pembayaran upah serta kewenangan pemerintah mengatur denda. Adapun pasal 154A menambahkan satu kondisi yang memungkinkan PHK, yaitu perusahaan mengalami kerugian dua tahun berturut-turut.
Perubahan paling mencolok terjadi pada kluster perpajakan. Pada naskah 905 halaman di antara Bab VI dan Bab VII, terdapat tambahan Bab VIA soal kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan pajak dan retribusi. Bab ini sempat hilang dalam draf 1.035 halaman yang beredar pada Senin, 12 Oktober, dan disebut sebagai naskah asli oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. Pada naskah 812 halaman, bab itu kembali muncul.
Namun ada perbedaan pada pasal 156A di draf 812 halaman dengan yang tertulis dalam versi 905 halaman. Pada naskah 905 halaman, ayat itu menyebutkan pemerintah dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah. Sedangkan versi 812 halaman mengganti kata “intervensi” menjadi “penyesuaian”.
Firman Soebagyo mengatakan pasal ini bukan pasal selundupan. Sebab, dia sudah mengajukan secara resmi usulan kluster perpajakan ini dalam rapat. Kepada Tempo, Firman mengirimkan sebuah video rapat Badan Legislasi yang menunjukkan dia menyampaikan usulan kluster perpajakan. Dalam video itu, Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas meminta persetujuan perwakilan pemerintah, yaitu anggota staf ahli Menteri Koordinator Perekonomian, Ellen Setiadi, untuk memasukkan usulan ini. Ellen menyetujui usulan Fraksi Golkar tersebut.
Mulyanto, anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, mengatakan kluster perpajakan baru muncul di Badan Legislasi pada 22 September. Sedangkan anggota dari Fraksi Demokrat, Benny Kabur Harman, berkukuh pasal ini hanya sempat diusulkan, tapi tidak pernah dibahas dalam rapat. Andreas Eddy Susetyo, anggota Badan Legislasi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mengatakan kluster perpajakan pernah muncul dalam draf awal omnibus law. Belakangan, kata Andreas, pemerintah menarik draf itu. Kolega Andreas di PDIP, Hendrawan Supratikno, mengatakan sejumlah fraksi meminta usulan itu dipelajari lebih dulu.
Tempo mengecek ulang rapat terakhir panitia kerja yang ditayangkan melalui kanal YouTube DPR pada 3 Oktober lalu. Dalam rapat tersebut, tak ada pembahasan mengenai penambahan Bab VIA tentang fiskal dan retribusi daerah. Enam poin kesimpulan rapat juga tak secara spesifik menyinggung kluster perpajakan.
Menurut sejumlah anggota Badan Legislasi, masuknya kluster perpajakan memicu perdebatan alot antara fraksi beringin dan banteng dalam satu pertemuan setelah omnibus law disahkan. Firman Soebagyo membenarkan ada anggota PDI Perjuangan yang meminta bab itu dikeluarkan karena merasa tak pernah disetujui bersama. Di tengah perdebatan itu, Firman menelepon Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto dan menjelaskan bahwa pasal tersebut sudah disetujui bersama dengan pemerintah. “Beliau menerima penjelasan kami,” ucapnya. Utut enggan berkomentar banyak soal polemik tersebut. “Ini menjadi catatan pemerintah,” katanya.
Pasal lain yang masih menjadi perdebatan setelah pengesahan omnibus law di rapat paripurna adalah penambahan Pasal 46 ayat 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pada 30 September lalu, Fraksi Golkar mengusulkan perubahan ayat 5 yang menyatakan pengaturan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa oleh Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas Bumi harus mendapatkan persetujuan menteri. Anggota Badan Legislasi dari PKS, Mulyanto, mengatakan penambahan ayat itu dibahas oleh tim perumus dan tim sinkronisasi pada 2 Oktober di Le Eminence Hotel Convention and Resort, Cibodas, Jawa Barat.
Firman Soebagyo bercerita, usulan itu berawal dari surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada 2 Mei lalu. Dalam salinan surat yang diperoleh Tempo, Arifin mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee gas bumi melalui pipa yang sebelumnya ditetapkan BPH Migas bisa beralih ke tangan Menteri Energi dengan persetujuan presiden. Usulan ini diteruskan oleh Fraksi Golkar lewat rapat tim perumus dan tim sinkronisasi.
Menanggapi perubahan itu, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa bersurat kepada pimpinan Badan Legislasi pada Sabtu, 3 Oktober lalu. Dalam suratnya, BPH Migas menekankan pentingnya regulator yang bersifat independen dalam penentuan tarif pengangkutan. Fanshurullah Asa menulis, “Usulan pengalihan kewenangan penetapan toll fee ke Kementerian ESDM menjadi tidak relevan.” Mulyanto membenarkan adanya surat dari Kepala BPH Migas itu.
Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI Benny Kabur Harman melakukan walk out dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 5 Oktober 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Rupanya, pasal 46 ayat 5 tetap masuk draf 905 halaman yang dibawa ke rapat paripurna pada 5 Oktober. Beberapa hari seusai rapat paripurna, anggota Badan Legislasi bertemu kembali. Andreas Eddy Susetyo meminta agar ayat itu didrop. Alasannya, pemerintah dan DPR tidak pernah menyetujui penambahan ayat ini dalam rapat kerja. Firman Soebagyo mengakui, perwakilan pemerintah memang tidak pernah mengusulkan pasal ini. “Saat kami minta penjelasan, jawaban wakil pemerintah tidak meyakinkan,” tutur Firman.
Andreas mengatakan, karena ayat 5 sudah dihapus, seharusnya keseluruhan bunyi pasal 46 tidak dicantumkan lagi. Namun, dalam naskah 1.035 halaman tertanggal 12 Oktober, pasal itu masih tercantum. “Kalau kembali ke undang-undang existing (sebelumnya), kan tidak perlu dicantumkan,” katanya. Dalam draf versi 812 halaman, bunyi pasal 46 juga masih tercantum. Andreas menegaskan, “Saya sudah meminta itu dihapus.”
Bukan cuma dari sisi substansi, prosedur pengesahan omnibus law juga masih dipersoalkan sejumlah anggota Badan Legislasi. Menurut Benny Kabur Harman, lazimnya setiap draf yang disepakati dalam rapat kerja diteken oleh pimpinan Badan Legislasi, para ketua kelompok fraksi, dan perwakilan pemerintah. Mulyanto juga menyatakan prosedur ini tidak dilakukan. Adapun Firman Soebagyo mengatakan semua ketua kelompok fraksi sudah meneken draf yang disepakati dalam rapat pada 3 Oktober. “Kan, tidak semua mengikuti rapat secara fisik,” ujar Firman.
WAYAN AGUS PURNOMO, BUDIARTI UTAMI PUTRI, EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo