BEBERAPA petani berkumpul di Sekhehe Gong. Tempat di Desa Saba ini sekitar 27 kilometer sebelah timur Denpasar, Bali. Minggu-minggu ini mereka berlatih menari, memukul gamelan, bermain sandiwara. Muncul Rangda, tokoh mitologi lambang keburukan, dan Barong, lambang kebaikan. Ada pula Jagor Manik, sang setan yang tak jemu menggoda penghuni mayapada ciptaan Bathara Syiwa. Dencing dentang dan ketiplak gamelan meningkahi gerak dan ekspresi penari. Sandiwara musik ini melukiskan anak manusia ciptaan Tuhan, yang pada dasarnya memang baik. Tapi suatu saat mereka bisa berubah sebaliknya, terutama bila akal budi telah disalahgunakan. Di sinilah peranan dan taruhan si Jagor Manik, sang penggoda. Lanjutan kisah di atas harap bersabar. Sebab, bersamaan dengan itu, nun, di seberang lautan, ada yang berkemas. Sudah setahun lalu, sekelompok pemusik bule berkumpul di sebuah bekas gudang ukuran enam kali 10 meter di Auberville la Courneuve, pinggiran Paris, Prancis. Berbagai peralatan musik Barat berdentang mengiring tingkah Mephisto, komplotan Jagor Manik, yang menggugat Faust. Apa ini mengada-ada? Adalah Faust, anak manusia yang juga rohaniwan gaek itu, berupaya mencari kebenaran sejati. Ditekuninya filsafat, direnunginya musik klasik. Ia membangun kota-kota teknologi, menerapkan politik, ekonomi, etika, kekuasaan, mesin perang. Ia memimpikan mengatur dunia nan sempurna. Tapi perbuatan itu -- tanpa disadarinya menjelma jadi sebuah jurang menganga. Dan Faust tua ... terjerembab ke dalam proyeknya sendiri. Rohnya tergadai. Dalam perjalanan spiritualnya, Faust sempat disesatkan oleh Mephisto dan Jagor Manik. Akhirnya, Syiwa menuntun Faust ke Surga. Manusia boleh bertingkah macam-macam. Ia boleh mimpi apa saja. Bahkan, tak mustahil sekali waktu salah jalan. Tapi bila masih berusaha meniti jembatan kebaikan yang disebut Dharma, dia akan menemukan kebahagiaan Surga, meski sebelumnya menempuh lika-liku godaan. Ide cerita memang besar. Sebuah drama musik kolosal sedang dipersiapkan oleh kelompok seniman kedua bangsa itu, di Saba dan Paris. Mereka akan bergabung. Mereka mementaskan karya itu keliling Asia, mulai Mei nanti. Judulnya Faust et Rangda, atau menurut versi Bali, Pintu-Pintu Langit. Kisahnya menggambarkan manusia menghadapi dilema baik dan buruk. Ia selalu diintip setan yang gentayangan -- juga dibayangi Tuhan dari balik pintu langit. Para seniman Prancis menampilkan tema berdasarkan drama Faust ciptaan pujangga besar Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832). Sedang para seniman Bali mengetengahkan tema mitologi, dengan Rangda yang menggoda dan Barong yang membimbing Faust. Dua mitologi, Barat dan Timur, dikawinkan. Seniman kedua bangsa yang menggarap drama musik ini hendak menawarkan pesan. Yaitu: pengaturan dunia modern, lengkap dengan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologinya, akan sia-sia. Bahkan, bisa menjerumuskan si manusia, bila tak dilandasi nilai spiritual. Faust, di Barat, adalah tokoh mitologi yang menggadaikan rohnya kepada setan. Ia juga menghadapi berbagai godaan Mephisto dalam perjalanan spiritualnya. Dalam versi Bali, para penggoda itu bisa berupa Jagor Manik dan Rangda -- kendati masih akan "dibimbing" oleh Barong, lambang kebaikan. Gagasan pementasan bersama ini, muncul sekitar lima tahun lalu. Ketika itu, Willy Coquillat dari kelompok musik perkusi kontemporer Trio le Cercle berkunjung ke Bali bersama Robert Hebrart, seorang pembuat instrumen musik. Mereka tertarik dan mempelajari musik Bali, yang juga merupakan musik perkusi. Kemudian timbul ide "mengawinkan" musik Barat dengan musik Bali. Akhir 1985, dua pemusik Prancis, Willy Coquillat dan Gaston Sylvestre, bersama Georges Aperghis, komposer yang berdarah Yunani, kembali ke Pulau Dewata. Setahun kemudian, mereka tinggal di Desa Saba, selama sebulan. Mereka juga memperkenalkan musik, tari, dan komedi kepada anggota Sekhehe Gong Saba. Georges Apherghis, 42 tahun, hijrah ke Prancis pada 1965. Ia beken sebagai pencipta opera kontemporer. Dialah pendiri kelompok teater dan musik Atelier Theatre et Musique pada 1976, sering menyelenggarakan festival di Eropa dan Amerika Serikat. Sedang kelompok Trio le Cercle dibentuk para musisi perkusionis terkenal seperti Jean Pierre Drovet, Willy Coquillat, dan Gaston Sylvestre. Mereka sering bermain di beberapa kota Eropa. Pementasan karya besar ini merupakan kerja sama antara Sekhehe Gong Desa Saba, Trio le Crecle, Atelier Theatre et Musique, Direction de la Musique, Bureau de l'Association Francais d'Action Artistique, Fonds d'Intervention Culturel et Artistique. Repertoarnya disusun oleh Aphergis bersama I Gusti Gde Raka, pimpinan Sekhehe Gong Desa Saba. Sekhehe Gong Desa Saba yang terpilih, atas saran Bandem, 42 tahun. Dialah penasihat pementasan besar ini. Menurut doktor etnomusikologi Universitas Wesleyan, AS, ini, Sekhehe yang berdiri pada 1911 itu sampai kini tak sepi dari olah seni. Sekhehe atau kelompok tertua di Bali ini beranggotakan sekitar 30 penari dan penabuh. Anggotanya terdiri petani, dibina oleh I Gusti Gde Raka. Semua keperluan, seperti kostum penari, gamelan, peralatan rias disediakan oleh keluarga Gde Raka. Penata tarinya adalah I Gusti Ngurah Serama Semadi, 26 tahun, sarjana muda tari ASTI Denpasar, anak Gde Raka sendiri. Sebagai karya kontemporer, penampilan drama musik ini tentu membutuhkan kreativitas para pemainnya. Dibanding para seniman Prancis, artis dari Bali ini, agaknya, kurang paham bermain kreatif. "Maklumlah. Pemain kami seniman alam. Sehari-hari, mereka itu petani," kata Serama Semadi. Budiman S. Hartoyo, Laporan I N. Wedja (Denpasar) & Sapta Adiguna (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini