Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Operasi Melenyapkan 'Kerikil'

Polisi menduga upaya meracun Munir tak hanya dilakukan di Bandara Changi, Singapura. Di pesawat jurusan Singapura-Amsterdam, operasi lain juga bekerja. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memastikan operasi ini dirancang berbulan-bulan.

23 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head1009

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bandara Changi, Singapura 7 September 2004: 01.00 (00.00 WIB)

Pesawat Garuda GA 974 tiba dari Jakarta 20 menit lalu. Para penumpang diberi waktu sekitar sejam untuk transit sebelum meneruskan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Hanya beberapa toko yang masih buka di Changi pada Selasa dini hari itu. SA, 25 tahun, penumpang kelas bisnis, berjalan-jalan sejenak.

Ketika hendak menuju ruang tunggu D-42, tempat penumpang naik lagi ke pesawat, SA melewati Coffee Bean. Kafe ini selalu dihampiri warga Indonesia yang tinggal di Jerman itu tiap enam bulan sekali pulang ke Tanah Air. ”Seingat saya waktu itu Coffee tutup, karenanya saya tak mampir,” tuturnya kepada Tempo, Senin pekan lalu.

SA melihat Munir, aktivis hak asasi manusia yang ia sebut ”tak penting tapi sangat populer”, duduk di sofa Coffee Bean. Di depannya ada dua pria. Satunya berambut panjang, agak tinggi, dan berkulit putih yang diyakini polisi sebagai Ongen Latuihamallo. Saat menunggu naik pesawat, SA sempat dikenalkan kepada seniman asal Maluku itu oleh Josep Ririmase, penumpang yang duduk di samping kursinya.

Pria satunya yang mengobrol bersama Munir memakai kacamata. Menurut SA, lelaki itu memiliki ciri-ciri yang identik dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang pernah diadili dalam kasus pembunuhan Munir. ”Saya tidak menuduh, tapi orang itu sangat mirip dengan Pollycarpus,” tuturnya.

Coffee Bean ketika itu ada di ruang terbuka lantai dua area transit Bandara Changi. Karena itu, menurut SA, meski sudah tutup, orang tetap bisa duduk di sofa kafe itu. ”Saya melihat dengan jelas tiga orang itu sedang berbicara di sana,” kata SA.

SA mengaku tak melihat tiga pria itu makan atau minum sesuatu. Namun saksi lain, menurut sumber Tempo di Kejaksaan Agung, memberikan keterangan sebaliknya.

Kabin Garuda GA 974 7 September 2004, 03.00 WIB

Munir yang duduk di kursi 40-G kelas ekonomi berkali-kali buang air dan muntah di toilet. Ia sudah merasa ada yang tak beres di perutnya ketika pesawat sedang bersiap mengudara di Changi. Ia sempat minta obat maag kepada pramugari, tapi obat itu tak tersedia.

Kepada pramugara Bondan Herna-wa, Munir meminta dicarikan dokter Tarmizi Hakim untuk menolongnya. Ia menyodorkan kartu nama yang baru diterimanya saat transit di Changi dari ahli bedah Rumah Sakit Harapan Kita itu. Tarmizi duduk di kursi 1-J kelas bisnis, dan Munir segera menuju ke depan.

Setelah dibangunkan dari tidur lelapnya, Tarmizi menangani Munir. Ia minta pramugari membuka peralatan medis darurat di pesawat. Namun, menurut dia, tak ada obat yang cocok untuk Munir di kotak itu. Maka dia memberi Munir dua tablet New Diatabs (obat diare) serta sebutir Zantacts dan Promag (untuk mual dan perih perut) dari tas yang dibawanya. Ia juga meminta pramugari membuatkan Munir teh manis dicampur garam. Tempat duduk Munir pun dipindahkan ke kursi 4-D kelas bisnis agar lebih dekat dengannya.

Setelah minum empat tablet obat itu, Munir tetap saja masih buang air dan muntah. Tarmizi pun menyuntikkan satu ampul Primperan yang ia ambil dari kotak medis pesawat ke lengan kiri Munir. Sang aktivis terlihat membaik dan tidur. Tapi tiga jam kemudian ia kembali ke toilet selama kurang lebih sepuluh menit.

Madjib Radjab Nasution, purser Garuda, pun memberanikan diri membuka pintu toilet yang tidak dikunci. ”Saya melihat Pak Munir sedang bersandar di dinding,” katanya dalam berita acara pemeriksaan polisi. Tarmizi lalu mengajak Madjib dan pramugara Asep Rohman mengangkat Munir kembali ke kursi 4-D.

Tarmizi mengetuk perut Munir. Pria asal Malang, Jawa Timur, itu mengerang. Ia terus memegangi perut bagian atasnya sambil melafalkan istigfar. Tarmizi menyuntikkan lagi lima miligram Diazepam ke bahu kanan lelaki gering itu. Munir kemudian tidur di lantai di depan bawah kursi 4-E. Pramugara memberinya satu bantal dan tiga selimut—satu untuk alas dan dua lainnya untuk menghangatkan badan.

Munir terlihat tidur tapi sering berubah posisi. ”Posisinya selalu miring, tidak pernah telentang atau tengkurap,” kata Madjib. Saat pesawat menjelajahi ketinggian 40 ribu kaki di atas wilayah Rumania pada pukul 10.00 WIB, Madjib mendapati mulut Munir mengeluarkan air liur meski tidak berbusa. Telapak tangannya membiru. Lengannya dingin.

Bandara Schiphol, Amsterdam 7 September 2004: 08.11 (13.11 WIB)

Tiga ratus enam puluh penumpang—14 penumpang kelas bisnis dan 346 kelas ekonomi—gelisah. Terbang 12 jam lebih dari Singapura, pesawat sudah mendarat setengah jam lalu. Tapi mereka tak kunjung dibolehkan turun. ”Kami semua diminta tetap duduk,” kata Ny Drupadi Dillon, 56 tahun, penumpang di kursi 58-B, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Ahli gizi dari Universitas Indonesia itu menuturkan banyak penumpang yang marah-marah. Ia yang ketika itu sedang menempuh studi di Universitas Wageningen menyangka Belanda menerapkan kebijakan baru—mensterilkan semua pesawat yang datang. Baru belakangan ia menyadari ada kejadian penting di kelas bisnis, jauh di depan sana.

Munir meninggal dua setengah jam sebelum mendarat. Awak pesawat melaporkan kematian ini kepada Bandar Udara Schiphol. Polisi Belanda pun segera masuk dan mengambil alih jenazahnya begitu pesawat Boeing 747-400 itu mendarat. Itu sebabnya setengah jam lebih penumpang tertahan di dalamnya.

Di tengah kegelisahan para penumpang, seorang awak pesawat menghampiri Ongen Latuihamallo, pria berambut panjang yang duduk di kursi 50-H. Kepada kantor berita radio 68H, 12 November 2004, Ongen berkata, ”Ia (kru Garuda itu—Red) membisiki saya, ’Munir sudah lewat’.”

l l l

HAMPIR tiga tahun setelah kematian pria bernama lengkap Munir Said Thalib ini, polisi kini menyimpulkan adanya keterkaitan antara penggalan-penggalan peristiwa itu. Berbekal hasil uji forensik sampel toksin oleh laboratorium forensik CCL Tequika di Seattle, Amerika Serikat, polisi menyimpulkan racun arsenik yang membunuh Munir masuk ke tubuhnya saat transit di Changi.

Dua pekan lalu, polisi menyerahkan temuan ini ke Kejaksaan Agung sebagai bukti baru. Hal ini dilakukan untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, yang sebelumnya membebaskan Pollycarpus dari hukuman 14 tahun karena dituding membantu membunuh Munir.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menilai bukti yang diajukan polisi sangat kuat. Ia menyebutkan bahwa Munir dibunuh oleh operasi yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. ”Ia telah dijadikan target selama berbulan-bulan, jadi bukan pada hari itu saja,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Mengapa Munir dijadikan target? Menurut Abdul Rahman, oleh sebagian kelompok, Munir dianggap pengganggu. Bukan rahasia lagi, kata dia, bangsa Indonesia pernah merasakan pemerintahan yang sangat berkuasa. Sebaliknya Munir dikenal sebagai aktivis yang memperjuangkan hak asasi manusia, demokrasi, dan keterbukaan. ”Munir salah satu orang yang dianggap kerikil dan harus dilenyapkan,” kata Jaksa Agung.

Rencana keberangkatan Munir ke Belanda untuk melanjutkan belajar di Universitas Utrecht dijadikan pintu masuk untuk operasi ini. ”Sudah diketahui sebelumnya oleh para pembunuh: dia naik pesawat apa dan jam berapa,” mantan hakim agung itu menuturkan.

Pembunuh yang tadinya tidak naik, menurut Abdul Rahman, memaksakan diri naik pesawat itu dengan mengubah jadwal. Jadi, ia menyimpulkan, para pembunuh itu memiliki kemampuan besar. ”Ada yang mempunyai wewenang sangat besar di dalam perusahaan penerbangan,” katanya.

Jaksa Agung menyatakan penyidik sudah bisa menentukan dengan pasti tempat Munir diracun. ”Di mana tempatnya dan dengan siapa Munir makan terakhir sudah diketahui,” tuturnya. ”Saksi lebih dari satu.”

Jaksa Agung tidak menyebut identitas orang yang dicurigai sebagai pembunuh itu. Namun, dari hasil penyelidikan polisi diketahui bahwa Pollycarpus ikut penerbangan Garuda GA 974 dari Jakarta ke Singapura pada 6 September 2004 berdasar nota perubahan yang ditandatangani oleh Rohainil Aini, pejabat pendukung operasi penerbangan.

Pada tanggal yang sama, Pollycarpus sebenarnya dijadwalkan terbang ke Beijing, Cina. Keberangkatan ke Singapura itu pun baru diurus 5-6 jam sebelumnya. Rohainil kini ditahan sebagai tersangka yang melancarkan pembunuhan, bersama mantan Direktur Utama Garuda, Indra Setiawan.

Dalam perjalanan Jakarta-Singapura, Pollycarpus menukar kursi 3-K miliknya di kelas bisnis dengan kursi Munir di kelas ekonomi. Polisi menyimpulkan, langkah ini dilakukan untuk memperpendek waktu antre Munir saat turun pesawat di Changi. Dengan begitu, waktu operasi pembunuhan bisa lebih panjang (lihat ”Perjamuan Terakhir di Coffee Bean”, Tempo, 23 April 2007).

Di area transit Bandara Changi, Pollycarpus bersama Ongen Latuihamallo duduk bersama Munir di Coffee Bean. Seorang saksi melihat mereka makan sesuatu. Pekan lalu, Pollycarpus membantah kesaksian itu. ”Saya tidak tahu Coffee Bean. Saya juga tidak kenal Ongen Latuihamallo,” katanya melalui telepon pengacaranya, M. Assegaf, yang diperdengarkan kepada wartawan.

Sumber Tempo di kepolisian menyatakan arsenik untuk membunuh Munir dilarutkan ke dalam ”makanan yang berbentuk cair”. Semua saksi yang melihat pertemuan di Coffee Bean itu kini sudah masuk program perlindungan saksi polisi. Demikian pula Ongen Latuihamallo.

Pemilihan jenis racun dan tempat pembunuhan menunjukkan perencanaan yang matang. Arsenik dipilih karena tidak berwarna, tanpa rasa, tidak berbau, dan cepat larut dalam cairan. Menurut tim pencari fakta yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005, penggunaan arsen dimaksudkan untuk mengaburkan penyebab kematian korban.

Adapun pesawat dipilih untuk mencegah Munir memperoleh pertolongan medis yang memadai. Dengan begitu, dapat dipastikan nyawa Munir tidak akan tertolong.

Siapa yang mampu melaksanakan operasi serapi itu? Tudingan segera diarahkan ke Badan Intelijen Negara (BIN). Apalagi sejumlah kontak telepon dilakukan Pollycarpus dengan kantor dan pejabat lembaga itu pada hari-hari sekitar pembunuhan. Abdullah Mahmud Hendropriyono, Kepala BIN saat itu, membantahnya. Kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu, ia berujar: ”Saya tidak pernah menandatangani surat penentuan Munir sebagai target operasi.”

Budi Setyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus