Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada banyak calo di Indonesia, tapi biong hanya ada di kawasan Puncak. Tak jelas dari mana asal kata itu. Namun, menurut penduduk di wilayah pegunungan Jawa Barat itu, biong adalah kependekan dari biang boong–rajanya bohong.
Biong memang punya konotasi negatif. Mereka dianggap suka membohongi penduduk: membeli tanah mereka dengan harga murah dan menjualnya ke pihak luar dengan harga selangit. Tapi, yang lebih gawat, mereka dituding berada di balik menjamurnya vila liar dalam 10 tahun terakhir di kawasan Puncak.
Vila-vila itu tidak lagi dibangun di atas bekas tanah penduduk lokal, tapi sudah merambah naik sampai ke jantung konservasi air terakhir: di sela-sela kebun teh dan hutan lindung, di wilayah paling atas kawasan ini. ”Ada biong dalam konversi lahan-lahan terlarang itu,” ujar Muhamad Ridwan, Kepala Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor.
Tersebutlah Haji Teteng, 60 tahun. Ia biong paling sohor di desa-desa sekitar perkebunan teh Gunung Mas. Menurut sumber Tempo, Teteng—mantan penjual es mambo, sopir angkutan kota, dan kini memiliki cottage berkolam renang—bertanggung jawab atas kehilangan sebagian besar lahan di perkebunan Gunung Mas. Sebagian besar lahan hasil jarahan, ujar sumber itu, bermuara ke bapak enam anak ini.
Sejak pendudukan lahan marak pada 1997, bertepatan dengan habisnya hak guna usaha Gunung Mas, perkebunan ini telah kehilangan lebih dari sepertiga lahannya—600 hektare alias 6 juta meter persegi! Dari semula sekitar 1.700 hektare, kini areal perkebunan tinggal 1.100 hektare. Sebagian lahan itu berada di afdeling Cikopo, yang meliputi Desa Cikopo, Kuta, Sukagalih, Sukamanah, Sukakarya, Citeko, dan Cibereum—tempat Haji Teteng berasal.
Haji Teteng menolak tudingan itu. ”Untuk apa saya susah-susah mencari tanah seperti itu, tanah yang masih kosong juga masih banyak,” ujarnya kepada Tempo di rumahnya. Ia pun menantang agar keterlibatannya dalam pendudukan lahan itu dibuktikan. ”Kalau saya terbukti menyuruh melakukan itu, tentunya saya sudah ditindak,” katanya. Sejauh ini ia memang tak pernah diperiksa polisi dalam kasus tersebut.
Administrator Gunung Mas, Rachmat Supriadi, juga menolak mengkonfirmasi peran Haji Teteng. Namun, ia mengakui ada orang kuat di balik sejumlah pendudukan lahan itu. Dari penuturan beberapa saksi yang ditemui Tempo, indikasi keterlibatan orang kuat itu sangat terang. Aksi pendudukan itu terlalu canggih untuk dilakukan warga biasa.
Inilah polanya. Kebun biasanya digeruduk pada malam hari. Lokasi yang dipilih adalah tepi perkebunan yang cukup terpencil tapi memiliki pemandang-an kelas satu. Mereka memangkas habis pohon teh tanpa ampun. Aha..., irisan pada tunggul teh menunjukkan pohon itu ditebang dengan gergaji mesin, bukan parang.
Menurut mandor Gunung Mas, Tri Hermawan, sekali menggeruduk, jumlah penjarah bisa mencapai 50 orang. Tri, yang pernah menelisik aksi penjarahan ini, mengatakan mereka tak jarang berasal dari desa yang jauh dari perkebunan, antara lain dari Ciomas dan daerah sekitar Bogor. ”Mereka dimodali. Bayarannya Rp 75 ribu untuk setiap patok seluas 400 meter persegi,” ujarnya.
Siapa saja pemodalnya? ”Ini yang sulit dilacak,” ujar Tri. Ia pernah berhasil melacak salah satu pemberi order. ”Kita sudah islah dengan orang ini dan sudah ada kesepakatan bahwa ia tidak akan menjarah lagi,” ujar Tri tanpa menyebut jati diri pemberi order ini. Namun modus ini menjelaskan pemandangan menyedihkan di lahan-lahan jarahan itu, yang direbut dengan biaya tak sedikit.
Sebagian besar lahan itu kini dibiarkan telantar, hanya sedikit yang ditanami sayur-mayur. Yang bertanam sayuran itu pun kebanyakan bukan warga yang menjarah lahan itu. Mereka cuma penggarap yang dititipi lahan tersebut. ”Lahan-lahan itu dalam status sedang menunggu pembeli,” ujar Tri Hermawan.
Menurut Rachmat, jika areal bekas perkebunan itu sudah ada pembelinya, tidak lama pasti akan diba-ngun vila di atasnya. Saat ini saja sudah ada 64 vila di areal yang dulu direbut paksa dari Gunung Mas.
Lain bukit, lain biong, lain pula trik menumbuhkan vila. Di Desa Tugu Utara, yang dipisahkan jalan raya Jakarta-Puncak dari Gunung Mas, hampir tidak ada pendudukan paksa tanah perkebunan seperti di Gunung Mas. Ini memang tak perlu. Para penggarap di wilayah ini sudah menguasai tanah garapan eks perkebunan Ciliwung sejak 1970-an. Luasnya sekitar 300 hektare.
Jadi, yang harus dilakukan biong di sana adalah membujuk orang berduit agar mau mendirikan vila di lahan-lahan garapan itu. Itulah yang dilakukan Abot, warga kampung Ciburial. Kini lelaki 50-an tahun yang menunggang Hyundai Santa Fee itu sedang membangun jalan yang menghubungkan kawasan Citamiang-Cikoneng-Rindu Alam, sepanjang 12 kilometer.
Mengapa jalan? ”Kalau sudah ada jalan, tinggal menunggu vila tumbuh dengan sendirinya di kanan-kirinya,” ujar Anwar Anggana, Kepala Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Tata Bangunan dan Perumahan Dinas Cipta Karya Bogor. Jalan adalah awal mula tumbuhnya vila-vila liar itu.
Tentu saja jalan yang ia bentang itu ilegal karena wilayah itu merupakan daerah konservasi. Tapi Abot—yang sejatinya bernama Elit Wijaya—bak penguasa di sana. Sumber Tempo mengatakan, lelaki yang mendapat panggilan Abot karena suka berkelahi itu bisa menjulurkan jalan di kawasan ini, ke mana pun ia ingin.
Abot tak menolak tudingan itu. Ia mengaku dapat sesukanya membangun jalan. Tak ada soal jika menerobos lahan milik warga. ”Untuk membangun jalan, saya berani. Diizinkan atau tidak, tetap saya gali,” ujarnya. ”Lagi pula saya membangun jalan itu untuk kepentingan umum,” kata dia menambahkan.
Tapi Anwar curiga ada maksud lain di balik pembangunan jalan ini. Seusai jalan Citamiang-Cikoneng-Rindu Alam dilempangkan, ia menduga Abot bakal membuldoser bukit di sekitarnya untuk diratakan dan mengkapling-kapling tanah garapan itu untuk vila.
Anwar laik curiga. ”Kami sempat menghentikan aksi seperti ini pada September 2006,” ujarnya kepada Tempo. Cara Abot itu tak hanya didukung calon pembeli tanah, tapi juga penggarap lahan tersebut. Jika jalan sudah terbentang, tak sulit bagi mereka mengalihkan hak garapnya. Itu sebabnya, Abot bisa memungut duit dari kedua belah pihak.
Abot mengakui bahwa uang yang dia dapat itu bisa menutup biaya yang sudah dikeluarkannya untuk membangun jalan tersebut. Lelaki kelahiran Palembang ini menolak menyebut jumlahnya. Namun, warga di sekitar blok Cisuren—yang berada di bawah kekuasaan Abot—mengatakan, setiap pemilik vila dipungut Rp 3 juta-7 juta, tergantung luas vila. ”Bos saya diminta Rp 3,5 juta ,” ujar salah seorang penjaga vila seluas 800 meter di blok itu.
Abot kembali tidak membantah kabar ini. Tapi, katanya, ia lebih suka menerima sumbangan berupa material jalan seperti pasir dan aspal. ”Kalau uang, takut habis buat minum,” ujar pria yang mengaku terus mabuk untuk menahan sakit asam urat ini.
Trik Abot menumbuhkan vila di Tugu Utara bukan cuma itu. Agar calon pembeli makin terpikat, Abot menyediakan layanan one stop shopping: tak cuma menyiapkan jalan, tapi juga membangun vila hingga menyediakan jasa pengamanan. Dan ia berhasil.
Bapak empat anak ini mengaku mengerjakan Vila Ragananda milik Mulyono, yang oleh warga Tugu Utara disebut Vila Wiranto, dan vila kepunyaan Setio Pamularso, adik Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
Tak hanya itu. Tugu Utara kini tercatat sebagai desa dengan jumlah vila liar terbesar di antara 10 desa di Kecamatan Cisarua. Jumlahnya mencapai 500-an buah. Harga tanah negara di sana juga melejit, rata-rata Rp 150 ribu per meter. Aduh biong....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo