Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGEBOMAN di Bali pada 12 Oktober 2002 selalu diingat sebagai kejahatan terorisme terbesar di Tanah Air. Namun nasib ratusan orang yang terkena dampak langsung telah banyak dilupakan: mereka yang kulitnya melepuh permanen atau menyimpan gotri pecahan bom di bagian kepalanya bertahun-tahun dan tentu saja mereka yang kehilangan pekerjaan setelah pengeboman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 memang mengatur pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan bagi korban terorisme. Kenyataannya, aturan itu tak mudah menjangkau para korban. Penyebabnya, kompensasi hanya bisa diberikan melalui putusan pengadilan. Aturan itulah yang kemudian diubah pada Juli lalu. Proses pemberian kompensasi untuk korban terorisme melalui aturan baru—Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020—menjadi lebih mudah. Pekan lalu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pun mulai menyalurkan pembayaran kompensasi untuk para penyintas bom Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan itu sebenarnya dibuat untuk memberikan bantuan kepada saksi dan korban, termasuk korban pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertugas melakukan pengujian korban agar dapat memperoleh bantuan. Aturan inilah yang dijalankan untuk memberikan kompensasi bagi korban pengeboman di Bali.
Sayangnya, dalam aturan baru, kemudahan tampaknya tidak menjangkau korban kejahatan pelanggaran hak asasi itu. Pasal yang mengatur bahwa kompensasi bisa diajukan pada saat kasus masih dalam penyelidikan tak berubah. Masalahnya, kompensasi harus diajukan dan diputuskan oleh pengadilan HAM. Padahal, kita tahu, pengadilan ini memerlukan waktu panjang. Apalagi untuk kejahatan berat hak asasi masa lalu yang mensyaratkan proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembentukan pengadilan ad hoc. Walhasil, mereka yang terkena dampak kasus-kasus hak asasi masa lalu tak kunjung mendapatkan kompensasi. Peraturan baru belum berpihak kepada mereka.
Secara prinsip, korban serangan terorisme dan pelanggaran hak asasi memang sudah selayaknya menjadi tanggung jawab negara. Mereka adalah korban dari kegagalan negara menyediakan kondisi aman buat warganya. Biaya pengobatan dan pemulihan atas trauma sudah semestinya menjadi tanggungan negara.
Selama tiga tahun terakhir saja, setidaknya, ada tujuh serangan terorisme, dari bom Jalan Thamrin, Jakarta, hingga bom Sidoarjo, Jawa Timur, yang menewaskan 31 orang dan membuat 87 orang luka-luka. Mereka yang tewas memiliki keluarga yang akan mengalami trauma dan kehilangan kemampuan bersaing secara ekonomi akibat teror itu. Mereka yang terluka juga memiliki keluarga yang membuat trauma melebar ke banyak orang. Jumlah korban pelanggaran hak asasi manusia tak kalah-kalah. Berbagai kekerasan di Papua, termasuk yang telah diadili di pengadilan hak asasi, bisa disebut sebagai contoh.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah memandatkan negara mengakui mereka sebagai korban sehingga ada kompensasi atas pengobatan dan luka psikososial. Namun anggaran lembaga itu dalam lima tahun terus menurun, dari Rp 160 miliar menjadi tinggal Rp 54 miliar pada tahun ini. Pemangkasan itu membuat kompensasi untuk para korban juga ikut menurun.
Dalam hal korban pelanggaran hak asasi yang di aturan baru belum dimudahkan untuk mendapatkan kompensasi, pemerintah semestinya membuat skema khusus. Syarat persetujuan pengadilan membuat mereka sulit mendapatkan hak-haknya. Birokrasi perlu dibuat sederhana untuk para korban, yang sebagian besar di antaranya berasal dari kelompok masyarakat berpendidikan rendah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo