Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
... Aku dimasukkan ke sebuah sel yang telah dihuni oleh tiga orang. Besar ruangan itu tiga kali tiga meter dan mempunyai dua tempat tidur besi tanpa kasur.... Dalam ruangan itu ada sebuah lubang di mana kami dapat buang air kecil dan besar. Lubang itu ditutup dengan sebilah kayu saja. Siapa yang tidur dekat lubang itu akan mencium bau yang amat busuk....
Parlindoengan Loebis melukiskan hari pertama ia disekap tentara Nazi. Inilah awal dari babak mengerikan dalam hidupnya ketika ia diciduk dua polisi rahasia Belanda di rumah sekaligus tempat prakteknya sebagai dokter di Amsterdam, pada suatu siang, akhir Juni 1941.
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Leiden, Belanda, itu dibawa ke Euterpestraat, markas Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman. Sejak itu lelaki berdarah Batak itu harus meringkuk di empat kamp konsentrasi Nazi selama empat tahun: Kamp Schoorl dan Amersfoort di Belanda, serta Buchenwald dan Sachsenhausen di Jerman.
Parlindoengan Loebis adalah Ketua Perhimpoenan Indonesia periode 1936-1940. Ini merupakan organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang progresif, berpengaruh, dan mencita-citakan kemerdekaan Indonesia. Ketika penangkapan itu terjadi, Parlindoengan masih dalam suasana bulan madu: baru sekitar dua bulan melangsungkan pernikahannya dengan Johanna Soumokil.
Petikan penuturan di atas merupakan bagian dari otobiografi Parlindoengan Loebis, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi, yang terbit pada akhir September ini. Diterbitkan Komunitas Bambu, Depok, Jawa Barat, buku setebal 292 halaman ini merupakan dokumen sejarah yang sangat menarik dan penting. Bukan saja kisah dramatisnya di kamp Nazi, tapi juga kisah Perhimpoenan Indonesia periode 1936-1940 yang selama ini dikenal sebagai ”era gelap” sejarah organisasi tersebut.
Perhimpoenan Indonesia yang saat itu dipimpin Parlindoengan mengalami beberapa pergeseran, antara lain orientasi politik yang bergeser dari komunis ke sosialis. Juga sepak terjang organisasi ini dalam melawan fasisme.
J.J. Rizal, editor penerbit Komunitas Bambu, mengatakan bahwa naskah yang diperolehnya dari keluarga Parlindoengan itu merupakan harta karun. Pada awal Mei 2005 Rizal menerima naskah itu dari putra sulung Parlindoengan, Carisoetan Loebis, yang memang mendapat amanat untuk menerbitkannya.
Menurut Rizal, naskah yang diterimanya sudah terjilid. Tebalnya 195 halaman dan diketik di atas kertas ukuran kuarto. Naskah yang dihiasi sembilan foto hitam-putih itu diberi judul lumayan panjang: Dari Pakantan ke Buchenwald: Kisah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang ditawan selama 4 tahun dalam kamp konsentrasi Nazi Jerman.
Alumni Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, Depok, itu langsung melakukan verifikasi data yang tertulis dalam naskah itu. Sekitar tiga bulan ia berburu sejumlah literatur dan dokumen di sejumlah perpustakaan. Ia juga berdiskusi dengan sejarawan dari Universitas Leiden, Harry A. Poeze.
Poeze membenarkan Parlindoengan pernah memimpin Perhimpoenan Indonesia, juga pernah ditahan Nazi. Tapi tak ada informasi komprehensif tentang kisah tersebut. Satu-satunya sumber tentang Parlindoengan, ya, di buku Poeze: In het land van de overheerser I: Indonesian in Nederland 1600-1950. Itu pun cuma selayang pandang mengenai aktivitasnya di Perhimpoenan Indonesia, yang diakhiri pernyataan pendek bahwa ia disekap di kamp Nazi. Pucuk dicita, Rizal menyodorkan dokumen Parlindoengan itu dari tulisan langsung sang pelaku sejarah.
Poeze mengatakan bahwa Parlindoengan bukan satu-satunya aktivis Perhimpoenan Indonesia yang ditahan Nazi. Masih ada empat orang lainnya, termasuk sekretaris Perhimpoenan, Sidartawan, yang sempat disekap bersama Parlindoengan. Tapi Parlindoenganlah satu-satunya orang Indonesia yang mengabadikan pengalamannya di kamp.
Namun, menurut Poeze, Parlindoengan masih menahan diri dalam menuliskan kisah getirnya itu. Salah satu yang menarik adalah bagaimana Parlindoengan tetap bertahan di kamp konsentrasi:
... Untuk dapat survive dalam kamp, aku pertama-tama harus mempunyai hati yang keras dan tanpa rasa, seperti batu. Segala perasaan yang sentimental dan cengeng harus dibuang jauh-jauh.... Masa lampau sekali-kali jangan dikenang. Masa yang akan datang jangan diharapkan. Hiduplah untuk hari ini saja.
Parlindoengan lahir pada 30 Juni 1910 di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ia datang dari keluarga berada, sehingga memungkinkannya bisa bersekolah hingga sarjana. Setamat MULO (setingkat sekolah menengah pertama) di Medan pada 1927, ia melanjutkan ke AMS (sekolah menengah atas) di Jakarta.
Sudah sejak di Jakarta Parlindoengan aktif dalam dunia politik. Ia berhubungan dengan para pelajar nasionalis yang getol membangkitkan kesadaran politik kalangan muda. Pada 1932, saat menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Leiden, Belanda, ia bergabung dengan Perhimpoenan Indonesia.
Kisah keterlibatan dia di organisasi yang pernah diketuai Bung Hatta itu diungkapkan secara terperinci di buku ini. Namun penggalan hidupnya setelah ia keluar dari kamp dan pulang ke Indonesia pada awal 1947 tidak ia ceritakan dalam otobiografi itu. Bahkan biodatanya hanya bisa dilacak lewat surat yang dikirimkannya ke Bung Hatta pada Juni 1978. Saat itu ia memohon bantuan karena dililit kesulitan ekonomi sebagai pensiunan yang hanya mendapat Rp 11.000 per bulan. Dalam surat itu ia menyertakan biodatanya cukup lengkap.
Dari biodata itu dan keterangan Carisoetan, 58 tahun, babak kehidupannya kian terkuak. Sekembalinya ke Indonesia, ternyata Parlindoengan menjauhi kehidupan politik. Ia menjalani hari-harinya sebagai dokter. Langkah ini diambil lantaran permintaan istrinya. Menurut Carisoetan, ibunya mengancam bercerai bila ayahnya tetap berkukuh menekuni politik.
Carisoetan juga mengamati perubahan sikap ayahnya setelah pulang dari kamp Nazi. Ayahnya sangat temperamental dan keras. Ia gampang sekali memukulkan benda apa saja yang ada di tangannya. Padahal, menurut cerita neneknya, sang ayah hampir tak pernah marah. ”Saya pernah kena pukul raket tenis,” kata Carisoetan mengenang.
Sejak pulang dari Belanda, Parlindoengan juga tak pernah lagi menjalankan salat. Menurut Carisoetan, suatu hari ayahnya pernah berkisah tentang kekejaman di kamp itu. ”Dalam keadaan mengerikan itu, lalu di mana Allah?” ayahnya menggugat.
Parlindoengan kemudian menjadi atheis. Ia kembali beragama sejak menjadi wali pernikahan Carisoetan pada 1980. ”Waktu itu ayah minta tolong istri saya untuk diajari lagi tata cara salat,” ujar Carisoetan.
Di Tanah Air, Parlindoengan juga berpindah-pindah tempat. Sepanjang 1947-1950, ia menetap di Yogya dan berkerja sebagai Kepala Dinas Kesehatan Pabrik-pabrik Persenjataan Departemen Pertahanan. Setelah itu, ia bekerja sebagai dokter perusahaan Borneo Sumatra Handel Maatschapj di Jakarta—sembari sorenya buka praktek di rumah dinasnya di kawasan Kebayoran Baru.
Pada 1959, Parlindoengan hijrah ke Tanjungpandan, Bangka-Belitung. Ia bekerja sebagai dokter di PT Timah Unit Belitung. Di perusahaan pertambangan itu ia bertahan hingga Juli 1966. Ia cuma mendapat uang pensiun Rp 11.000.
Parlindoengan mulai menulis otobiografi pada 1980, ketika usianya telah mencapai 70 tahun. Ia tak mempunyai jadwal tetap dalam menulis. Naskah itu ditulis tangan, lalu diserahkan ke juru ketik. Hasil ketikan itu diperiksa kembali oleh Parlindoengan.
Sebagian besar naskah itu ditulis di Tanjungpandan. Selebihnya ditulis di Jakarta, saat tinggal di kawasan Bintaro Jaya. Tulisan itu selesai pada 1987. Tapi ia tak segera menerbitkannya. Naskah itu terus tersimpan hingga ia meninggal pada penghujung 1994.
Menurut Carisoetan, ayahnya berwasiat agar naskah itu diterbitkan setelah Orde Baru tumbang atau setelah ayahnya meninggal. ”Kalaupun saat itu mau diterbitkan, sebaiknya di luar negeri,” Parlindoengan berwasiat. Ia khawatir terhadap risiko yang akan dihadapinya jika naskah itu diterbitkan. Sebab, Nazi menuduhnya sebagai penganjur komunisme terbesar di Eropa.
Otobiografinya tak hanya berisi rentetan cerita mencekam selama mendekam di kamp. Parlindoengan juga menulis kenangan pada masa kecil bersama keluarganya di Tapanuli Selatan. Pun kisah cintanya dengan Johanna, gadis blasteran Belanda-Manado.
Mereka menikah di Kota Harlem, Belanda. Parlindoengan menulis: Kami menikah pada hari yang tidak membayar. Pada upacara ini, Jo memakai kain kebaya dan selendang, sedangkan aku memakai peci. Mereka heran melihatnya, sehingga pegawai Catatan Sipil sampai lupa meminta kami menandatangani buku pernikahan.
Momen mengharukan terjadi saat ia harus berpisah dengan Sidartawan, Sekretaris Perhimpoenan Indonesia, yang juga disekap Nazi. Kata-kata perpisahan yang dilontarkan Parlindoengan: ”Lebih baik begini, barangkali ada salah satu di antara kita yang bisa selamat ke luar dari tahanan dan dapat menceritakan kesengsaraan kita di kamp konsentrasi ini.”
Di bagian lain, Parlindoengan juga berkisah tentang rumah bordil yang dibangun di kamp. Wanita-wanita dalam bordil itu ditempatkan dalam sebuah barak kecil dan dijaga satu-dua orang tentara. Orang-orang yang boleh datang ke bordil itu hanya dari bangsa Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Belgia, dan Luksemburg. ”Aku dengan memakai tanda dokter di tangan dapat masuk saja,” tulis Parlindoengan.
Suasana mencekam sekaligus sangat mengerikan dilukiskan Parlindoengan ketika mengikuti perjalanan ”mars maut menuju ke Wittstock”. Ini merupakan perjalanan para tawanan kamp konsentrasi menuju Kota Wittstock, Jerman, untuk menyerah kepada Sekutu. Perjalanan ini memakan waktu sekitar sepuluh hari, yang dimulai pada 20 April 1945.
... Mereka yang tak bisa berjalan dan tidak dapat mengikuti rombongan lagi, tidak begitu saja ditinggalkan di tepi jalan, tetapi dibawa ke semak-semak tepi jalan lantas ditembak mati. Enam sampai delapan kali aku melihat kejadian seperti itu biarpun setiap kali aku berpura-pura tidak melihatnya....
Pada hari pertama perjalanan ada 800 tawanan mati. Parlindoengan juga melukiskan kejadian yang sungguh mengiris. Ia menulis:
... Suatu kali ada seekor kuda yang baru mati di tepi jalan. Para tawanan banyak yang ke luar dari barisan dan berebutan mengambil daging kuda itu. Bahkan banyak dari mereka yang makan daging kuda itu mentah-mentah, sampai-sampai ada yang masuk ke perut kuda untuk mendapatkan dagingnya dan keluar dengan mulut, muka, dan kepala, yang penuh dilumuri darah....
Poeze, dalam kata pengantar buku, menyatakan: ini merupakan riwayat yang diceritakan dengan lugas, tidak diperindah secara sastra. ”Dilukiskan tanpa pajangan, kadang hanya dikira-kira, namun memperoleh dimensi yang lebih mengerikan lagi,” katanya.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo