Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ingatannya belum sepenuhnya memudar, meski peristiwa itu berlangsung hampir 60 tahun lalu. Nirwani Pulungan atau Nana, 73 tahun, masih menyimpan fragmen-fragmen kejadian di masa lalu yang dilewatkannya bersama pamannya, Parlindoengan Loebis, setelah bebas dari kamp Nazi pada 1945.
Waktu itu usia Nana masih 14 tahun. Ia terkenang pesta pada suatu malam. ”Om meminta saya bermain piano, mengiringi dansa-dansi,” katanya. Pesta itu berlangsung di rumah orangtua Nana di Jalan Malabar 31, Menteng, Jakarta. Para tamu membawa anggur untuk menghangatkan malam.
Mereka berkumpul, bernyanyi sambil mengenang masa lalu hingga berlanjut dansa dengan iringan permainan piano Nana atau pelat hitam jika malam makin tenggelam. Pesta hampir tiap pekan itu sempat terhenti karena Parlindoengan pindah ke Yogyakarta dan kemudian ke Bangka Belitung.
Nana adalah putri dari Noerdjani Loebis, adik Parlindoengan yang paling dekat. Kakeknya memiliki sebelas putra. Empat anaknya saudara seayah-seibu. Ia merasa diperlakukan sebagai anak pertama Parlindoengan dan Johana, istri Parlindoengan, sebelum Carisoetan lahir.
Ketika pemerintahan dipindahkan ke Yogya, Nana ikut dalam rombongan kereta ke kota gudeg itu bersama paman dan bibinya. Mereka menetap di rumah keluarga Adnan Buyung Nasution, sebelum berpencar. Nana tetap menetap di keluarga Buyung. Parlindoengan menghuni salah satu kamar di Rumah Sakit Panti Rapih setelah diterima sebagai dokter.
Dalam ingatannya, pamannya sangat disiplin dan keras. Terhadap istrinya pun Parlindoengan sangat keras. ”Kalau Tante menyetrika pakaian kurang licin, Om pasti marah,” kata Nana. Parlindoengan dikenalnya amat dandy dan memperhatikan penampilan. Bahkan Parlindoengan mempunyai tukang jahit khusus yang tinggal di rumah mereka di Jakarta. ”Om dan Tante sering bikin baju. Saya juga sering dibuatkan,” tuturnya.
Sebenarnya ini ironis. Parlindoengan tidaklah kaya. Hidupnya selalu menumpang dari keluarga satu ke keluarga yang lain. Saat bermukim di Bogor, ia menumpang di rumah Lifath Loebis, adik Parlindoengan.
Menurut Nana, pamannya sangat tertutup jika ditanya soal kamp konsentrasi. Istrinya juga dilarang menceritakan suasana kamp. Satu hari, Nana memberanikan diri menanyakan seperti apa rasanya ditawan di kamp. ”Om bilang, ah nggak usah tahu. Pahit,” katanya menirukan.
Pengacara senior Adnan Buyung, sepupu Parlindoengan, juga merasakan sikap keras Parlindoengan. ”Mungkin karena ditahan Nazi,” kata Buyung. Ibu Buyung, Ramlah Loebis, adalah adik ayah Parlindoengan. Buyung memanggil sepupunya dengan sebutan Broer (abang).
Dolly Soerjosoemarno Zegerius, 81 tahun, istri Soetarjo Soerjosoemarno yang juga kawan akrab Parlindoengan, pun menangkap kesan bahwa Parlindoengan masih trauma dengan peristiwa di kamp konsentrasi. ”Saya tahu karena banyak kehilangan saudara karena ayah saya berdarah Yahudi,” kata ibu Yapto Soerjosoemarno itu.
Ia menjelaskan, suaminya bersama Parlindoengan pernah terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan pendudukan Jerman di Belanda. Kelompok ini melakukan sabotase, mencoba membebaskan tahanan, dan menyebarkan pamflet perlawanan.
Keluarga Dolly dan keluarga Parlindoengan kemudian bertemu lagi di Jawa Tengah beberapa tahun kemudian. Dolly tinggal di Solo, Parlindoengan di Magelang. ”Suami saya dan Parlindoengan sering bepergian berburu babi hutan,” ujar Dolly.
Buyung juga punya kenangan tentang Parlindoengan. Suatu kali saat sarapan, Buyung yang baru 13 tahun menelan lidi yang terselip di nasi pecel. Lidi itu menyangkut di kerongkongannya. Ibu Buyung dengan panik membawanya ke Magelang. ”Sampai di sana Broer Parlindoengan malah marah-marah,” ujarnya. Untuk mengeluarkan lidi yang tersangkut, Parlindoengan menggebuk punggung Buyung. ”Keras banget, sampai saya menangis dan isi perut keluar semua.”
Buyung menilai Broer sebagai dokter yang independen, meski kawan-kawannya banyak yang masuk kabinet. Broer dikenalnya anti-Nazi dan anti-Belanda. Kebencian ini diwujudkannya dengan mendukung gerakan bawah tanah menentang Belanda. ”Dia pro-republik. Parlindoengan mendapatkan intimidasi dan perlakuan menyakitkan di Belanda,” ucap Buyung.
Istiqomatul Hayati, Evieta Fadjar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo