Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SORE di Breda, Negeri Belanda, Sabtu dua pekan lalu. Seorang pria menerima telepon dari Jakarta. Kata-nya, si penelepon adalah seorang perwira tinggi tentara. Perwira tadi berbisik: sebuah kasus lama kem-bali ramai dibicarakan. Ia meminta si penerima telepon mencari seseorang bernama Ongen Latuihamallo. Kasus yang ramai dibicarakan itu adalah kematian aktivis hak asasi manusia Munir. Siapa sang perwira? Si penerima telepon tak mau buka suara.
Tapi tugas mencari Ongen, penyanyi asal Ambon di Belanda yang disebut-sebut polisi terkait dengan kematian Munir, bukan pekerjaan gampang. Ongen, jika pun ada di Belanda, ibarat jarum dalam jerami—tersuruk di antara ribuan orang Ambon di negeri kincir angin tersebut.
Ada 64 kampung Ambon—sering disebut wiyk—di Belanda. Dalam 64 wiyk itu terdapat kurang lebih 30 ribu keturunan Ambon. Di Wiyk Breda saja, kota kecil di Belanda selatan, ada 250 kepala keluarga dengan sekitar 1.000 jiwa keturunan Ambon. Mereka tinggal di 150 rumah.
Untuk ketemu orang Ambon, tinggal tanya di mana kampung Ambon. Orang di pinggir jalan akan dengan senang hati memberikan petunjuk. Tapi, untuk mencari Ongen? Itu yang sulit, meski Ongen bukan orang yang tak dikenal di sana.
Hampir semua orang Ambon yang ditemui Tempo di Belanda mengenal pria gondrong itu. ”Ongen yang penyanyi itu to?” begitu jawaban yang umum didengar. Di kalangan masyarakat Ambon Belanda, Ongen memang terkenal bersuara emas. Ia kerap tampil di acara kebudayaan, khususnya Pasar Malam—pesta tahunan orang Indonesia di Belanda. Ia juga sering jadi bintang tamu di band-band asal Ambon yang berkarier di Belanda.
Tapi di Holland Ongen jarang menetap lama di satu tempat. Ia memang banyak teman penghuni wiyk. ”Minggu lalu dia di sini, tapi sekarang kita orang seng (tidak) tau,” kata F.M.B. Pattinasarany, yang akrab dipanggil Opa Bomy. Pria berumur 90 tahun ini adalah paman istri Ongen, Etha Pattinasarany. Di rumah Opa Bomy inilah Ongen biasa menginap jika berada di Breda. ”Tapi Opa sudah tua. Kalau di sini, dia tidak ada yang urus. Jadi dia pergi lagi. Mungkin dia su pulang ke Indonesia sekarang,” kata Bomy—pria yang telah 50 tahun tinggal di Belanda.
Bommy tinggal di rumah dua lantai 5x7 meter persegi—rumah ketiga di jajaran bangunan petak yang memanjang di kompleks Wiyk Breda. Di depan dan belakang rumah ada taman kecil. Lantai satu terdiri dari ruang tamu yang merangkap ruang makan dan dapur. Lantai dua terdiri da-ri dua kamar tidur.
Di kompleks itu terdapat gereja, taman, dan gedung pertemuan yang dilengkapi kafe plus tempat bermain musik. Di tempat ini biasanya Ongen menghabiskan waktu jika sedang berada di wiyk.
Menurut Opa Bomy, setiap kali singgah di Jakarta, Opa sering juga menginap di rumah Ongen di Bintaro, Tangerang. Opa Bomy mengaku tidak tahu pasti alamat Ongen. ”Beta kan dijemput, jadi tidak pernah tahu alamat. Ongen juga tidak pernah tulis dia punya nomor telepon,” kata Bomy. Menurut kakek itu, kedua orang tua Ongen sudah lama meninggal. ”Ongen itu bae, dari kecil sudah menyanyi di gereja,” katanya. Jadi, ”Tidak mungkin jadi orang jahat.”
Orang-orang yang tinggal di kampung Ambon Breda memberikan informasi sepotong-sepotong. ”Oh..., Ongen. Dia ada di Belanda ka?” Ada juga yang bilang, ”Ongen su pergi ke Tiel.” Tiel adalah kota kecil yang purba—terletak di kawasan Gelderland Barat, Belanda.
Ketika mencari Ongen inilah Tempo bertemu pria penerima telepon tadi. ”Saya hanya disuruh mencari Ongen di Belanda,” kata lelaki tadi. Ia mengaku mengenal Ongen sejak 2003. Meski tidak akrab, katanya ia tahu aktivitas Ongen. Maklum, pria itu sudah 10 tahun tinggal di Netherlands.
”Dia itu seniman, jadi kayak angin. Susah ditemui,” kata pria itu.
Apa dia pernah terlibat kegiatan ilegal? Ada yang bilang dia dekat dengan jaringan pengedar ekstasi?” tanya Tempo.
”Dia tidak main di wilayah itu. Saya tahu semua pengedar di sini. Dia bukan salah satu di antaranya.”
Lantas dengan siapa saja dia bergaul di sini?
”Ya, dengan orang-orang wiyk lah, juga seniman-seniman.”
Untuk apa Anda mencari Ongen?
”Saya dikasih tahu kasus Munir. Saya sendiri tidak mengikuti kasus itu. Pokoknya saya hanya disuruh mencari.”
Kalau sudah ketemu Ongen, mau diapakan?
”Saya hanya disuruh memberi tahu Ongen, hati-hati karena dia lagi dicari.”
Hati-hati? Konteksnya apa? Melindungi atau mengancam?
”Saya tidak tahu,” pria itu mengangkat bahu. ”Tugas saya hanya mencari dan menyampaikan pesan itu. Saya sudah memberikan kabar, Ongen tidak ada di sini. Jadi tugas saya sudah selesai.”
Lalu?
”Tugas saya sudah selesai. Sehari lalu, saya menerima sms. Isinya singkat: ’Orangnya sudah ketemu’.”
Asmayani Kusrini (Breda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo