SUDAH dua tahun Warso dan Kasini pacaran. Namanya juga orang saling cintrong. Karsini, yang 19 tahun dan hanya duduk di kelas dua SMP itu, cintanya sudah setengah mati. Meski sang pacar usianya hanya setahun lebih tua dari dia itu belum bekerja, hubungan mereka cukup mesra. Tapi suatu hari Warso kaget, karena mendadak Karsini melabraknya. Warso, yang bertubuh ramping, berkulit hitam, dan berambut keriting itu, diajaknya ke kebun cengkih yang sepi. "Yang bilang Karsini kayak telur itu siapa, hayo?" teriaknya. Dan gadis itu menangis. Warso segera maklum. Ia minta maaf, sambil tak lupa menjelaskan duduk soalnya. Katanya, ia memang pernah mengatakan "Kalau pacarku gemuk, 'kan kayak telur." Tapi hal itu diucapkannya gara-gara ada kawannya yang nyeletuk, "So, pacarmu itu memang cantik, cuma sayang pendek kecil." Tapi Karsini tak mau tahu. Lalu, katanya sambil membelalakkan mata, "Umurmu sekarang 20 tahun. Kalau masih sayang padaku, kau harus makan 20 butir telur bebek rebus dalam waktu lima menit. Kalau tidak, lebih baik hubungan kita putus. Saya ingin menguji kesetiaan dan cintamu pada saya." Warso gelagapan. Karena memang masih cinta, dan ketika itu dia belum makan pemuda itu mau saja makan telur bebek itu. Karsini segera mengeluarkan telur mentah itu satu per satu dari kantung plastik. Satu demi satu telur itu disodorkan Karsini, dipecah, dan ditelan oleh Warso. Sampai telur kedelapan -- dan tanpa minum setetes pun -- Warso mulai sulit menelan. "Ayo, Sayang, lalap terus. Enak, 'kan?" kata Karsini kegelian. Sampai telur ke-12, mata Warso berkunang-kunang. Ia terjungkal. Mulutnya bocor, memuntahkan cairan anyir itu. Hoo-eeek ... Melihat pacarnya tumbang, Karsini panik. Ia menjerit-jerit. Para tetangga di Desa Kunci, 50 km sebelah barat Cilacap (Ja-Teng), itu berhamburan. Setelah tubuhnya diguncang-guncang dan dikasih minum tiga gelas air, Warso, yang pingsan selama tiga menit itu, siuman. Begitu sadar, Warso langsung memanggil Karsini. Tapi gadis mungil itu ternyata sudah lari terbirit-birit. Mendengar anaknya dipaksa menelan belasan telur sampai nyaris mampus, Wiryo, sang ayah, kontan mengejar Karsini. Gadis itu ditampar, kepalanya dibenturkan ke dinding kayu rumah. Karsini tak berkutik. Baru setelah Pardi abangnya, pulang dari berdagang, Karsini melapor. Tentu saja Pardi jadi berang. Ia segera melabrak Wiryo. Dan perkelahian tak terhindarkan. Untung, para tetangga berhasil melerai mereka. Apa hendak dikata, perpacaran Warso-Karsini terpaksa putus. Kedua orangtua mereka sudah emoh. "Padahal, saya hanya ingin menguji kesetiaan Mas Warso saja kok," kata Karsini, sembari sesenggukan. "Saya juga masih sayang sama Karsini," ujar Warso pada Slamet Subagyo dari TEMPO. Wiryo? "Karsini itu perempuan galak. Dia tidak menghargai laki-laki. Belum jadi isri saja sudah menginjak-injak harga diri wong lanang," katanya. Warso, yang kini mencoba berdagang kecil-kecilan, diam saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini