KERUKUNAN DAN JENJANG SOSIAL DI SEBUAH KAMPUNG DI JAWA Oleh: Patrick Guinness Penerbit: Asian Studies Association of Australia, Singapore Oxford, University Press, Oxford New York, 1986, 191 halaman BEBERAPA tahun lalu, sebuah koran Australia memuat foto Kota Jakarta. Judulnya, Jakarta, A Big Village, menggambarkan sebagian besar wilayah kota ini: perkampungan kumuh. Di balik gedung bertingkat, tampak kampung yang padat. Orang Jakarta memberikan gambaran dua jenis permukiman yang kontras, yaitu "daerah gedongan" dan "daerah kampung". Arus manusia ke kota-kota, dalam beberapa puluh tahun terakhir, merajalelanya kampung-kampung miskin di perkotaan, memusingkan bangsa-bangsa Dunia Ketiga. Struktur kota seperti itu menarik perhatian para ahli sosial, terutama di Barat. Pada 1970 terbit buku William Mangin, Peasants in Cities: Readings in the Anthropology of Urbanization. Setahun kemudian muncul buku Prof. Terry McGee, The Urbanization Process in the Third World. Tahun berikutnya, Prisma menurunkan nomor khusus, Urbanisasi dan Pengembangan Kota. Berbeda dengan ketiga penerbitan tadi, studi Patrick menunjukkan, pertumbuhan kampung di Yogyakarta bukanlah hasil urbanisasi. Tapi pertumbuhan alami dari sistem pengembangan kota, sejak zaman Hindia Belanda, yang hanya mementingkan golongan elite. Pembangunan rumah-rumah bagus di sepanjang jalan beraspal untuk golongan elite, sedang di belakangnya berkembang perkampungan padat, dihuni golongan berpenghasilan rendah. Di Ledok, Yogyakarta, tempat Patrick meneliti berdasarkan sensus 1978, hampir separuh kepala keluarga lahir di Ledok dan hampir 60% lahir di Yogyakarta. Ini berarti, mayoritas penduduk kampung itu bukan migran dari desa, melainkan orang kota, yang karena kemiskinannya terpaksa tinggal di perkampungan murah. Ia tunjukkan, misalnya, kendati ada penghuni Ledok berpendidikan tinggi, hampir mustahil pindah ke rumah golongan elite. Bagi orang kampung, mobilitas hanya bisa terjadi secara horisontal, yaitu pindah ke kampung lain. Dengan proses seperti ini, struktur kota yang terdiri "daerah gedongan" dan "daerah kampung" akan tetap langgeng. Sayang, Patrick tidak sempat meneliti dampak Kampung Improvement Program (Program Perbaikan Kampung) di Jakarta. Program itu ternyata berakibat negatif bagi sebagian penduduk kampung. Mereka menjual rumah dan tanah, dan pindah ke kampung lain. Dengan kenyataan itu, Patrick tak setuju dengan pendapat bahwa penghuni daerah kampung di kota-kota Jawa adalah "petani kota", orang kota yang berbudaya desa dan mempertahankan gaya hidup desa. Menurut dia, keterikatan mereka dengan kehidupan kota demikian kuat dan berakar. Mereka merasa terhina disebut "petani" atau "orang desa". Selaras dengan pandangan Patrick itu, Y.B. Mangunwijaya pernah memprotes Pemda Yogyakarta yang hendak membongkar rumah kampung di pinggir sungai. Ia menuntut agar mereka diperlakukan adil karena berjasa membangun kota. Jalan mulus dan gedung bertingkat, antara lain, hasil kerja keras para kuli penghuni kampung itu. Jangan diperlakukan habis manis sepah dibuang. Kalau akan diusir, harus disediakan perumahan yang pantas. Patrick juga menyangkal kesimpulan ahli sosial bahwa kehidupan kampung ditandai disintegrasi dan lemahnya solidaritas sosial. Kerukunan alias harmony sangat menonjol dalam kehidupan di Ledok hingga ia menggunakannya sebagai judul. Di sana, tempat tinggalnya hampir empat tahun, ia melihat para warga bekerja sama. Kebersamaan itu berakar dalam atau wis mbalung sungsum (halaman 144). RT dan RK sangat kuat, hingga kedua unit ini efektif dalam perbaikan kampung. Setiap RK memiliki peguyuban yang menyelenggarakan arisan, kerja bakti, dan iuran untuk membeli lampu, piring, gelas, tikar. Kaum remaja mengorganisasikan kegiatan berbagai olah raga. Grup remaja Ganesya mengembangkan aktivitas lebih luas: merangkai bunga, kursus elektronika, tari, dan menjahit. Sebagaimana tampak pada judulnya, Harmony and Hierarchy, Patrick bukan tidak melihat bahwa masyarakat Ledok terbagi juga dalam berbagai tingkatan: atas dasar umur, pekerjaan, asal kelahiran, keturunan, dan pemilikan tanah. Pendatang, misalnya, meskipun ia mayor polisi, wibawanya lebih rendah dalam pembangunan dibanding penduduk asli. Juga masih terdapat keengganan keluarga Jawa menerima menantu non-Jawa. Tapi batas sosial berdasarkan faktor di atas juga dinetralisasikan rujukan lain, yaitu tingkah laku yang sesuai dengan norma ideal tempat pelakunya memperoleh kehormatan sosial. Di samping itu, prinsip rukun jadi tuntutan paling pokok. Kontrol sosial sangat kuat. Pimpinan masyarakat yang menyalahgunakan kekuasaan, dan orang kaya yang suka pamer, akan dikecam. Kepemimpinan lebih dipahami sebagai tanggung jawab, bukan privilege. Pimpinan dipilih bukan karena banyaknya pengikut, tapi kesadaran kemasyarakatannya yang tinggi. Prinsip rukun ini mampu menetralisasikan perbedaan tingkat sosial. Orang Jawa di Ledok, ternyata, memiliki perasaan egalitarianisme yang tinggi, tidak seperti anggapan selama ini bahwa mereka sulit menerima kehidupan kemasyarakatan atas dasar egalitarianisme. Buku ini, meskipun mungkin bertentangan dengan kenyataan di beberapa kampung lain, patut kita hargai. Penulisnya mampu menumbuhkan simpati pada kehidupan kampung di kota-kota. Zamakhsyari Dhofler
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini